Home Ekonomi Tekad Menyelamatkan Sawit Dari Bina Graha

Tekad Menyelamatkan Sawit Dari Bina Graha

Jakarta, Gatra.com - Wajah lelaki 62 tahun itu nampak tenang, mimiknya serius, telinganya tajam mendengar, jemarinya yang terselip pulpen nampak meliuk.

Entah sudah berapa lembar kertas yang habis dia tulisi, sambil menengok orang yang sedang bicara kepadanya.

Jenderal yang pernah menjadi Panglima TNI ke-18 ini tak mau memutus sharing dan diskusi itu, meski pembawa acara di Kantor Staf Presiden (KSP) sudah memberi waktu padanya untuk ngomong.

"Diskusi saja dulu, siapa lagi yang mau bicara, Pak Sahat," pinta Moeldoko kepada Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan yang disebutpun langsung bicara.

Tak terasa, Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Dewan Pembina, Dewan Pakar dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) yang digelar di Gudung Bina Graha KSP pada Kamis (3/10) itu, usai.

"Saya semakin memahami kelapa sawit. Dengan modal pemahaman ini, saya akan berbicara dengan menteri terkait, presiden, tentang apa saja yang menjadi persoalan sawit ini. Saya senang Apkasindo terus berjuang, sebab memang begitulah semestinya. Kalau bukan kita yang memperjuangkan, siapa lagi," kata Kepala KSP yang juga ketua Dewan Pembina Apkasindo itu.

Kelapa sawit. Terlalu banyak deraan, fitnah dan tudingan miring kepada tumbuhan hutan asal Kepulauan Mauritius ini. Bahkan di dalam negeri sendiri, banyak yang benci terhadap tanaman sumber devisa paling wahid itu.

Tak hanya oknum Non Government Organization (NGO), tapi juga sejumlah oknum petinggi negara.

Sebahagian orang Eropa menuding kelapa sawit sebagai tanaman beresiko tinggi (high risk), perusak lingkungan. Lalu di dalam negeri, sejumlah petinggi ogah memasukkan tanaman ini ke dalam kelompok tanaman hutan.

Padahal Malaysia, yang cikal bakal sawitnya berasal dari Indonesia, sudah sejak lama menjadikan kelapa sawit tanaman hutan. Mereka menyebut Palm Oil Garden (POG).

Deraan lain? Masih banyak. Ada dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS yang tak berpihak pada petani meski 46 persen sumber dana itu berasal dari hasil keringat petani.

Dan yang paling menyakitkan adalah sejumlah oknum membikin aturan main pada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang pada akhirnya membikin petani kelapa sawit klenger. Dibilang klenger lantaran di dalam ISPO itu, kebun sawit petani yang berada pada klaim kawasan hutan, enggak bakal laku!

Oleh sederet kenyataan tadilah yang kemudian membikin keluarga besar Apkasindo menggelar Rakortas yang kebetulan digelar di Bina Graha tadi.

Para petinggi Apkasindo ngariung di Rakortas itu. Mulai dari Moeldoko tadi, Mayor Jenderal TNI (Purn) Erro Koesnara, Bayu Krisnamurthi, Sahat Sinaga, Sadino, Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino dan sederet pengurus lain.

Bayu kemudian cerita soal ISPO yang dilahirkan pada 2008 silam. "Waktu itu sudah ada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO ini adalah sistem sertifikasi internasional yang saat itu paling populer. Lantaran tahu sawit Indonesia paling luas, RSPO membikin sekretariat di Indonesia. Saban waktu orang RSPO minta Indoensia masuk menjadi anggota," cerita mantan Wakil Menteri Perdagangan itu.

Waktu itu kata Bayu, ada 2300 anggota RSPO. Dari jumlah itu, 2000 statusnya perusahaan pembeli. Rata-rata dari Eropa. "Kita selalu ditekan, harus ikuti cara mereka. Lama-lama Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) marah dan keluar dari RSPO. Saat itu saya Deputi perekonomian," kenang bayu.

Keluar dari RSPO, Indonesia kata Bayu bikin sendiri. Namanya ISPO. Ada 39 peraturan yang dibikin di ISPO itu. Aturan itu bersumber dari 11 kementerian yang ikut menangani sawit.

Intinya kata pencetus nama ISPO itu, ISPO adalah sebuah proses sistematika dalam satu kumpulan yang tujuannya bukan untuk menabrak aturan lain,

"ISPO untuk menyesuaikan dengan kondisi kita, bukan pasar. Ini peraturan kami, bukan untuk memenuhi permintaan Anda, tapi memenuhi kedaulatan peraturan kami," kata Bayu saat bicara dengan pihak di luar negeri.

ISPO kemudian berevolusi dan mendapat apresiasi dari kalangan Internasional. ISPO hanya wajib untuk barang ekspor. "Petani dikecualikan, sepanjang masalah yang dihadapi petani belum diselesaikan," kata Bayu.

Bayu mengulang kembali, "Bahwa dedikasi ISPO adalah untuk melihat peraturan kita sendiri, bukan membikin peraturan baru. Kenapa kemudian ada Peraturan Presiden (Perpres), karena selama ini ISPO hanya bermodalkan SK Menteri Pertanian. Keadaan ini menjadi menyulitkan lantaran yang terkait dengan perkebunan sawit rakyat ada peraturan menteri lain. Supaya teratur, ditingkatkanlah itu menjadi Perpres, supaya terpayungi. Menterinya ikut aturan presiden," cerita Bayu panjang lebar.

Namun yang kemudian menjadi tidak pas itu kita terlalu banyak konsultan asing masuk ke tim penguatan ISPO, "Ini yang kembali musti kita luruskan," pintanya.

Selain menyoal ISPO, Bayu juga meminta kepada Moeldoko untuk mendorong kelapa sawit dimasukkan dalam kelompok tanaman hutan.

"Kalau ini dimasukkan, masalah beres. Sebab sejujurnya, perlakukan kepada sawit agak diskriminatif. Karet, kopi, mangium, lada, pala, sengon diakui tanaman hutan, kok sawit enggak diakui? Membikin sawit menjadi tanaman hutan cukup pakai Peraturan Menteri kehutanan (Permenhut). Dan satu hal yang paling perlu kita pahami, secara keilmuan, sawit memang tanaman hutan. Tengok Malaysia yang sudah sejak lama membikin itu. Namanya Palm Oil Garden," katanya.

"Tapi kalau persoalan tanaman sawit yang notabene masalah petani sawit tidak beres, maka aturan yang ada sama saja dengan membunuh petani," tambahnya.

Tak berlebihan sebenarnya jika Bayu sangat bersemangat mendorong kelapa sawit tadi untuk diselamatkan. "Kita sebenanrya sedang menutupi data, bahwa produksi sawit kita sekarang sebenarnya sudah 41-42 juta ton pertahun. Jika ditambah dengan kernel, menjadi 47 juta ton. Sementara di luar, masih saja dibilang 37 juta," katanya.

Dengan jumlah tadi, sudah bisa dipastikan bahwa sawit menjadi sumber devisa terbesar bagi Indonesia. Minyak bumi dan gas tidak terlalu bisa diharapkan lagi lantaran semakin lama semakin berkurang.

Dan Sahat Sinaga mengamini itu. Dia malah mengatakan kalau tanaman perkebunan seperti sawit, karet, kakao dan yang lainnya, adalah 12-15 persen dari total GNP nasional. Dan ini nilainya mencapai $US150 miliar-$US 200 miliar.

"Setelah krisis, yang mendukung ekonomi kita hanya sawit dan batubara. Gula kita terpuruk hingga harus impor 3-4 juta ton," katanya.

Soal yang dibilang Bayu tadi, Sadino sepakat. Peneliti yang juga pakar hukum perhutanan ini mengatakan bahwa mandegnya program pemerintah di sektor peremajaan kelapa sawit lantaran status tanaman kelapa sawit tadi.

Begitu juga dengan program penyelesaian persoalan tanah di kawasan hutan. Sawit menjadi bumerang lantaran yang boleh diselesaikan pada persoalan tanah di kawasan hutan seperti yang tertera pada Peraturan Presiden 88 2017 adalah tanaman campuran.

"Biar beres, Perpresnya direvisi. Masukkan tanaman perkebunan di sana. Itupun kalau sawit tadi belum dijadikan tanaman hutan," katanya.

Mendengar semua paparan itu, Moeldoko berjanji segera berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan untuk mengurai persoalan itu.

Mulai dari KLHK, Kementerian Perekonomian, Kementerian Keuangan hingga Kementerian Pertanian akan diajak bicara.

Lalu soal kemungkinan kelapa sawit dimasukkan kembali ke dalam kelompok tanaman hutan, Moeldoko sepakat akan membahas lebih lanjut lantaran naskah akademisnya sudah ada.

Yang pasti kata Moeldoko, saat ini sawit sangat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah. Itulah makanya hasil rapat terbatas menjadi penting untuk disampaikan kepada Kementerian Pertanian dan kementerian terkait saat rapat dengan Presiden, termasuk sola Draft Perpres ISPO itu, harus mengedepankan kepentingan petani dan jangan malah menyusahkan petani sawit.

Khusus soal BPDPKS, Moeldoko mengaku sudah menerima banyak laporan dan membaca di berbagai media, bahwa BPDPKS sudah melenceng sangat-sangat jauh dari konsep yang diingin semula.

"Ini akan menjadi perhatian serius Pemerintah, peran BPDPKS ini sangat strategis, harus dibenahi, katanya.


Abdul Aziz

726