Home Ekonomi Berharap Cerita Lama Tak Berulang Lagi

Berharap Cerita Lama Tak Berulang Lagi

Pekanbaru, Gatra.com – Sudah empat hari lelaki 68 tahun itu menjadi orang nomor satu di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), menggantikan Dono Boestami.

Kehadiran mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai ini sontak menebar angin segar bagi para petani kelapa sawit yang ada di Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).

"Sebagai sosok yang sudah ‘karatan’ di lingkungan keuangan, saya yakin Pak Eddy Abdurrachman akan bisa menyuguhkan warna baru bagi perjalanan BPDPKS ke depan. Konsep duit sawit untuk sawit tentu harus menjadi 'roh' di sana. Saya pikir untuk urusan yang semacam ini, beliau sudah sangat piawailah. Sebab latar belakangnya yang jebolan ilmu keuangan dan lama berkecimpung di lembaga keuangan, sudah menjadi modal yang mumpuni untuk itu,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, saat berbincang di Kementan Jakarta dengan Gatra.com, Jumat (6/3).

Tinggal lagi kata Gulat, gimana para pembantu Eddy bisa memberikan informasi, laporan dan masukan yang benar.

"Pak Eddy inikan pimpinan yang mengandalkan managerialnya. Dia dibantu oleh ragam instrument dari ragam disiplin ilmu. Ilmu managerialnya ini yang dibutuhkan dan saya yakin dia adalah sosok pejabat yang mampu berlari kencang seperti yang diinginkan oleh Presiden Jokowi, bukan pejabat yang ‘ngekor’. Jadi kalaupun Pak Eddy bukan berlatar belakang sawit, enggak jadi soal. Toh Presiden Jokowi yang sarjana kehutanan pun sangat mumpuni kok memimpin Negara ini, dua periode pula," ujar kandidat doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini.

Nah, sebagai ‘rumah petani kelapa sawit Indonesia’ kata Gulat, Apkasindo tentu punya kewajiban untuk juga memberi masukan kepada Eddy. "Elemen utama sawit itu kan korporasi dan petani, kami berharap di tangan Dirut yang baru, keduanya mendapat perlakuan yang seimbang. Petani tidak lagi hanya sebagai pelengkap penderitanya BPDPKS," pinta Gulat.

Di laman BPDPKS ada tiga rencana strategis; pertama, stabilisasi harga CPO dengan penerapan Biodisel secara penuh. Kedua, perbaikan kesejahteraan petani dan ketiga, investasi industri hilir melalui konservasi sawit menjadi bio hydrocarbon fuel.

"Rencana strategis nomor dua ini yang sampai sekarang mengambang. Selama ini ada yang namanya program sarana dan prasarana (sarpras) yang anggarannya Rp200 miliar pertahun. Duit ini untuk pemenuhan pupuk, bibit sawit, alat mesin pertanian hingga jalan produksi petani. Sudah enggak terhitung berapa kali dilakukan pertemuan FGD soal ini, tapi sampai sekarang action enggak ada. Padahal petani sangat butuh, apalagi saat harga Tandan Buah Segar (TBS) menukik," ujar Auditor ISPO ini.

"Duit sarpras ini sangat strategis membantu petani kelapa sawit keluar dari zona keterpurukan harga TBS, apalagi jika digulirkan untuk membangun PKS mini di kebun-kebun petani yang jauh dari PKS korporasi. Kalau kemudian PKS mini itu di-link-kan ke Pertamina sebagai suporting bahan baku Biodisel, makin mantaplah dan akan sangat terpuji BPDPKS," tambahnya.

Soal teknologi PKS mini ini kata Gulat, enggak susah-susah amat kok, sudah banyak petani yang membikin PKS home industri dengan peralatan seadanya. Malah sudah ada anggota Apkasindo yang berhasil memproduksi minyak goreng.

"Yang kayak ginilah semestinya dirangkul oleh BPDPKS. Sebab poles sedikit saja, hasilnya akan lebih baik, tentu dengan sentuhan teknologi yang membutuhkan biaya," katanya.

Lantas soal Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Menteri Keuangan sudah menekankan soal percepatan dan target PSR.

"Enggak sulit mencapai target 500 ribu hektar dalam tiga tahun kalau BPDPKS bijak berkolaborasi dengan asosiasi petani. Selain Apkasindo, ada Aspek PIR, ada Samade. Semisal Apkasindo ada di 22 provinsi dan 117 kabupaten kota seluruh Indomesia. Kalau keberadaan asosiasi ini dimaksimalkan, target 500 ribu hektar itu, kurang. Itu kalau pejabat yang mengurusi PSR ini lincah dan lentur," tegas Gulat.

PSR ini kata Gulat bisa juga didukung melalui sarpras tadi. Petani dikasi bantuan bibit siap tanam. Jadi petani bisa menanam sendiri, khususnya mereka yang tinggal di pelosok. Ini akan mempercepat peningkatan produktivitas tanaman sawit petani, tujuannya sama kok dengan PSR.

Tapi boro-boro membikin semacam itu, hampir tiga tahun tak ada lagi yang namanya peningkatan SDM petani. Semua proposal petani ditolak dengan sederet alasan. “Yang membikin petani makin miris, kalau petani mengajukan proposal kegiatan atau bantuan sarpras ke pemerintah daerah, jawaban yang nongol justru; sawit sudah diurus oleh BPDPKS.

Tak berlebihan kata Gulat kalau petani kelapa sawit meluahkan sederet unek-unek ini. Sebab dari hasil kajian Apkasindo, bahwa setiap pungutan $US 50 per ton CPO ekspor yang dilakukan oleh BPDPKS, mengurangi secara tidak langsung sekitar Rp92 perkilogram harga TBS yang diterima petani.

"Jadi wajar jika petani berharap banyak kepada BPDPKS. Kami berharap ini dipahami oleh seluruh unsur yang ada di BPDPKS. Kami yakin, di tangan Pak Eddy, BPDPKS tidak lagi memperlakukan petani seperti ‘pengemis’. Petani tetap akan menuntut haknya dan sebaliknya petani juga akan menjalankan kewajibannya sebagai Petani Kelapa Sawit Indonesia," ujar Gulat.


Abdul Aziz

715