Home Hukum Laporan Komnas HAM Soal Aksi September Tuai Kritik

Laporan Komnas HAM Soal Aksi September Tuai Kritik

Jakarta, Gatra.com - Tim Advokasi untuk Demokrasi mengaku kecewa atas laporan Komnas HAM pascaaksi 'Reformasi Dikorupsi' yang menolak revisi undang-undang kontroversial, seperti RUU KPK dan RKUHP di depan DPR, 24-26 September 2019 lalu. Gerakan akbar itu berujung ricuh hingga meregang lima nyawa.

Dalam laporan itu, Komnas HAM membeberkan upayanya yang dikelompokkan dalam lima kategori, di antaranya audiensi dan pengaduan; pembentukan tim pascaaksi; pemantauan lapangan; pemanggilan dan klarifikasi; serta media monitoring.

Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menilai laporan itu kurang terbuka dan membawa instrumen HAM. Ia mengkritisi soal pembentukan tim yang menurutnya terhitung terlambat.

"Seharusnya tim ini dibentuk sebelum atau pada saat aksi terjadi, bukan dilakukan setelah aksi, bahkan dilakukan setelah audiensi dan pengaduan. Apa yang didapat Komnas HAM setelah peristiwa terjadi? Tidak mendapat informasi aktual dari lapangan dan sifatnya independen yang bisa dijadikan sandaran," kata Nelson di kantor KontraS, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (31/1).

Nelson menjelaskan, saat aksi terjadi penangkapan dan ada penghalangan hak dalam bantuan hukum bagi peserta aksi yang ditangkap. Komnas HAM mengaku melakukan audiensi dan pengaduan setelah aksi, serta mengklaim menerima sembilan audiensi. Nelson pun mempertanyakan rincian dari audiensi itu.

"Tidak dijelaskan dari mana saja diterima, pihak-pihak mana saja tidak dijelaskan dan kemudian baru membaca tim, tim itu dari mana ada berapa orang tidak dijelaskan. Kemudian pemantauan lapangan, apa yang ditemukan Komnas HAM?" tanya dia.

Laporan Komnas HAM sempat mebeberkan data, yakni sebanyak 1.489 orang diamankan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Nelson mempertanyakan term 'diamankan', yang menurutnya dalam hukum pidana tidak ada istilahnya.

"Coba teman-teman cari di KUHAP, gak ada istilah diamankan, yang ada ditangkap. Itu yang terjadi pada 1.489 orang, mereka ditangkap. Kalau diamankan kan, secara semantik, dari tidak aman menjadi aman. Ini setelah diamankan malah bonyok," sindir Nelson.

Selain itu, Nelson melihat adanya peran dan sangkaan terhadap 380 orang yang berstatus tersangka. Dalam slide itu tertulis, tersangka mendokumentasikan dan menyebarkan informasi. Namun tak dijelaskan lebih lanjut informasinya.

"Ini apa maksudnya? Apakah dia menyebarkan video kekerasan oleh kepolisian? Enggak jelas," tukasnya.

Sepakat dengan sikap Nelson, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Ferry Kesuma menyebut laporan itu sudah sangat terlambat. Sebab peristiwa itu terjadi pada September 2019 dan laporan baru dirilis pada Januari 2020.

"Artinya ada rentang waktu 3 bulan, baru satu laporan dikeluarkan. Ini mencerminkan bahwa Komnas HAM tidak bekerja secara maksimal karena ini menyangkut dengan indikasi adanya pelanggaran HAM," jelas dia.

Ferry menilai, seharusnya laporan Komnas HAM bisa menjadi rujukan apakah satu peristiwa terdapat pelanggaran HAM atau tidak. Maka, laporan itu harusnya tak lama dikeluarkan setelah peristiwa terjadi.

"Laporan ini harusnya sudah keluar maksimal dua minggu setelah peristiwa. Agar dokumen ini bisa digunakan untuk proses lebih lanjut, perbaikan di institusi negara, pemenuhan hak para korban, proses hukum terhadap para pelaku kekerasan," tandasnya.

174