Home Kebencanaan Strategi Pertahanan Semesta Mengatasi COVID-19

Strategi Pertahanan Semesta Mengatasi COVID-19

Strategi Pertahanan Semesta Mengatasi COVID-19

Oleh: Letjen TNI (Purn) Prof. Dr. Syarifudin Tippe, M.Si*

 

Patut diapresiasi langkah pemerintah RI dalam percepatan penanganan Covid-19. Baik pada periode pertama, Januari 2020, dalam upaya pemulangan ratusan WNI dari Wuhan dan Hubei (Cina) serta dari kapal pesiar Diamond Jepang, maupun langkah pada periode kedua yang kini sedang berlangsung.

Mencermati situasi dan kondisi yang tengah mencuat saat ini yakni ancaman dan tantangan pandemi Covid-19, dari perspektif pertahanan non-militer, sudah saatnya dihadapi dengan strategi pertahanan semesta (Buku Putih Pertahanan: 2015-2019).

Sifat total-terpadu-terarah-berkelanjutan merupakan kata kunci dalam Strategi Pertahanan Semesta (Undang-Undang RI Nomor 3, Tahun 2002), yang sejatinya dapat direalisasikan untuk memberi penguatan kepada dua keputusan stratejik pemerintah RI.

Dua keputusan stratejik dimaksud adalah pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada tanggal 14 Maret 2020 yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun, tanggal 22 Maret 2020, tentang Refocusing Kegiatan, Relokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19**.

Tulisan ini bertujuan memberikan apresiasi sekaligus masukan kepada pemerintah sebagai bahan evaluasi atas dua keputusan stratejik di atas dalam perspektif manajemen stratejik (MS) dan Analisis Jaringan Sosial (AJS).

Selain itu, yang tidak kalah urgensinya, tulisan ini bertujuan menyampaikan apresiasi dan penghormatan setinggi-tingginya kepada garda terdepan terutama para dokter, petugas medis, khususnya delapan (8) dokter yang gugur sebagai pahlawan Kusuma Bangsa untuk mencegah penyebaran Covid-19 serta semua pihak se-Nusantara yang telah turun tangan, langsung dan tidak langsung, dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Kiranya tak satupun upaya kemanusiaan bagi semua pihak, sebagai abdi negara, bangsa dan masyarakat yang disia-siakan oleh Sang Maha Kuasa, karena Dia Maha Melihat, Mendengar dan Maha Pelindung, sekaligus Maha Penguji kepada kita semua.

Mengapa diperlukan Manajemen Stratejik (MS) dan Analisis Jaringan Sosial (AJS) dalam Percepatan Penanganan Covid-19?

Ada baiknya sebelum menyampaikan beberapa masukan, tulisan ini mengajak untuk mundur (flash back) sejenak kepada pemberitaan yang disampaikan oleh salah satu media mainstream tentang penanganan Covid-19.

Mengawali periode ke-2, pada 2 Maret 2020, penyebaran corona disangkal Jokowi, Presiden RI, sebagai krisis dengan alasan menghindari kericuhan di masyarakat (Laporan Utama TEMPO, 16-22 Maret, 2020).

Pada titik ini, sebagai bagian dari MS maupun AJS, konten atau pesan yang disampaikan pemerintah ada benarnya yaitu bertujuan mencegah kepanikan masyarakat. Namun kemudian setelah mendapat tekanan atau desakan dari dunia internasional berupa surat dari Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (baca: WHO) pada 10 Maret 2020, Tedros Adhanom Ghebreyesus yang mempertanyakan keterbukaan pemerintah dalam menangani kasus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Demikian salah satu isu awal yang sangat mengemuka di seputar upaya penanganan Covid-19 oleh pemerintah.

Menariknya isu tersebut, berimplikasi pada munculnya kesenjangan informasi yang memungkinkan potensi penyebaran hoaks sebagai langkah stratejik sekelompok oknum untuk memanfaatkan situasi dan kondisi dalam mencapai tujuannya. Untuk mencegah berlangsungnya ancaman Covid-19 secara berkepanjangan, berikut empat (4) catatan analisis penulis sebagai masukan untuk penguatan keputusan stratejik yang sudah dilakukan pemerintah.

Pertama, masukan terhadap konten tentang alasan Jokowi yang enggan untuk menggunakan istilah krisis, dengan alasan untuk mencegah kepanikan masyarakat. Pada tataran nasional, tampaknya alasan Jokowi tersebut dapat dibenarkan. Akan tetapi pada tataran internasional, tentu saja pihak WHO secara komprehensif, lebih melihat pada keterbukaan negara-negara lain dalam penanganan Covid-19 di wilayah negara masing-masing.

Terjadilah kesenjangan informasi antara kepentingan nasional dan internasional tentang keterbukaan. Kesenjangan tersebut dijadikan peluang oleh sekelompok aktor/node yang kemudian membentuk jaringan hoaks ataupun jaringan “kepentingan” yang mengeksposnya sebagai kesalahan pemerintah RI.

Jaringan hoaks tersebut pada dasarnya memanfaatkan keawaman masyarakat yang mudah percaya sehingga mudah terprovokasi. Dalam Fenomena Dunia Mengecil (Shrinking World Theory), yang didasarkan pada penelitian Milgram (1967) mengungkapkan bahwasanya manusia (dimanapun Ia berada) terhubung tidak lebih dari 6 derajat keterpisahan (6 degrees separation), yang kemudian ditambahkan oleh Agusyanto (2010) & Facebook Research (2016) bahwa dimanapun manusia berada akan terhubung melalui 2-4 orang/ 3,57 orang (three-and a half degree separation).

Akibatnya informasi, ide dan gagasan melesat dengan cepat melalui rangkaian hubungan/relasi diadik (sepasang) ataupun triadik (3-aktor sebagai unit sosial) yang secara serempak dapat mengalirkan kepanikan, ketakutan, kebohongan/hoaks, ataupun sebuah harapan yang melintasi batas-batas negara, territorial geografis, kategori (kelas sosial misalnya), dan atribut-atribut sosial lainnya. Lebih bahayanya lagi jika jaringan hoaks menggunakan data yang benar (konten) dan disampaikan secara lebih meyakinkan sehingga terbentuk ‘kebenaran palsu’ untuk mempersepsikan suatu realita.

Kedua, keputusan stratejik yang ditetapkan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, disebut sebagai “Bencana non-alam”. Dari segi etimologis, non-alam sama dengan “buatan”, yang kemudian dapat diartikan bencana buatan. Pertanyaannya siapa yang membuat Covid-19? Apakah dibuat secara individual, institusional atau organisasional atau bahkan negara? Jawaban dari pertanyaan tersebut, boleh jadi benar secara common sense menurut persepsi tertentu, misalnya dari sudut pandang intelijen.

Namun bagi penulis, secara akademis, tidak tersedia cukup data dan fakta untuk mempertanggungjawabkan sebuah pernyataan bahwa Covid-19 adalah bencana buatan. Demikian pula, bagi masyarakat luas, tanpa disertai penjelasan secara gamblang berdasarkan fakta dan data istilah tersebut, sangat berpotensi menjadi sorotan internasional.

Padahal sisi internasional dalam kasus Covid-19 tentu sangat dibutuhkan dalam konteks penanganan kasus Pandemi Covid-19 ini. Dengan demikian, perlu ditinjau ulang, istilah bencana non-alam. Seyogyanya istilah tersebut diubah dengan istilah yang lebih umum, yang senada dengan istilah “Covid-19 sebagai ancaman pertahanan non-militer”, jika enggan menggunakan istilah yang terkait dengan ranah pertahanan.

Ketiga, masukan terkait dengan komponen proses yang secara teoretis, baik MS maupun AJS sama-sama menempatkan konten & konteks sebagai analisisnya, sementara AJS menambahkan aspek relasi sebagai kekhasan utamanya– bahwa setiap entitas baru memiliki makna ketika terhubung dengan entitas lainnya.

Kedua pendekatan ini memiliki kesamaan dalam pengejawantahannya (operasionalisasi) baik signifikansi teoritis maupun signifikansi praktis. Covid-19 sebagai sebuah konten (muatan) harus ditempatkan dalam konteks global dan juga nasional (termasuk lokal, mengingat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan) membutuhkan perlakuan spesial.

Dalam standpoint berbeda, MS lebih menekankan pada langkah-langkah atau tahapan stratejik dari keputusan stratejik yang sudah dikeluarkan berdasarkan jalur struktur formal yang berbasis pada azas organisasi (Cerniauskiene, 2014:9; dan David, 2017:42) misalnya dalam praktek Kontrol-Monitoring-Koordinasi seringkali tidak atau kurang berjalan secara efektif, karena orang-orang yang masuk dalam struktur formal organisasi, tidak semua memegang teguh komitmen sesuai yang diharapkan atas visi, misi dan tujuan organisasi.

Sementara di sisi lain, AJS lebih menekankan pada aspek relasi sosial yang merupakan rangkaian dari titik-titik/orang (pasangan diadik/triadik) yang memiliki hubungan bertipe ‘khusus’ secara spesifik misal: (a) terpercaya; (b) dukungan politik/sosial; (c) perlindungan; (d) nasehat / petunjuk; (e) pendana kegiatan operasi; (f) “orang kita” / “bukan-orang kita”; dan seterusnya (Agusyanto, 2014:11 dan 2019:60).

Namun keduanya memiliki tujuan yang sama yakni memahami tindakan manusia dalam organisasi yang turut berkontribusi mempercepat pencapaian tujuan yaitu penanganan Covid-19. Dengan demikian, manajemen stratejik dalam merealisasikan keputusan stratejik Kesatuan Gugus Tugas untuk memerangi Covid-19, yang sudah distruktur-formalkan melalui Inpres (peraturan) formal tidaklah cukup, harus terdapat sinergi yang saling terkoneksi agar dapat total-terpadu-terarah-berkelanjutan baik pada organisasi di lingkungan BNPB, maupun institusi pemerintahan lainnya, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Kominfo, dan sejumlah Lembaga formal lainnya, dapat berjalan sesuai dengan proses atau langkah-langkah kegiatan yang dirancang berdasarkan MS (Saifuddin dalam Agusyanto, 2014: vii).

Keempat, kelebihan AJS yang terpenting adalah kegiatan merangkai-mengurai (composing-decomposing) yang melibatkan partisipasi dan kolaborasi “aktif” dari semua komponen masyarakat (tenaga medis, dokter, peneliti, pemerintah daerah/pusat, sukarelawan, swasta, pengusaha, pedagang pasar, toko kelontong, pelajar, ojek online, dst) dalam percepatan penanganan Covid-19 yang terkoneksi satu sama lain (tidak terpisah-pisah/terfragmentasi).

Keempat catatan masukan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, dalam hal cakupan atau lingkup kedua keputusan stratejik terhadap penanganan Covid-19, baik pada tataran konseptual kebijakan maupun pada tataran operasional, sudah saatnya ditangani dengan strategi pertahanan semesta, yang bersifat total, terpadu, terarah dan berkelanjutan sebagai suatu rangkaian yang utuh.

Kedua, sebagai kelaziman doktriner dalam buku putih pertahanan (2015-2019) penerapan strategi pertahanan semesta senantiasa dikaitkan dengan ancaman dan dalam konteks ini, maka Covid-19 termasuk sebagai jenis ancaman pertahanan non-militer yang dapat dilengkapi dengan pendekatan Manajemen Strategik (MS) dan Analisis Jaringan Sosial (AJS).

Lebih lanjut, kedua pendekatan ini secara teoretis dan praktis dapat bersinergi agar seluruh elemen masyarakat secara total, terpadu, terarah dan berkelanjutan dapat dilibatkan secara aktif dalam merealisasikan dua keputusan stratejik yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat penanganan Covid-19.

----

 

* Penulis adalah Pendiri, Pengajar dan Rektor Pertama Universitas Pertahanan, merangkap Direktur Jenderal Strategi Pertahanan (Strathan), Kementerian Pertahanan RI, tahun 2008-2012. Sejak tahun 2015, sampai dengan saat ini sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Pengajar ilmu Manajemen Stratejik pada Program Studi Ilmu Manajemen, Pascasarjana UNJ. Beliau juga sebagai Dewan Kehormatan Asosiasi Peneliti Jaringan Sosial Indonesia (APJARSI).

** dilansir dari https://www.kemenkeu.go.id

14829