Home Politik Akademisi Bedah Kesalahan Fatal Surat Andi Taufan

Akademisi Bedah Kesalahan Fatal Surat Andi Taufan

Jakarta, Gatra.com - Surat Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi) Bidang Ekonomi dan Keuagan, Andi Taufan Garuda Putra, kepada para camat terkait coronavirus disease 2019 (Covid-19), masih terus menggelindig meski surta tersebut sudah dicabut.

Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H., membedah secara lugas soal kontroversial surat stafsus dari kalangan milenial tersebut.

Ia berpendapat bahwa surat Stafsus Andi Taufan Garuda Putra kepada para camat se-Indonesia untuk diteruskan kepada para kepala desa (kades) bercorak memperdagangkan pengaruh (trading influence) dan berpotensi maladministrasi.

Fahri Bachmid pun meminta Presiden Jokowi harus meninjau dan menata kembali keberadaan staf khusus presiden agar tidak terjadi overlapping dengan tugas-tugas kementerian negara atau struktur pemerintahan konfensional yang ada saat ini.

"Desain kelembagaan maupun pola hubungan tata kerja harus diletakkan dalam bingkai kaidah-kaidah ketatanegaraan sesuai sistem pemerintahan presidensial, agar semua sumber daya resourching yang ada dapat berdaya guna dan berhasil untuk kepentingan kesejahteraan bangsa dan negara," ujar Fahri melalui keterangan tertulis, Sabtu (18/4).

Jika dilihat dari prosudur serta teknis ketatanegaraan terkait dengan mekanisme kerja pemerintahan dalam sistem pemerintahan Presidensial, Fahri Bachmid mengatakan, surat serta pola korespondensi semacam yang ditulis Stafsus Andi Taufan tersebut tidak dikenal dalam nomenklatur administrasi pemerintahan negara, sebagaimana diketahui dalam desain konstitusional mengenai sistem pemerintahan Indonesia.

Dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Ayat (1) disebutkan, "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dan Ayat (2)-nya, "Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden".

Menurutnya, untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara, maka Presiden dibantu oleh para menteri-menteri yang memimpin Kementerian Negara. Hal ini berdasar pada ketentuan Pasal 17 Ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD Negara RI Tahun 1945.

Lebih detail beberapa pasal tersebut, menurut Fahri Bachmid, tertuang dalam aturan Ayat (1), yakni Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, selanjutnya Ayat (2): Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Prsiden, serta Ayat (3): Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, dan Ayat (4): Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka jelas konstruksi kekuasaan pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam sistem ketatanegaraan sesuai desain konstitusional yang berlaku saat ini. Sedangkan untuk kepentingan yang lebih teknis dan operasional pembentukan kemeterian negara, sesuai perintah konstitusi (ekspresif verbis), maka dibentuk UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

"UU 39 Tahun 2008 secara lebih rinci diatur tentang kedudukan, tugas pokok, fungsi susunan organisasi, pembentukan, pengubahan, menggabungkan, memisahkan dan/atau mengganti, pembubaran/menghapus kemeterian negara," katanya.

Fahri Bachmid menjelaskan, secara normatif pengaturan organisasi serta tugas dan kewenangan organ kekuasaan pemerintahan negara secara positif telah diatur sedemikian rupa dalam sistem pemerintahan presidensial di negara ini. Kedudukan lembaga kepresidenan sesuai tugas kepala negara berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, memang sangat vital dan strategis, sebab presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD.

"Dengan dasar itu, maka sangat komprehensif serta substansial kekuasaan presiden itu, sehingga telah menjadi tradisi kekuasaan negara bahwa setiap presiden selalu membutuhkan serta mengangkat berbagai staf dukungan keahlian dari berbagai pihak," ujarnya.

Untuk kepentingan itu, lanjut Fahri Bachmid, maka dibentuk Perpres No. 17 Tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden sebagaimana telah di ubah dengan Perpres No. 39 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 17 Tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden.

Dalam ketentuan Perpres tersebut, disebutkan Fahri Bachmid, jelas mengatur bahwa Stafsus Presiden adalah lembaga nonstruktural yang dibentuk untuk kepentingan memperlancar pelaksanaan tugas presiden, melaksanakan tugas tertentu di luar tugas-tugas yang sudah diberikan oleh UU kepada Kementerian serta instansi pemerintahan konfensional.

Berdasarkan Perpres No. 17 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 39 Tahun 2018, kata dia, Staf Khusus, tugasnya dikoordinasikan dan diberikan dukungan administrasi oleh, dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Kabinet dan stafsus bersifat operasional, yaitu melekat 24 jam bersama presiden.

Dengan demikian, menurut Fahri Bachmid bahwa stafsus presiden berbeda kedudukannya dengan Dewan Pertimbangan Presiden, Unit Kerja Presiden atau Kantor Staf Presiden, sehingga secara yuridis sesungguhnya eksistensi stafsus lebih bersifat supporting system kerja presiden.

Menurutnya, tidak lebih dari itu, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 Perpres No. 17 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa “Staf khusus presiden dalam melaksanakan tugasnya, wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah".

Artinya, jika memang bermaksud untuk melakukan koordinasi dengan struktur aparat pemerintahan dengan tujuan khusus untuk penanganan covid-19, maka stafsus presiden wajib berkoordinasi dengan Mendagri untuk urusan camat dan sebagainya, atau gugus tugas Covid-19 yang memang diberikan mandat khusus untuk itu.

"Bukan sifat khusus, sebab memang UU tidak memberikan kewenangan apapun buat stafsus presiden dalam melakukan sebuah tindakan jabatan. Stafsus presiden tidak diperlengkapi dengan instrumen pengambilan kebijakan dan keputusan pemerintahan," ujarnya.

Fahri Bachmid, mengatakan, pembuatan surat dan korespondensi Stafsus Presiden kepada perangkat pemerintahan tertentu, seperti yang dilakukan Statsus Andi Taufan sangat fatal dan tidak dapat dibenarkan.

Menurutnya, tindakan tersebut sangat fatal dan tidak dibenarkan karena perbuatan Andi Taufan itu dapat dikualifisir sebagai tindakan trading in influence atau penjualan pengaruh dan berpotensi maladministrasi serta melampaui kewenangan.

Selain itu, tentunya tindakan Andi Taufan tersebut tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, yang mengatur bahwa lambang negara digunakan dalam tata naskah Dinas sebagai tanda pengenal atau identifikasi yang bersifat tetap dan resmi.

"Dengan demikian, maka pejabat yang berwenang menggunakan kop naskah dinas jabatan dan cap jabatan dengan lambang negara adalah pejabat negara terkait, sehingga hal ini melanggar prinsip serta kaidah terkait Atribusi, Delegasi, dan Mandat," ujarnya.

Prinsip tersebut sebagaimana diatur dalam norma ketentuan Pasal 11, 12, 13, dan 14 UU RI No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebab, stafsus Presiden tidak diberikan mandat serta kewenangan atributif seperti itu.

Fahri Bachmid, menegaskan bahwa idealnya setiap pejabat pemerintahan wajib mempedomani UU administarsi pemerintahan, yang secara mendasar dan pada hakikatnya disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelengaraan pemerintahan.

"Pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan perlindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan, sehingga instrumen hukum UU No. 30/2014 harus menjadi acuan normatif dalam urusan pemerintahan negara,agar tidak terjadi abuse of power dalam hal-hal seperti ini," kata Fahri Bachmid.

Menurutnya, abuse of power pada hakikatnya adalah penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi, yang sifatnya melanggar hukum yang dilakukan dalam kapasitas resmi, dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dasar hukum yang dipakai adalah ketentuan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) UU RI No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

UU Nomor 30 Tahun 2014 tersebut menyebutkan bahwa: Ayat (1), Badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyelahgunakan wewenang; ayat (2). Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Larangan melampaui wewenang; b. Larangan mencampuradukan wewenang dan/atau; c. Larangan bertindak sewenang-wenang.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 18 Ayat (2) disebutkan “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.

Selanjutnya, Ketentuan Pasal 18 Ayat (3) disebutkan “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf c apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan, a. tanpa dasar kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Dengan dasar pijakan normatif di atas maka tindakan stafsus Presiden Andi Taufan dapat dikategorikan sebagai tindakan 'Penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 18 ayat (2) dan (3) UU RI No. 30/2014'," katanya.

Sebelumnya, terkait surat tersebut, Andi Taufan Garuda Putra telah menarik suratnya dan menyampaikan permohonan maaf kepada publik. Dia juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan soal ini.

"Tentunya hal ini akan menjadi pelajaran penting bagi saya sebagai anak muda yang ingin memberikan kontribusi untuk negeri, agar tetap mengikuti kaidah aturan dalam sistem birokrasi. Saya mohon maaf atas hal ini dan menarik kembali surat tersebut," katanya.

Andi Taufan juga menyampaikan bahwa surat kepada para camat tersebut bersifat pemberitahuan dukungan kepada program Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

"Maksud saya ingin berbuat baik dan bergerak cepat untuk membantu mencegah dan menanggulangi Covid-19 di desa, melalui dukungan secara langsung oleh tim lapangan Amartha yang berada di bawah kepemimpinan saya," ujarnya.

Menurutnya, dukungan tersebut, murni atas dasar kemanusiaan dan dengan biaya Amartha dan donasi masyarakat, yang akan dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Dukungan yang diberikan dilakukan tanpa menggunakan anggaran negara, baik APBN maupun APBD.

"Saya akan terus bergerak membantu Pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19. Bekerja sama dan bergotong royong dengan seluruh lapisan masyarakat, baik Pemerintah, swasta, lembaga dan organisasi masyarakat lainnya untuk menanggulangi Covid-19 dengan cepat," demikian surat Andi Taufan.

Terkait persoalan ini, Gatra.com berupaya meminta tanggapan yang bersangkutan. Namun, yang bersangkutan belum merespons.

1761