Home Ekonomi Gula, Masalah yang Tak Pernah Sudah

Gula, Masalah yang Tak Pernah Sudah

Akhir bulan April 2020 kita sudah akan memasuki bulan Ramadhan, tanggal 24 Mei 2010 adalah merupakan Hari Raya Iedul Fitri. Begitu menjelang dan memasuki bulan ramadhan, segalanya akan berubah, kebutuhan pokok untuk berbuka puasa, makan sahur dan persiapan menjelang lebaran telah menjadi perhatian seluruh warga masyarakat Indonesia.

Puncaknya adalah pada hari lebaran, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 24 - 25 Mei 2020. Salah satu komoditas yang akan diburu oleh seluruh masyarakat Indonesia selama bulan puasa dan Hari Raya adalah gula. Mulai hari hari dan bulan ini, gula akan menjelma menjadi komoditas politik yang bergulir liar, bisa tanpa kendali.

Gula di Indonesia

Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor 2 setelah beras. Di Indonesia, terdapat berbagai jenis gula jika dilihat dari pembuatannya, misalnya gula kelapa, gula aren, gula tebu. Sedangkan gula tebu sendiri dibedakan menjadi 3, yaitu Gula Kristal Mentah (GKM) atau Raw Sugar, Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR).

Gula Kristal Mentah (GKM) merupakan gula yang digunakan untuk bahan baku produksi gula rafinasi. Gula Kristal Putih merupakan Gula yang terbuat dari Kristalisasi yang dapat langung digunakan untuk konsumsi Rumah Tangga, sedangkan GKR adalah Gula yang diginakan untuk kepentingan Industri, seperti industri makanan dan minuman (MAMIN) dan industry farmasi.

Gula Rafinasi atau gula kristal putih yang di dalam bahasa inggris biasa disebut dengan refined sugar adalah gula mentah yang telah mengalami proses pengolahan dari bahan baku gula mentah (raw sugar) yang melalui tahapan proses penyulingan, penyaringan, dan pembersihan dengan lebih ketat, gula rafinasi berwarna lebih putih dibandingkan gula mentah yang lebih berwarna lebih gelap cenderung kecoklatan.

Sementara Gula mentah atau gula kristal mentah adalah sukrosa yang dibuat dari tebu atau bit melalui proses defikasi. Gula mentah tidak dapat langsung dikonsumsi sebelum melalui proses pemurnian untuk menghasilkan gula rafinasi atau gula kristal putih.

Mengapa Gula Rafinasi ini banyak digunakan untuk kebutuhan industri adalah karena mutu gula rafinasi lebih tinggi (dengan ICUMSA di bawah 300) dibanding gula mentah (dengan ICUMSA di atas 1.500). Tingkat kemurnian gula yang berkaitan dengan warna gula, dinyatakan dengan standar bilangan ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis), bilangan ICUMSA yang semakin kecil menunjukan tingkat kemurnian gula yang semakin tinggi. Bagiamanapun juga dalam kenyataanya adalah bahwa sebagai bahan pemanis utama, penggunaan gula masih belum dapat digantikan dengan sempurna oleh bahan pemanis lain.

Kebutuhan gula di Indonesia

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, kebutuhan gula selalu meningkat dari tahun ke tahun. Organisasi Gula Internasional (ISO) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sekitar 260 juta jiwa, kebutuhan gula di Indonesia rata rata bertumbuh sebesar 4% per tahun. Tahun 2012 kebutuhan total gula bagi penduduk Indonesia mencapai 5.2 juta ton per tahun, sementara jumlah produksi gula dalam negeri hanya sebesar sekitar 2,5 juta ton per tahun. Sehingga Neraca Gula mengalami defisit sebesar 2,7 juta ton, lebih dari separoh kebutuhan gula dalam negeri yang harus di impor.

Untuk memenuhi kebutuhan gula domestik serta menstabilkan harga dalam negeri, pemerintah setiap tahun harus impor gula dari luar negeri. Menurut Direktur Eksekutif AGI, Budi Hidayat, produksi gula tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,1 juta ton. Jika ditambah sisa stok 2019 yang menjadi stok awal 2020 sebanyak 1,08 juta ton sehingga total ketersediaan gula tahun ini sebanyak 3,13 juta ton. Sementara kebutuhan gula konsumsi tahun 2020 mencapai 3,16 juta ton sehingga terdapat defisit sekitar 29 ribu ton.

“Untuk memenuhi kebutuhan tahun 2020 sekaligus sebagai persiapan awal 2021 maka diperlukan impor gula untuk konsumsi langsung. Baik itu dalam bentuk gula mentah (GKM) maupun dalam bentuk gula kristal putih (GKP),” kata Budi dalam Sugar Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (12/2).

Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat serta terbatasnya produksi domestik membuat neraca gula nasional mengalami defisit. Defisit Neraca Gula Nasional ini akan terus beerlangsung dan kecenderungannya akan semakin meningkat dari tahun ke tahun, apabila tidak ada perubahan yang drastis dari sisi hulu industry Gula, yaitu mulai dari bibit, lahan pertanian dan cara olah serta tanam. Dibawah ini bisa di lihat bagaimana Neraca Gula Nasional dari tahun ke tahun

--

Gula Konsumsi Mulai Menghilang di Pasar

Sejak awal Januari 2020 ini ketersediaan GKP (gula Kristal putih) untuk konsumsi rumah tangga, bahkan di jabodetabek yang dekat dengan Ibu Kota Negara sekalipun sudah mulai sering menghilang dari toko2 pengececer, menghilangnya gula konsumsi juga ber lanjut dengan dipasar tradisional. Di Gerai Modern yang mempunyai cabang tersebar hampir di seluruh Indonesia juga sudah sering tidak tersedia gula mulai dari bulan Januari lalu, termasuk gula konsumsi rumah tangga yang branded, yang selama ini selalu memenuhi etalase di gerai tersebut juga sering susah di dapatkan. Menurut pramuniaga yang menjaga gerai, mengapa stok gula tidak ada adalah karena pasokan dari kantor pusat-nya memang belum turun. Gejala ini sudah mulai terasa di pasar2 tradisional termasuk “gula curah” yang di kemas tanpa brand juga sudah mulai sering tidak ada di pasaran dan harga mulai merangkak naik.

HET gula konsumsi rumah tangga selama ini di tetapkan sebesar Rp. 12.500 yang berlaku di masyarakat sudah mulai tertembus, bahkan di pasar tradisional harga eceran sudah ada mencapai harga Rp. 16.000/kg, sudah naik sebesar 28%. Pada akhir bulan April sudah mulai memasuki bulan puasa, apa yang terjadi terhadap harga gula konsumsi ini merupakan indikasi yang kurang menggembirakan bagi masyarakat, dimana menjelang bulan puasa gula konsumsi rumah tangga mulai sulit di cari dan harga eceranya sudah mulai neik secara signifikan. Kecenderungan kenaikan harga ini akan menjadi sulit untuk diturunkan kembali menjadi harga eceran seperti HET semula yaitu sebesar Rp.12.500/kg, apalagi pada saat bulan puasa dan saat lebaran, harga jual eceran akan cenderung lebih tinggi lagi.

Apabila melihat data di atas, mulai dari data persediaan gula yang sudah ada, jumlah produksi dalam negeri yang masih jauh dibawah kebutuhan gula di Indonesia, mau tidak mau pemerintah dalam hal ini menteri perdagangan harus mengambil langkah cepat dengan memberikan ijin import gula konsumi untuk memenuhi kebutuhan bulan puasa dan hari raya, yang secara hitungan waktu sudah sangat mendesak. Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi 6 harus segera memanggil menteri Perdagangan untuk berdiskusi bersama agar masalah ketersediaan gula ini bisa segera terselesaikan, sebelum masuk bulan puasa pada bulan depan.

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mendesak pemerintah segera membuka keran impor Gula Kristal Putih (GKP). Menurut AGI, saat ini telah terjadi kelangkaan pasokan sehingga menyebabkan harga gula konsumsi di pasar terus melambung. Tenaga Ahli AGI Yadi Yusriyadi mengatakan, tingginya harga gula disebabkan jumlah pasokannya yang menipis akibat permintaan masyarakat yang tinggi. Terlebih menjelang bulan puasa seperti sekarang ini. "Harga gula yang sekarang naik itu memang stoknya menipis, oleh karena itu sesuai dengan hukum ekonomi supply sedikit dan permintaan banyak otomatis harga naik," demikian kata Yadi kepada katadata.co.id, Rabu (4/3).

Kondisi seperti ini mau tidak mau akan menimbulkan spekulasi dan dugaan kuat bahwa ada pihak tertentu yang sengaja menimbun gula dalamjumlah banyak sehingga menyebabkan harga gula di pasaran melonjak di atas ketentuan harga eceran tertinggi (HET) pemerintah sebesar Rp 12.500 per kilogram (kg).

Seharusnya siapa pun pihak yang mempunyai persediaan gula atau distributor yang memiliki stok di gudang untuk segera mengeluarkannya ke pasaran, karena harga gula di pasar telah mencapai Rp 15 ribu per kg. Selain itu, dia juga mendesak pemerintah untuk segera membuka keran impor sebagai solusi jangka pendek untuk menambah pasokan. Jenis gula yang disarankan pun merupakan gula kristal putih (GKP) dan bukan jenis mentah (raw sugar), agar tak memerlukan proses pengolahan panjang di tengah permintaan yang terus meningkat. Sedangkan untuk import gula mentah (raw sugar) bisa di gunakan untuk antisipasi kebutuhan masyarakat pada pasca lebaran, karena untuk raw sugar, untuk bisa di konsumsi oleh rumah tangga masih diperlukan proses lebih lanjut.

Gula rafinasi

Apa yang terjadi pada gula konsumsi rumah tangga ini juga terjadi pada gula rafinasi. Saat ini gula rafinasi juga mulai tidak ada di pasaran, harga juga sudah mulai merangkak naik dari yang semula berkisar Rp 8000 – Rp. 9000/kg, saat ini sudah mencari Rp.12.000/kg atau naik sebesar 40 – 50%, kondisi ini sangat meresahkan pelaku industri makanan dan minumam dimana mayoritas adalah industri kecil/UMKM. Per definisi, gula rafinasi atau refined sugar adalah gula mentah yang sudah mengalami proses permurnian sehingga berkualitas tinggi,karena kadae abu dan kadar belerang (SO2) yang mendekatinol. Gula Rafinasi sangat memenuhi ketentuankeamanan pangan, sehingga sangat sesuai bagi industri pangan dan farmasi maupun di konsumsi langsung. Namundemikian untukdi Indonesia,gula rafinasi ini hanya digunakan khusus untuk industri makanan dan minuman, dilarang untuk dijual langsung ke konsumen akhir untuk di konsumsi.

Untuk pelaksanan dan tata niaganya, gula rafinasi yang dihasilkan dari impor, ataupun gula rafinasi yang dihasilkan dari industri dalam negeri yang bahan bakunya bersumber dari import berupa Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (raw sugar), hanya dapat diperjual belikan atau di distribusikan kepada industri dan dilarang diperdagangkan ke pasar konsumen di dalam negeri, sesuai dengan peraturan Menteri Perdaganganh Republik Indonesia No117 Tahun 2015 tentang Ketentuan Import Gula. Permendag tersebut menyebutkan bahwa gula rafinasi hanya diperuntukkan untuk industri dan tidak boleh dijual ke pasar dalam negeri untuk konsumsi masyarakat.

Peraturan Menteri Perdagangan tentang tata cara distribusi gula rafinasi diatas telah dirubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan terbaru No Permendag 16/M-DAG/PER/3/2017 telah menimbulkan pro dan kontra yang cukup panjang, menginngat bahwa dalam pearturan tersebut, untuk mendapatkan gula rafinasi menggunakan tata cara lelang terbuka melalui Bursa Komoditi. Yang menentang paling banyak dari kalangan Industri dalam UKMK, mereka khawatir akan tidak mempu bersaing kalau harus lelang bersama para pengusaha besar.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengajak para pelaku industri makanan dan minuman (mamin) untuk membeli gula kristal rafinasi (GKR) melalui pasar lelang komoditas. Menurut Kemendag Pembelian GKR melalui pasar lelang tersebut diharapkan dapat memberantas perembesan GKR ke pasar ritel.

Saat ini permasalahan gula rafinasi muncul lagi ke permukaan bersamaan dengan GKP Gula Kristal putih alias gula konsumsi rumah tangga, bukan karena tata niaga atau cara menjualnya, tetapi karena gula rafinasi sudah sulit untuk diperoleh untuk proses produksi mereka. Gula rafinasi mulai langka di pasaran sudah terjadi sejak akhir tahun 2019 yang lalu dan sampai sekarang belum terselesaikan. Banyak industri makanan dan minuman terutama yang berskala UMKM mengeluhkan ketiadaan gula rafinasi yang merupakan salah satu bahan baku mereka, serta harga gula rafinasi yang semakin naik, yang saat ini mencapai harga Rp.12.000/kd dari sebelumnya sekitar Rp. 9000/kg.

Seperti yang dialami Catur Wahyu, salah satu produsen gula batu di Bantul, sejak pertengahan Desember 2019 sampai bulan Februari 2020 dia mengaku kesulitan pasokan gula rafinasi sebagai bahan baku produksinya. “Kondisi ini menyebabkan proses produksi kami menjadi terganggu dan merugi. Jika tidak segera diatasi, usaha kami bisa kukut, karena tidak ada bahan baku artinya kami juga tidak bisa produksi,” ujarnya saat ditemui di sela pertemuan pengusaha industri berbahan baku gula rafinasi di Jogjakarta, Sabtu (22/2).

Wahyu juga mengungkapkan, kini dia terpaksa menekan angka produksi usahanya, padahal permintaan barang sangat tinggi terlebih di DIY, Jakarta, dan Jawa Timur. Setiap harinya Wahyu membutuhkan sekitar 7-8 ton gula rafinasi untuk memproduksi gula batu. Sekarang dia hanya bisa mengolah 3-4 tungku gula batu dengan bahan baku 1-2 ton gula rafinasi. “Ada beberapa IKM yang mengganti dengan gula konsumsi padahal harganya tinggi, otomatis harga jual jadi naik,” imbuhnya.

Sebenanrnya kejadian kelangkaan dan kenaikan gula rafinasi ini tiadk hanya terjadi di Bantul dan DIY saja yang terkena dampak. IKM dodol garut di Garut, Ciamis juga banyak yang menghentikan sementara produksinya karena sulitnya bahan baku. Produsen gula merah di Malang dan Jawa Tengah pun demikian. Ketua Umum Forum Transparansi Gula Nasional (FTGN) Supriyanto Sardjowikarto dalam keterangannya menjelaskan, keluhan para pelaku IKM yang membutuhkan bahan baku rafinasi ini sudah ia terima sejak akhir 2019 lalu. Menurutnya, kelangkaan gula industri ini lantaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan terlambat meneken izin impor gula untuk industri. “Banyak pelaku IKM yang membutuhkan gula rafinasi tersebut, sementara di Indonesia masih kekurangan suplai gula pasir,” katanya.

Supriyanto menilai, keadaan tersebut tak sejalan dengan semangat pemerintah dalam mendukung berkembangnya usaha mikro, kecil dan menengah yang sering digaungkan. “Jelas kami mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha kecil menengah karena kelangkaan raw sugar ini berbuntut panjang. Banyak pelaku usaha kecil yang membutuhkan gula rafinasi tersebut,” katanya.

Gula sebagai komoditi Pokok

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia. UU Pangan memperjelas dan memperkuat tentang pentingnya pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan serta keamanan pangan. Untuk memperkuat pencapaian ketahanan pangan, impor komoditi pangan dalam empat tahun terakhir masih memainkan peranan penting dalam perekonomian, ini terjadi untuk hampir barang kebutuhan pokok di Indonesia.

Untuk komoditi gula, total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang berjumlah 12,7 juta ton. Pertumbuhan industri makanan dan minuman yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional telah menyebabkan peningkatan jumlah impor, mengingat produksi gula domestik belum mampu mengejar standar yang diperlukan untuk kebutuah industri, terutama untuk industi makan dan minum atau industri MAMIN dan industri kimia.

--

Intensitas impor gula terhadap nilai tambah riil industri makanan dan minuman pada periode 2014-2018 juga mengalami peningkatan. Pada periode 2010-2014 mencapai 5.862 ton gula impor untuk setiap Rp. 1 triliun nilai tambah riil di sector industri makanan dan minuman. Sementara untuk kurun waktu 2015-2018 intensitasnya meningkat menjadi 6.950 ton untuk setiap Rp. 1 triliun nilai tambah riil industri makanan dan minumam. Kenaikan intensitas tersebut dapat disebabkan oleh perubahan struktur bahan baku dalam industri tersebut, atau disebabkan oleh faktor lain, seperti: peningkatan permintaan industri farmasi, hotel & restoran, atau justru dikarenakan kelemahan dalam memverifikasi kebutuhan dan posisi stok industri pengusul impor.

Faktor yang terakhir ini sangat berisiko kepada peningkatan rembesan yang mengganggu produksi domestik. Gula impor ini tentunya akan sangat mengganggu stabilitas produksi gula petani akibat adanya rembesan gula impor untuk industri yang beredar di pasar tradisional maupun gula import untuk konsumsi rumah tangga.


Budi Wiyono
Peneliti Berdikari Center,
Anggota Forum Transparansi Gula Indonesia (FTGI)