Home Politik Politisi Gerindra Soal Perbedaan Pasal Zina di RKUHP

Politisi Gerindra Soal Perbedaan Pasal Zina di RKUHP

Jakarta, Gatra.com - Politisi Partai Gerindra yang pernah menjabat sebagai Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI periode 2014-2019, Supratman Andi Agtas, mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan saat ini telah berusia hampir 100 tahun. Namun, RKUHP yang merupakan pembaharuan dari KUHP lama malah menjadi sangat kontroversial.

"KUHP ini kan kita ini sudah berusia hampir 100 tahun walaupun secara resmi itu berlaku pada tahun 1946. Tetapi proses keinginan adanya untuk kita memiliki KUHP nasional itu dimulai sejak tahun 1960," katanya di DPP Gerindra, Jakarta, Sabtu (12/10).

Salah satu pasal kontroversial yang disebutkan Supratman, yakni pasal 417 ayat 1 dan 2 tentang perzinaan. Sebagian besar masyarakat, katanya, telah salah mengartikan maksud dari pasal yang tercantum dalam RKUHP ini.

Baca Juga: Pengamat : RKUHP Tidak Pasti akan Dilanjutkan

"Perbedaannya adalah kalau di KUHP lama kita, yang dimaksud dengan zina itu adalah mereka yang berhubungan, yang salah satu di antaranya adalah sudah bersuami atau beristri. Jadi, kalau tidak bersuami atau beristri, salah satunya atau kedua-duanya, itu tidak dikategorikan sebagai zina," jelasnya.

Maka dalam RKUHP, lebih ditegaskan lagi bahwa siapa pun yang melakukan hubungan intim tanpa status pernikahan yang sah, dikategorikan sebagai zina. Selain itu, pasal ini juga merupakan sebuah delik aduan yang hanya bisa dilakukan oleh suami, istri, orang tua, atau anaknya saja.

Baca Juga: Baru Dilantik, Anggota DPR Ini Kritik Isi RUU KUHP

"Yang penting dia bersetubuh. Inilah yang secara politik dan sosiologis diprotes oleh banyak pihak. Hingga akhirnya pemerintah Australia dan China mengeluarkan travel warning kepada pemerintah Indonesia supaya hati-hati kalau berkunjung ke Indonesia," ujarnya.

Di sisi lain, terdapat kelompok masyarakat yang mendukung adanya pasal perzinaan dalam RKUHP ini. Pasal 417 ayat 1 dan 2 dinilai sesuai dengan norma yang ada di masyarakat.

"Kalau kita cantolkan dari sisi filosofi berdasarkan Pancasila, mulai dari sila ketuhanan yang maha esa, harusnya sebenarnya ini tidak ada masalah. Tetapi kan baik secara filosofis ataupun yuridisnya belum tentu bisa diterima secara sosiologis oleh masyarakat," pungkas Supratman.

118