Home Ekonomi Dagelan Sustainable dan Isapan Jempol Premium Price

Dagelan Sustainable dan Isapan Jempol Premium Price

Pekanbaru, Gatra.com - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengaku miris menengok cara-cara oknum di Eropa mengakali para pengusaha kelapa sawit di Indonesia.

Sebab iming-iming bakal membeli Crude Palm Oil (CPO) yang bersertifikat sustainable dengan premium price ternyata cuma isapan jempol. Ini terbukti dari data yang ada bahwa penjualan CPO bersertifikat hanya di bawah 50 persen saban tahunnya, bahkan 3 tahun terakhir tidak sampai 30, artinya CPO Bersertifikat tersebut tidak laku.

"Kalau sudah seperti itu kondisinya, siapa yang musti disalahkan dan siapa pula yang musti diminta pertanggungjawabannya? Dan pertanyaan yang kemudian muncul, sebesar apa dampak Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah dibikin di Negeri ini disaat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang notabene bikinan mereka saja, enggak dianggap apa-apa," lelaki 47 tahun ini bertanya.

Bertungkus lumus perusahaan memenuhi segala persyaratan, tapi kemudian persyaratan itu hanya masuk keranjang sampah.

"Perlu dicatat, untuk menghasilkan CPO bersertifikat sustain, biaya produksinya tidak murah, dan sialnya, semua penambahan biaya produksi demi sertifikat sustain tadi, dibebankan kepada TBS petani. Ingat, 42 persen dari luas perkebunan kelapa sawit di negeri ini, dikelola petani. Maka wajar sajalah jika duit hasil kebun petani sawit Indonesia hanya cukup untuk makan lantaran untung mereka sudah tersedot oleh ‘ongkos’ sustain itu," rutuk Gulat saat berbincang dengan Gatra.com, Senin (2/12).

Selama ini kata Gulat, petani sawit yang menggendong sebagian besar ongkos produksi untuk sertifikat sustain itu. "Tengok sajalah, harga TBS Petani selalui 30-40 persen di bawah harga kesepakatan Dinas Perkebunan di 22 provinsi perwakilan Apkasindo. Saya ini Auditor ISPO, saya tahu persis ke mana tiki-taka permainan sustain ini," tegas Gulat.

Setela RSPO, ISPO hadir, perusahaan kembali 'dipaksa' memenuhi sederet kewajiban. Belakangan, petani menyusul 'dipaksa' ber-ISPO pada Draft Perpres ISPO.

"Jujur, saya merasa kita ini kayak orang goblok aja dibikin mereka (Eropa) itu. Kayak orang yang enggak punya adat dan etika terhadap alam. Kami petani, sangat menjaga keberlangsungan kebun kami. Tanpa disuruhpun kami mengelola dengan baik, kami sudah lakukan," katanya.

Mestinya kata Gulat, dengan kejadian premium price isapan jempol tadi, oknum-oknum petinggi di Negeri ini segera sadar dengan kemampuan Negeri sendiri, bukan malah 'bangga' dikadali oleh negara-negara UE yang katanya ‘sadar lingkungan’.

"Saya sudah ke negara mereka, di sana sudah tidak ada lagi hutan, sudah berganti dengan tanaman kedelai, rapeseed, dan sun flower, masak mereka menyuruh kita menyediakan Oksigen dari hutan kita di saat mereka sudah tidak punya hutan lagi? Kemana hutan mereka? Pemanfaatan tanah oleh kedelai, rapeseed, dan sun flower sepuluh kali lebih boros dari sawit, jadi wajar saja hutan mereka lekas luluh lantak," sindir kandidat doktor llmu lingkungan ini.

"Ada baiknya stakeholder yang bersentuhan dengan sawit dan kawasan hutan menjadikan momen tadi sebagai pelajaran paling berharga bahwa kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Saya ambil contoh kawasan hutan. Rumitnya persoalan kawasan hutan sebenarnya ulah tekanan-tekanan tak jelas tadi, bukan oleh kemauan negeri sendiri," tambah Gulat.

Gulat sangat mengapresiasi pernyata Presiden Jokowi bahwa sawit Indoensia harus berdiri di kaki sendiri. "Artinya CPO kita pakai sendiri untuk biodiesel, biofuel. Kenapa harus menghabiskan energi bertarung dengan Uni Eropa kalau kita bisa olah sendiri," Gulat menirukan omongan Jokowi.

Belakangan kalangan produsen CPO pusing lantaran CPO bersertifikat lesu di pasar global. Penjualan hanya di bawah 50 persen. Dengan kondisi seperti ini, mau tak mau produksi menumpuk.

"RSPO itu enggak membela produsen maupun petani tapi cuma tekanan demi tekanan dan jualan sertifikat," kata Maruli Gultom, pengamat industri perkelapasawitan.

Menurut Maruli, RSPO itu cenderung pada kepentingan business to business. "Anggota RSPO disuruh bayar iuran tahunan yang mahal dan biaya itu masuk pada biaya produksi seperti yang dikatakan Gulat tadi," katanya.

Celakanya kata Maruli, produsen mau saja membayar, sudahlah membayar, dipermalukan pula oleh NGO dalam forum tahunan. "Kalaupun ingin menerapkan prinsip sustainable, saya pikir enggak perlulah harus menjadi anggota RSPO,” katanya.


Abdul Aziz

634