Home Internasional Hubungan AS-Cina Pasca 'Perang' Covid-19, Sebuah Kajian

Hubungan AS-Cina Pasca 'Perang' Covid-19, Sebuah Kajian

Relasi Amerika Serikat-Cina Pasca Pandemi, Dampak Bagi Indonesia

Oleh: Yohanes Sulaiman*

 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, hubungan Amerika Serikat dan Cina berangsur-angsur memburuk. Dari sisi Amerika Serikat, terus meningkatnya kekuatan Cina baik secara ekonomi maupun secara militer menjadi ancaman bagi tatanan dunia liberal yang dipimpinnya. Di sisi lain, Cina pun merasa terancam oleh Amerika Serikat yang dianggap terus menghalangi ambisi globalnya dan dianggap melakukan intervensi ke isu yang dianggap Cina sebagai urusan dalam negerinya. Misalnya masalah hubungan Beijing dan Taipei, dan terakhir, gerakan protes dan demokrasi di Hong Kong.

Hubungan Amerika Serikat dan Cina pada tahun 2019 digoncang perang dagang, yang merupakan reaksi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump terhadap apa yang ia anggap sebagai praktik-praktik perdagangan Cina yang tidak jujur, yang meningkatkan angka defisit perdagangan Amerika Serikat. Belum lama perang dagang berakhir, tahun ini hubungan kembali diguncang dengan meledaknya wabah Covid-19.

Pemerintah Cina sadar bahwa wabah virus Covid-19 ini merusak citranya di mata dunia, terutama karena kegagalannya dalam menangani wabah ini secara efektif dan mencegah wabah ini menjadi pandemik. Kegagalan ini mengganggu usahanya untuk dianggap sebagai “alternatif” dari Amerika Serikat. Akhirnya Cina berusaha untuk memperbaiki citranya dengan melakukan “diplomasi masker,” usaha untuk membantu negara-negara lain untuk menghadapi virus Covid-19, yang juga mempertanyakan efektifitas negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, dalam menangani wabah ini.

Di sisi lain, Presiden Donald Trump, yang mengkhawatirkan akan kemungkinannya terpilih lagi di pemilu Presiden Amerika Serikat pada November 2020, terus menekankan kesalahan Cina yang menyebabkan pandemik ini meluas. Ia juga menyerang calon lawannya, Joe Biden dari Partai Demokrat, dengan menuduh Biden terlalu lemah terhadap tekanan Cina.

Namun belum tentu kalau Trump kalah, maka Biden akan lebih lunak terhadap Cina. Dalam perdebatan kandidat presiden dari Partai Demokrat, semua kandidat yang ditanya moderator, termasuk Biden sendiri, menekankan bahwa Amerika perlu bersikap tegas terhadap Cina baik dari segi geopolitik, maupun ekonomi. Bahkan Biden sendiri pada debat tanggal 19 Desember 2019, menekankan perlunya penguatan militer di Asia untuk menghadapi Cina.

Dari sini pun dapat terlihat bahwa setelah Covid-19 berakhir, kondisi geopolitik dunia, persaingan antara Amerika Serikat dan Cina, tidak akan berhenti, malah mungkin akan memanas. Amerika Serikat akan terus menekan Cina –terlihat di sini bahwa kedua partai dominan di Amerika Serikat, Demokrat dan Republik– keduanya bersepakat bahwa Cina dianggap ancaman bagi dominasi Amerika Serikat.

Selain itu, setelah wabah Covid-19 ini berakhir, belum tentu negara-negara dunia akan bersikap normal-normal saja. Menghadapi biaya ekonomi yang sangat tinggi akibat pandemik ini, mereka bisa saja meminta pertanggungjawaban dari Cina dan World Health Organization (WHO), yang dianggap gagal mengantisipasi dan mengatasi virus ini. Apalagi jika perekonomian Cina sudah lebih dulu membaik daripada negara-negara lain.

Sedangkan Cina pun sudah pasti akan terus memperkuat dirinya sendiri, untuk melawan dominasi dan tekanan Amerika Serikat. Cina akan terus merangkul negara-negara yang dianggap tidak menyukai Amerika Serikat, atau minimal sangat membutuhkan hubungan baik dengan Cina baik secara ekonomi maupun poliitik, sehingga mau untuk melupakan peran Cina dalam penyebaran pandemik ini. Selain itu, Cina pun sudah menyebarkan pengaruhnya di badan-badan internasional untuk bisa menangkal pengaruh Amerika Serikat.

Persengketaan antara Cina-Amerika Serikat sudah pasti akan berimbas ke Asia Tenggara, terutama Indonesia, karena sangat pentingnya posisi Asia Tenggara secara strategis. Sekarang Cina sudah melebarkan pengaruhnya ke negara-negara ASEAN, terutama Filipina, Kamboja, Laos, dan Thailand. Di sisi lain, negara-negara seperti Vietnam merapatkan dirinya kepada Amerika Serikat. Sementara itu, Malaysia dan Singapura bermain di tengah. Walaupun membesarnya pengaruh China tidak selamanya dianggap negatif, karena membantu mengimbangi pengaruh Amerika Serikat, namun akibat perselisihan tentang Laut Cina Selatan, dominasi Cina di kawasan tak akan pernah bisa diterima oleh negara-negara Asia Tenggara, sehingga Amerika Serikat dan Cina akan terus bersaing di kawasan ini.

Pada dasarnya posisi Indonesia tidak akan berubah: akan terus bermain di tengah, dengan alasan kebijakan bebas aktifnya. Indonesia akan terus mendorong Cina untuk melakukan investasi, sedangkan Indonesia juga akan terus membina hubungan baik dengan Amerika Serikat, terutama untuk isu-isu keamanan. Namun jika kondisi perpolitikan dunia memanas, sudah sewajarnya Indonesia menimbang untung ruginya terutama untuk menjaga kestabilan kawasan dan posisi dominan Indonesia di kawasan Asia Tenggara.**

 

Tentang Penulis

*Yohanes Sulaiman adalah lektor dan analis politik di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Jenderal Achmad Yani (Cimahi, Indonesia). Fokus penelitiannya adalah budaya strategis dan sejarah diplomatik Indonesia, isu-isu keamanan dan politik Asia dan global, dan hubungan sipil militer. Ia mendapatkan Ph.D. dari the Ohio State University, Columbus, OH, USA.

1862