Home Politik AIPI: Jangan Bangga Jika Pemilu Indonesia Kompleks dan Rumit

AIPI: Jangan Bangga Jika Pemilu Indonesia Kompleks dan Rumit

Jakarta, Gatra.com - Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Syamsuddin Haris menyindir masih ada yang bangga jika pemilihan umum (Pemilu) serentak di Indonesia kompleks dan rumit. 

"Kenapa kita mesti bangga dengan itu? Pemilu yang kompleks dan rumit, kok, bangga? Menyebabkan kematian bagi 700 sampai 800 petugas KPPS. Aneh makanya. Bagi saya ini kebanggaan semu. Kebanggaan yang tidak ada artinya," kata Haris, Jakarta (10/12). 
 
Haris menjelaskan bahwa di India, Pemilu diselenggarakan sepanjang satu bulan penuh. Bahkan, Pemilu terakhir yang dilaksanakan di India mencapai enam gelombang. 
 
"Pemilu kita memaksakan pemungutan suara dan penghitungan suara selesai dalam satu hari. Suatu pemaksaan yang sangat-sangat tidak manusiawi," tambah Haris. 
 
Beban yang dimiliki oleh petugas Pemilu dan petugas KPPS, sambung Haris, berlipat-lipat. Pasalnya, sistem Pileg tidak berubah yaitu proporsional. Pada saat yang sama partai politik bertambah dari 12 menjadi 16. "Coba bayangkan, berapa banyak formulir yang mesti diisi oleh petugas KPPS?" tegas Haris. 
 
Haris menjelaskan bahwa terjadi dilema di masyarakat dan para pembuat undang-undang tidak mengantisipasi soal ini dengan hitungan yang cermat dan baik. "Sebetulnya sudah bisa dibayangkan saat Pemilu belum serentak pada tahun 2014 silam sudah lebih dari 100 orang petugas pemilu yang meninggal," ungkapnya.
 
Selanjutnya, ia menerangkan bahwa alasan pemerintah menggunakan sistem Pemilu serentak, karena di masa-masa sebelumnya, pemilihan umum legislatif (Pileg) mendahului pemilihan umum presiden (Pilpres). Haris mengatakan sistem seperti itu tidak wajar atau anomali. 
 
"Ini memang suatu anomali. Kenapa anomali? Sebab sistem kita adalah presidensial. Tapi, kok, Pileg mendahului Pilpres?" kata Haris, Jakarta (10/12). 
 
Haris melanjutkan bahwa hal tersebut sudah salah sejak awal. Bagaimanapun, sambung Haris, logika sederhananya, Pilpres mendahului Pileg. 
 
"Di banyak negara yang dilakukan memang menyerentakkan Pileg dan Pilpres. Sistem presidensial umumnya di Amerika Latin, atau jika di Asia Tenggara itu ada Filipina, memang Pileg dan Pilpres itu diserentakan," kata Haris. 
 
Oleh sebab itu, sambung Haris, masalah sebetulnya bukan pada keserentakan Pemilu melainkan lebih pada pilihan skema Pemilu yang mengharuskan pemungutan dan penghitungan suara dalam waktu teramat singkat.
202