Home Ekonomi Ini Sebab Baja Dalam Negeri Mahal Versi Kemenperin

Ini Sebab Baja Dalam Negeri Mahal Versi Kemenperin

Jakarta, Gatra.com - Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Harjanto mengungkapkan, persoalan industri baja dalam negeri mengalami dua tantangan besar, pertama terkait lingkungan dan kedua soal tata niaga-nya itu sendiri. 

Soal lingkungan misalnya, menurut Harjanto, slag limbah industri baja masih dikategorikan sebagai limbah B3. Padahal, based practice-nya seperti Basel Convention ada puluhan negara yang tidak mengklasifikasikan limbah baja sebagai limbah B3. 

"Kalo kita lihat Basel Convention, 10 negara lain tidak menyebut sebagai limbah b3. Ini dipakai untuk bahan bangunan, seperti pupuk dan semen," kata Harjanto saat menyampaikan kuliah umum President University, di Menara Batavia, Jakarta, Rabu (18/12).  

Baca juga: Industri Baja Indonesia Merugi, Ada Upaya Masif

Masalah lainnya, kata dia,  baja industri dalam negeri bahan bakunya masih impor. Efeknya, jika ada oli sedikit dilategorikan B3. "Gimana mau bersaing, ini kan cost semua buat industri. Masalah lingkungan ini yang sulit. Jadi ada tiga masalah besar di samping tata niaga," ujarnya.

Padahal, Harjanto menuturkan, pabrik baja prosesnya harus terintegrasi. Namun faktanya, pabrik baja sekarang sulit untuk dikelola secara efisien, salah satu sebabnya mahalnya harga gas. Menurutnya, Krakatau Steel (KS) dulunya punya dapur menggunakan gas, namun ketika gas mahal, dapur tersebut menggunakan listrik. Sehingga, impor slab tidak dapat dihindarkan. 

Baca jugaSistem Database SIBANA, Solusi Polemik Industri Baja Hulu Hilir

"Mau digiring panasin dulu, jadi ini ada cost. Jadi tidak integrasi, cost mahal, bagaimana mau bersaing dengan baja impor. Kalo energinya bisa diperbarui, industrinya akan efisien lagi. Ujungnya harga baja akan turun. Ini masalah internal," jelasnya.

Selain itu, tantangan lainnya, pabrik baja di Indonesia masih fokus pada manufakturnya saja. Padahal, pabrik baja di Eropa misalnya sudah mulai mengembangkan R and D-nya. 

"Belgia misalnya ada 600 pekerja R and D yang hanya memikirkan bagaimana men-development kawat. Jadi, proses manufakturingnya tidak dibikin di sana. Misalnya di Indonesia, tapi paten dan R and D di sana," ungkapnya. 

"Mungkin di sana katanya untuk kawat peternakan, keperluan kedokteran. Industri kita hanya di manufaktur saja. Tidak bicara R and D. Jadi bisa lari ke branding atau ke inovasi dengan adanya R and D," tambahnya. 

185