Home Hukum Tolak Omnibus Law, KSBSI Buat RUU Cipta Kerja Sandingan

Tolak Omnibus Law, KSBSI Buat RUU Cipta Kerja Sandingan

Jakarta, Gatra.com - Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), membuat draf RUU Cipta Kerja sandingan. Hal ini dilakukan untuk memberikan masukan bagi pemerintah dan DPR dalam merancang RUU Cipta Kerja sesuai keinginan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB).
 
Dalam RUU Cipta Kerja Sandingan ini, KSBSI menambahkan beberapa poin dalam aturan upah buruh, status buruh, perserikatan buruh, Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan jaminan kehilangan pekerjaan.
 
Dalam poin upah buruh, KSBSI menuliskan dalam RUU sandingan itu, bahwa upah harus ditentukan secara bipartit antara perusahaan dengan SP/SB. Besarannya, berdasarkan pada kemampuan perusahaan di tahun sebelumnya, serta Upah Minimum Provinsi (UMP) yang disepakati oleh kedua belah dan dirangkum dalam PKB.
 
 
Selain itu, dalam RUU sandingan ini juga dituliskan, pengusaha wajib membayar upah buruh apabila buruh tidak dapat bekerja lantaran sakit, haid, menikah, menjalankan kewajiban negara, menjalankan ibadah, dan lainnya. Menurut SBSI, kondisi sakit, haid, dan menikah ini termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang terangkum dalam UUD 1945.
 
Selanjutnya, di poin perserikatan buruh, KSBSI menambahkan beberapa poin seperti kewajiban pengusaha memotong upah buruh untuk iuran serikat atas persetujuan yang bersangkutan. Meski poin ini tidak termasuk dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, SBSI berharap poin terkait iuran perserikatan ini ditambahkan dalam UU 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
 
Poin PKB, dihapus dalam UU 13 Tahun 2003 dan tidak termasuk dalam RUU Cipta Kerja. Tapi, SBSI berpendapat PKB perlu diatur terkait hal-hal yang terangkum di dalamnya seperti hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan lain-lain.
 
Di poin selanjutnya, KSBSI menyebutkan, PHK hanya bisa dilakukan dalam tiga kondisi. Pertama, perusahaan bangkrut, pailit, atau force majeure. Kedua, buruh melakukan tindak pidana atau kejahatan kerja. Ketiga, buruh mengajukan pengunduran diri.
 
Dalam RUU sandingan ini, buruh yang kehilangan pekerjaan lantaran perusahaan bangkrut, tidak perlu memberikan pesangon pada buruh. Pasalnya, pesangon akan ditanggung BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan iuran jaminan sosial yang sebelumnya dibayar oleh perusahaan.
 
Bahkan, dalam RUU sandingan ini juga terdapat pasal terkait jaminan kehilangan pekerjaan. Buruh yang kehilangan pekerjaannya akibat perusahaan bangkrut, berhak mendapat upah pengangguran.
 
Upah pengangguran ini, berasal dari iuran jaminan kehilangan pekerjaan yang sebelumnya dibayar buruh ketika masih bekerja. Artinya, selain iuran jaminan sosial dan jaminan kesehatan, dalam RUU sandingan ini juga menyebutkan adanya jaminan kehilangan pekerjaan yang terpisah dari dua iuran yang ada.
389