Home Ekonomi BI Siap Pangkas DP Kredit Properti dan Otomotif

BI Siap Pangkas DP Kredit Properti dan Otomotif

Jakarta, GATRAreview.com - Bagi Anda yang ingin membeli rumah atau kendaraan bermotor dengan cara kredit, ada kabar gembira dari Bank Indonesia (BI). BI menyiapkan kebijakan baru yang isinya melonggarkan aturan loan to value (LTV) atau lebih dikenal dengan istilah Down Payment (DP) alias uang muka kredit. Nantinya, DP kredit pemilikan rumah (KPR) akan diturunkan sebesar 5 % dari ketentuan DP minimum sebelumnya. Sedangkan untuk DP kredit kendaraan bermotor (KKB) diturunkan 5 % hingga 10 %.

 

Nantinya KPR untuk rumah tipe di atas 70 akan dikenakan DP sebesar 15 persen hingga 30 persen dari nilainya. Pada kebijakan BI yang berlaku saat ini, DP minimum untuk rumah tipe tersebut berkisar 20 persen hingga 35 persen dari nilainya.Rencananya, kebijakan ini akan diberlakukan BI pada 2 Desember mendatang. BI berharap dengan diberlakukannya kebijakan penurunan DP, akan terjadi pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ancaman terjadinya resesi global.

 

Jurus BI Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi

Jurus BI yang ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan cara menurukan DP kredit property dan otomotif, mendapat respon positif dari para pelaku usaha. Satu diantaranya dating dari Asosiasi Pembangunan Rumah (Apersi). Apersi menilai, rencana BI menurunkan DP properti sebesar 5% mampu meningkatkan industri properti di Indonesia. Meski, kebijakan itu terkesan terlambat karena industri properti sudah lesu sejak tahun lalu.

 

Ketua Umum Junaidi Abdillah mengatakan, kebijakan pelonggaran pelonggaran Rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) sangat dibutuhkan saat ini. Sebab, hal ini dapat mendorong keberlangsungan industri properti agar tetap eksis."Bagus sekali sudah ada kemauan untuk melakukan itu. Semenjak serapan bisnis properti menurun, seharusnya kebijakan itu langsung merespon. Namun, tidak ada kata terlambat," kata Junaidi saat dihubungi M. Egi Fadliasyah dari Gatra.com di Jakarta, Senin (23/9).

 

Menurut Junaidi, seharusnya BI lebih responsif melihat kondisi industri properti di Indonesia. BI semestinya mengeluarkan kebijakan pelonggaran ini sejak satu tahun yang lalu. "Tentu kebijakan ini akan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli rumah dan properti. Tentunya, ini sesuatu yang sangat baik, kita sambut sangat baik," ujarnya.

 

Minat Beli Properti Meningkat

Melalui kebijakan ini, minat properti diharapkan lebih meningkat. Masyarakat telah menunggu penurunan DP rumah agar mudah berinvestasi. Junaidi mengatakan, industri properti kerap menjadi salah satu penunjang perekonomian Indonesia. Artinya, menurunnya industri properti justru berdampak buruk bagi sektor lain seperti industri semen, mebel, dan sebagainya.

 

"Masalahnya kalau properti tidak digeliatkan lagi, maka sektor lain juga akan terganggu. Di situ ada pabrikasi dan industri bangunan. Industri properti rumahan lesu, jadi berpengaruh terhadap sektor lain seperti semen, mebel, dan industri lainnya. Kalau diberi kelonggaran 5% untuk uang muka, maka akan memunculkan gairah pada industri properti," tuturnya.

 

Kebutuhan masyarakat terhadap rumah juga semakin besar. Hal itu harus dipenuhi oleh perusahaan industri properti di tanah air. "Kalau melihat data padlock [kebutuhan akan rumah] sebesar 11 juta. Berarti kan masyarakat sangat membutuhkan rumah. Kalau membutuhkan, berarti industri propertinya harus hidup. Industri properti ini tidak boleh berhenti karena ini menjadi salah satu kebutuhan pokok," ujarnya.

 

Tidak Bisa Instan

Junaidi menuturkan, kebijakan BI tidak dapat dirasakan secara langsung. Hal ini membutuhkan waktu karena prosesnya panjang dan dilalui dalam setiap transaksi industri properti. "Ada pada tahapan awal sampai transaksi penjualan. Itu kan butuh waktu. Nah, sampe masuk ke perbankan, kan butuh waktu. Ketika satu atau dua bulan ke depan ini, kan sudah baru akan dirasakan. Ketika masyarakat sudah menikmati pelonggaran ini, atau transaski di perbankan sudah berjalan, jadi tidak bisa langsung dirasakan efeknya. Tetap butuh waktu [sekitar] satu atau dua bulan," ujarnya.

 

Mahalnya biaya produksi properti menjadi hambatan bagi pengembang dalam memenuhi kebutuhan properti bagi masyarakat. Beberapa faktor penyebabnya antara lain, harga lahan dan bahan bangunan yang semakin meningkat. "Peraturan atau kebinakan kerap kali selalu berubah, dan itu akan menimbulkan ketidakpastian. Begitu juga dengan biaya produksi yang semakin meningkat karena [beragam] material. Kemudian ditambah penjualan yang menurun, membuat properti semakin lemah," tukas Junaidi.

 

Editor : Sujud Dwi Pratisto

 

 

695