Home Milenial GMNI Usulkan Pendidikan Kebangsaan Jadi Esktrakurikuler

GMNI Usulkan Pendidikan Kebangsaan Jadi Esktrakurikuler

Samarinda, Gatra.com - Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino berkeinginan agar Pemerintah mewujudkan pendidikan kebangsaan jadi program ekstrakurikuler wajib di sekolah. Tujuannya, guna memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya.

Menurut Arjuna, penguatan pendidikan kebangsaan di sekolah juga merupakan bagian dari upaya menangkal intoleransi.

Pendidikan kebangsaan yang diusulkan oleh DPP GMNI yang dimaksud tersebut, berisi pembelajaran tentang wawasan nusantara, dan pemikiran para pendiri bangsa.

"Untuk tangkal Intoleransi, kita usulkan pendidikan kebangsaan jadi ekstrakurikuler wajib dimulai dari pendidikan dasar. Kita bisa bagi sesuai tingkatan pendidikan. Untuk sekolah dasar kita bisa isi dengan pengetahuan tentang keberagaman dan kebhinekaan Indonesia. Untuk pendidikan menengah kita bisa masukan aspek historis dan substansi pemikiran para pendiri bangsa. Sehingga siswa memiliki pemahaman yang utuh tentang Indonesia," jelas Arjuna saat dikonfirmasi, Ahad (29/12).

Bukan tanpa alasan, GMNI mengusulkan wacana ini. Pasalnya, menurut Arjuna, model pendidikan yang diaplikasikan di sekolah-sekolah selama ini hanya berfokus pada pengembangan kompetensi teknis (technical skill), namun kering akan pemahaman kebangsaan dan ke-Indonesiaan.

Pendidikan semacam ini, membuat dunia pendidikan mudah diinfiltrasi ideologi ekstrimis. Karena pendidikan hanya berkonsentrasi mencetak manusia robot sesuai standar mekanisme pasar.

Apalagi jika metode yang digunakan cenderung satu arah. Maka manusia yang dihasilkan adalah manusia yang berfikir monolitik. Sehingga mudah terpapar pikiran intoleran.

Hasil penelitian yang dilakukan lembaga survei dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga 2018 menyebutkan, sebanyak 10% kelompok muda setuju menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama.

"Kita usulkan menjadi program ekstrakurikuler agar siswa bisa belajar tanpa beban. Bisa menjadi wahana yang dialogis. Sekolah kita hanya mencetak tenaga kerja terampil. Yang terpenting bisa bekerja dengan rumus dan cara yang ditentukan. Sehingga tidak mengajarkan siswa berfikir multi-oerspektif. Apalagi jika metode mengajarnya sangat dogmatis. Kondisi yang mendukung suburnya pikiran intoleransi," tuturnya.

314