Home Politik LSI Sebut Intoleransi di Era Jokowi Masih Tinggi

LSI Sebut Intoleransi di Era Jokowi Masih Tinggi

Jakarta, Gatra.com - Lembaga Survei Indonesia  (LSI) melakukan penelitian terkait dengan tingkat intoleransi di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. LSI memaparkan gejala meningkatnya intoleransi di masyarakat di era pemerintahan Jokowi masih buruk.

"Dibandingkan tahun 2018, tahun 2019 cenderung stagnan. Dan jika dibandingkan 2017 dan 2016 tampak situasi yang Iebih buruk, khususnya dalam kehidupan berpolitik," ujar Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan saat memaparkan hasil survei yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (3/11).

Djayadi memaparkan, dalam surveinya, terdapat 53% warga muslim yang keberatan terhadap nonmuslim dalam hal membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan 36,8% mengaku tidak keberatan.

Meski begitu dalam survei juga masih detemukan adanya hasil yang lebih baik terkait dengan nonmuslim yang menyelenggarakan kegiatan keagamaan. Hasilnya, yang keberatan 36,4 persen. Sedang yang tak keberatan ada 54 persen.

Selain intoleransi dalam aspek religius, LSI juga menyoroti soal intoleransi dalam hal politik. LSI mencatat mayoritas Muslim merasa keberatan jika non-muslim menjadi kepala pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, gubernur, wakil presiden, dan presiden.

Survei LSI mencatat yang keberatan jika non-muslim menjadi presiden sebesar 59,1%, sedangkan yang tidak keberatan 31,3%. Lalu yang keberatan jika non-muslim menjadi wakil presiden sebesar 56,1%, dan tidak keberatan 34,2%. Yang keberatan jika non-muslim menjadi gubernur sebesar 52%. Yang tidak keberatan 37,9%. Yang keberatan jika non-muslim menjadi walikota/bupati sebesar 51,6%, sementara yabg tidak keberatan ada sebanyak 38,3%.

Djayadi mengungkapkan bahwa lebih jauh, hasil survei ini bisa dikaitkan dengan adanya politik identitas. "Politik identitas itu salah satu dasarnya dari sini," ujarnya.

Kalau situasinya demikian, Djayadi menilai wajar jika banyak yang menggunakan politik identitas di dalam politik. "Kalau situasinya seperti ini maka wajar kalau orang menggunakan politik identitas di dalam politik, karena memang ada perkembangan yang tajam," ujarnya.

143