Home Hukum Pertimbangan MK Tolak Uji Materi Terkait Pepera Papua 1969

Pertimbangan MK Tolak Uji Materi Terkait Pepera Papua 1969

Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Konstitus (MK) menolak uji materi yang diajukan oleh Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Papua terkait Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat yang berkaitan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada Senin, 6/1.

Koordinator Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Papua Yan Christian Warinussy mengatakan bahwa UU Nomor 12 Tahun 1969 bertentangan dengan beberapa pasal penting terkait HAM yang terdapat di dalam kontitusi negara.

"Putusan hari ini kita lihat bahwa majelis hakim kontitusi di awal mengatakan bahwa mereka tidak punya wewenang untuk menilai sebuah peristiwa internasional yang terjadi pada tahun 1969," kata Yan saat ditemui di Gedung MK usai sidang putusan, Jakarta (6/1).

Pepera sendiri adalah pemilihan umum yang diadakan pada 2 Agustus 1969 untuk menentukan status daerah bagian Barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Sebanyak 1.025 laki-laki dan perempuan yang diseleksi militer Indonesia secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia.

Keabsahan hasilnya masih dipersoalkan oleh berbagai pihak hingga saat ini. Nama Pepera dalam bahasa Inggris Act of Free Choice seringkali dipelintir menjadi Act of No Choice.

Pengesahan UU tersebut, kata Yan, melanggar HAM karena melakukan praktik yang tidak demokratis seperti penggunaan kekerasan, pengerahan militer, dan sebagainya. "Lalu dari kurang lebih 800 ribu jiwa rakyat Papua, hanya 1.025 orang saja yang menentukan. Tidak dilakukan terbuka," terang Yan.

Sementara itu, hakim konstitusi I Gede Dewa Palguna mengatakan bahwa amar putusan menunjukkan rakyat di Irian Barat telah menentukan dengan mutlak bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI, berdasarkan rasa kesadaran, kesatuan dan persatuannya.

"Oleh karena tidak terdapat persoalan kerugian hak konstitusional maka mahkamah berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo," kata Palguna.

Kendati demikian, Yan mengungkapkan bahwa akan mencari mekanisme lain, di luar mekanisme yang digunakan oleh negara. Misalnya, mekanisme internasional.

"Karena mereka (hakim kontitusi) menganggap tidak memiliki wewenang, maka persoalan yang dipersoalkan para pemohon dianggap tidak merugikan secara konstitusional karena ini adalah peristiwa internasional," kata Yan.

521