Home Internasional Penderitaan Masih Dirasakan Etnis Rohingya Hingga Kini

Penderitaan Masih Dirasakan Etnis Rohingya Hingga Kini

Cox's Bazar/Bangladesh, Gatra.com - Penderitaan etnis Rohingya seakan tak pernah putus. Di Rakhine, Myanmar masyarakat Rohingya mengalami penyiksaan dan genosida. Setelah melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh, warga Rohingya juga masih mengalami intimidasi hingga kekerasan dari warga Bangladesh.

Banyak orang Bangladesh menuduh orang Rohingya melakukan kejahatan, mengambil pekerjaan dengan menekan upah di negara itu.

"Saya melihat gelombang manusia masuk di Bangladesh, dan ini adalah yang terburuk. Kami merasa jika mereka menyerang kami, bagaimana kami akan bertahan? Kami adalah minoritas di tanah kami," kata seorang pekerja di Bangladesh, Khadir Hussein (60), dilansir Reuters, Selasa (17/9).

Hutan yang tadinya subur, ditebangi untuk pendirian kamp-kamp dan jalan menuju Cox's Bazar, kota besar di selatan Bangladesh. Lalu lalang truk bantuan membuat jalan-jalan di kota ini rusak, dan perjalanan yang sebelumnya memakan waktu satu jam, saat ini memakan waktu sampai empat jam.

Baru-baru ini, sekelompok orang di Bangladesh melakukan protes pasca peristiwa pembunuhan seorang pemimpin partai di Bangladesh. Mereka memblokir jalan dan menghancurkan toko-toko yang sering dikunjungi oleh etnis Rohingya serta beberapa kantor AS.

Beberapa warga Rohingya yang dituduh terlibat dalam pembunuhan, itu kemudian ditembak mati, yang diklaim polisi sebagai insiden baku tembak.

Pejabat senior Cox Bazar, Iqbal Hossain mengatakan telah terjadi peningkatan kejahatan di Bangladesh, meskipun tingkat kejahatan di antara para pengungsi tidak lebih tinggi daripada di antara orang Bangladesh.

Dia pun setuju jika ada peningkatan permusuhan terhadap para pengungsi.

"Sangat sulit mengendalikan begitu banyak orang. Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah situasi yang tidak diinginkan," jelasnya.

Meningkatnya ketegangan telah mendorong pemerintah mengambil tindakan keras, dengan memotong internet di kamp-kamp pengungsian dan menyita telepon genggam para pengungsi, dengan alasan masalah keamanan. Penjualan kartu ponsel kepada para pengungsi, telah dilarang.

Juru bicara UNHCR, Caroline Gluck, mengatakan dalam sebuah email, badan tersebut akan mengupayakan langkah keamanan bagi para pengungsi.

Ketika lebih dari 730.000 etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh tahun 2017, jurnalis Bangladesh Sharif Azad bersimpati pada penderitaan rekan-rekan muslimnya.

Jurnalis itu memaparkan kesengsaraan yang dialami etnis Rohingya dalam laporannya.

“Kami menyediakan makanan dan lahan untuk mereka. Kami akan melanjutkan gerakan kami sampai pemulangan para pengungsi Rohingya dilakukan," kata Azad.

Dua tahun kemudian, Azad melakukan kampanye melawan kekerasan bagi warga Rohingya.

Menurutnya, saat ini kelompoknya memiliki 1.000 anggota, dan merupakan salah satu dari beberapa kelompok lain yang peduli nasib Rohingya.

Sebagian besar muslim Rohingya ditolak kewarganegaraannya di Myanmar, yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Pemerintah Myanmar menganggap mereka penyelundup dan imigran ilegal dari Asia Selatan.

Rohingya diusir dari desa mereka di Myanmar ke Bangladesh sekitar tahun 1970-an, ini kemudian berulang di tahun 1990-an.

Meski kekerasan yang kerap berujung pembunuhan terhadap Rohingya masih terjadi, Myanmar membantah tuduhan genosida. Pemerintah di negara ini berdalih, pasukan bersenjata telah melakukan operasi yang sah terhadap militan Rohingya yang menyerang pasukan keamanan.

Sampai kapan nasib masyarakat Rohingya terbebas dari kesengsaraan?

1150

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR