Home Gaya Hidup Di Masa Kolonial, Kereta Api Tak Pernah Terlambat Semenitpun

Di Masa Kolonial, Kereta Api Tak Pernah Terlambat Semenitpun

Banjarnegara, Gatra.com - Keberadaan moda transportasi kereta api ternyata mampu membentuk budaya masyarakat. Hal ini terjadi sejak kolonial Belanda hingga masa kini.

Dosen Jurusan Sejarah Universitas Airlangga Surabaya, Purnawan Basundoro saat meluncurkan buku karyanya berjudul "Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Karsidenan Banyumas 1830-1940an". Ia menyebutkan, pada masa kolonial, jadwal kereta api di Jawa hampir tidak pernah terlambat meskipun semenit. Hal ini berkaitan dengan pembentukan kultur masyarakat.

"Untuk menghidupkan lagi kereta api (di Jawa), kita harus mengubah kultur masyarakat," jelasnya di Aula SDN 1 Klampok Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (17/10).

Menurutnya, masyarakat saat ini kebanyakan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Padahal pada masa kolonial Belanda, moda transportasi kereta api begitu digemari masyarakat Banjarnegara. Jutaan penumpang diangkut setiap tahunnya oleh kereta api Serajoedal Stoomtram Matschapij (SDS), perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda.

Purnawan yang juga Wakil Rektor Bidang SDM Unair Surabaya ini berharap, moda transportasi kereta api dapat dihidupkan kembali di wilayah Banjarnegara dan sekitarnya.

"Padahal ke depan, pembangunan berdampak pada perubahan desa menjadi kota. Ketika itu terjadi, maka kita akan mengalami kekacauan dalam transportasi" tambahnya.

Ia menyarankan, untuk mengatasi persoalan itu, dibutuhkan pembangunan sistem transportasi masal yang dilengkapi interkoneksi dan ketersediaan feeder di rumah daerah pedalaman ke pusat moda transportasi massal. Menurutnya, ketika dibangun beberapa jalur transportasi, maka secara otomatis wilayah yang sepi akan berubah menjadi ramai. Ini akan terjadi di titik pemberhentian kereta. 

"Munculnya pasar di Klampok, Purwanegara, Gumiwang, Pucang dan seterusnya, merupakan efek domino adanya jalur kereta api dimana disana ada halte pemberhentian kereta pada masanya" tandasnya.

Sementara itu, pegiat Banjoemas History and Heritage Community (BHHC) Jatmiko Wicaksono menilai, Banjarnegara memiliki potensi cagar budaya. Jika hal itu tidak dibarengi dengan Perda Cagar Budaya, maka cagar budaya yang ada bisa terancam punah.

"Pemerintah dan masyarakat harus menjaga sejarah. Hal itu dapat dilajukan ketika ada Perda. Sejarah lokal adalah pembangun sejarah nasional. Jika cagar budaya yang ada di Banjarnegara hilang, maka akan hilang pula sejarah bangsa" ungkapnya.

Wakil Bupati Syamsudin mengatakan, buku tersebut merupakan bukti bahwa putra Banjarnegara memiliki peran strategis menyumbang keilmuan untuk masyarakat Banjarnegara.

"Tentang Perda Cagar Budaya, tahun depan akan kita bahas dan tetapkan. Banjarnegara dapat bermartabat dan sejahtera manakala masyarakatnya memiliki kesadaran sejarah, sebagai bekal menghadapi masa depan" ujar Wabup.

Acara tersebut digagas oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Kabupaten Banjarnegara, bekerjasama dengan Pemkab, PGRI dan Universitas Airlangga, berbarengan dengan pengukuhan pengurus AGSI Banjarnegara.

468