Home Gaya Hidup Menyusuri Jejak Busana Keraton Yogya di Pameran Abalakuswa

Menyusuri Jejak Busana Keraton Yogya di Pameran Abalakuswa

Yogyakarta, Gatra.com - Keraton Yogyakarta memperingati 31 tahun bertakhtanya sang raja, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Merayakan hari jadi penobatan itu, keraton menggelar pameran busana “Abalakuswa: Hadibusana Keraton Yogyakarta” di Pagelaran Keraton, yang dibuka pada Sabtu (7/3) malam.

Pameran ini menampilkan perkembangan dan berbagai variasi busana di lingkungan Keraton Yogyakarta melalui wujud busana tersebut, foto-foto, dan narasi.

Busana-busana keraton, termasuk busana saat Sultan HB X naik takhta yang menyimpan daya magis, busana para prajurit yang gagah, kostum penari yang kreatif, hingga pakaian anak-anak yang lucu, diperagakan di dua lorong terpisah di pageralan keraton.

Ketua Panitia Tingalan Jumenengan Dalem Gusti Kanjeng Ratu Hayu Rangkaian acara ini mengusung tema “Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta” yang diterjemahkan ke pameran bertajuk Abalakuswa yang bermakna busana kebesaran.

“Tajuk ini dipilih menjadi ruh dari pameran yang erat dengan rekam jejak kekuasaan. Selain itu, busana juga menjadi ruang ekspresi politik bagi setiap periode kekuasaan. Bahkan para bangsawan menggunakan busana sebagai penentu identitas dan strata sosial,” ujar dia dalam sambutan.

Melalui busana, menurut GKR Hayu, mozaik peradaban dari Keraton Yogyakarta juga dapat disusun dan dinarasikan kembali sebagai kekayaan intelektual budaya. Hal ini mendorong keraton untuk terus mendukung gerakan merawat kekayaan intelektual leluhur melalui pameran dan simposium.

Ia menjelaskan, busana menjadi penentu identitas pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI hingga VIII. Saat itu, kreativitas dalam mengembangkan motif batik amat tinggi.

“Di Keraton motif batik sebagai tanda kebesaran seorang raja, seperti Parang Rusak Barong, cenderung baku dan bersifat stagnan. Sementara para Pangeran memberi nuansa lain pada motif parang sehingga lahirlah varian motif parang yang beraneka ragam,” kata putri keempat Sultan HB X ini.

Di bidang seni pertunjukan, terdapat pula perubahan terutama dalam pakaian tari. “Pada saat menari dalam acara resmi, penari bedhaya mulanya berbusana dodot. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, busana dodot berubah menjadi rompi dengan hiasan jamang dan bulu kasuari,” kata dia.

Dengan demikian, beragam sejarah dan peristiwa terekam dalam guratan busana di Keraton Yogyakarta. GKR Hayu berharap para pengunjung dapat melihat kembali sejarah panjang peradaban Keraton Yogyakarta dan menyelami identitas budaya khas Yogyakarta melalui rupa-rupa busana.

Adapun Sultan HB X menilai, selain mengacu hal-hal teknis, busana-busana tersebut juga merekam jejak sejarah dan akulturasi peradaban dengan gaya Eropa yang mewarnai gaya kita.

"Di dalam busana dan peradaban keraton sarat keunikan, sekaligus daya tarik yang menggoda. Banyak filosofidan ajaran kehidupanyang terkandung dalam wastra Keraton Yogyakarta yang memiliki denyut aktualitas," ujar Sultan dalam sambutan pembukaan pameran.

Pameran dengan harga tiket Rp5000 ini digelar hingga 4 April 2020. Selain pameran, digelar juga lokakarya dan diskusi seputar busana dan batik. Pada 25 Maret dan penutupan pameran, tari dan wayang orang akan ditampilkan.

852