Home Ekonomi Masyarakat Sipil Kampanyekan Biofuel Sehat di Car Free Day

Masyarakat Sipil Kampanyekan Biofuel Sehat di Car Free Day

Palembang, Gatra.com – Koalisi Sumsel untuk biofuel sehat menggelar aksi di Kambang Iwak Park, Palembang, Sumsel, Minggu (15/12). Mereka mengajak masyarakat kritis guna sama-sama memahami bagaimana rantai mekanisme dan alur biofuel yang sehat.

Dikatakan Perwakilan Perkumpulan Lingkar Hijau, Afek, Pemerintah telah menerbitkan kebijakan penggunaan minyak sawit pada pencampuran bahan bakar solar biofuel sebanyak 20% (B20) sampai dengan 100% (B100) pada 2024 mendatang. Pada saat B100 telah diterapkan pemerintah maka seluruh bahan bakar solar dari fosil akan ditiadakan.

“Pertamina sebagai salah satu perusahaan negara yang melakukan pengelolaan, pengadaan dan pemasaran bahan bakar di Indonesia terus melakukan penelitian dan uji coba penggunaan biodiesel terhadap mesin mesin solar namun rantai masyarakat harus bisa mengkritisi bagaimana rantai biofuel ini hendaknya lebih sehat dan ramah lingkungan,” terang ia.

Program yang digadangkan sebagai program menurunkan emisi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil sekaligus mengatasi dampak perubahan iklim diharapkan mampu dinilai dari siklus mata pasok,

“Yang selama ini menjadi salah satu sorotan dunia internasional di tengah minimnya pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap perusahaan sawit. Salah satu contoh kasusnya, ialah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) lahan konsesi perusahaan sawit yang berulang setiap tahun di Sumsel,” sambungnya.

Karhutla yang terjadi di Sumsel tahun ini, menjadi yang tertinggi selama tiga tahun terakhir setelah tahun 2015 yang lalu juga mencatat peristiwa buruk atas kejahatan lingkungan tersebut. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel, diketahui luasan lahan yang terbakar di Sumsel mencapai 361.857 ha (sampai September 2019). Luasan terbakar itu mencapai 220.483 ha berada di kawasan gambut dan sisanya non gambut (mineral) sehingga mengakibatkan banyak kerugian yang dialami masyarakat terutama aspek kesehatan dan ekonomi.

“Peristiwa kejahatan lingkungan yang terus berulang di lahan konsensi perusahaan menjadi cerminan buruk atas niatan perusahaan menerapkan ekonomi berkelanjutan di Sumsel. Belum lagi, tingginya konflik lahan antara masyarakat petani dan perusahaan sawit yang terjadi di Sumsel masih menjadi polemik berkepanjangan reforma agraria, selama ini,” ujarnya.

Dari sisi pembiayaan perusahaan sawit, Orientasi Jasa Keuangan (OJK) aturan kebijakan teknis nomor 51/2017 mengenai ekonomi berkelanjutan. Sebagai lembaga oriritas jasa keuangan dalam mengawasi sektor jasa keuangan yang pendanaannya berasal dari masyarakat harus juga serius dalam menerapkan komitmen prinsip ekonomi keberlanjutan NDPE tersebut dengan memberikan sanksi tegas pada perusahaan perkebunan sawit terlibat karhutla dan pelanggaran HAM.

“Misalnya saja, perusahaan Tunas Baru Lampung (TBL) yang lahan konsensinya terbakar pada tahun ini, memperoleh sumber pembiayaan yang berasal dari bank-bank ternama dan bank plat merah pemerintah,” ucap dia.

Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM RI No. 2018 K/10/MEM/2018 mengenai penunjukan 10 group besar perkebunan sawit sebagai pemasok biodiesel masih perlu dicermati karena masih banyak group perusahaan tersebut malah yang melakukan praktek buruk menghasillkan produk sawitnya, baik dilakukan anak perusahaannya maupun pemasok secara tidak langsung (berasal dari pihak ketiga).

“Dari 10 group pemasok biodiesel yakni diantaranya telah mendeklarasikan kebijakan dan komitmen No Deforitation, No Peat Development and Exploitation (NDPE). Jika kebijakan dan komitmen tersebut dijalankan dengan konsisten, maka seharusnya konflik dan kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit bisa menurun atau malah tidak lagi terulang sekaligus bisa menghasilkan biofuel yang bersih dan sehat untuk semua,” pungkasnya.

 

 

114