Home Teknologi Banyak Pelanggaran Berekspresi Online 2019, Bagaimana 2020?

Banyak Pelanggaran Berekspresi Online 2019, Bagaimana 2020?

Jakarta, Gatra.com - Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas menyebut, banyak pelanggaran kebebasan berekspresi secara online yang terjadi pada 2019. Menurutnya, hal itu dipicu karena banyak faktor, di antaranya Pemilu, konflik di daerah hingga aktivis yang menyuarakan pendapatnya.

Pada momen Pemilu itu, lanjut dia, banyak masyarakat terpolarisasi. Sudah terpolarisasi, justru ada kontrol informasi dari pemerintah. Menurut Ika, pemerintah melakukan pengawasan informasi karena suara warganet cukup signifikan untuk menentukan pemilihan.

"Karena jumlah warganet kan terus tumbuh, hampir 54% (dari total penduduk), jadi kepemilikan suara yang direpresentasi oleh warganet ini cukup menentukan untuk pemiihan, makanya kontrol informasi itu dilakukan besar-besaran oleh pemerintah," kata Ika dalam diskusi online bersama Amnesty International Indonesia, Senin (5/4).

Selain Pemilu, pemerintah juga pernah memutus akses informasi, terutama di Papua, sebanyak dua kali. Menurutnya, langkah pembatasan akses itu justru beririsan berat dengan bagaimana harusnya saluran kebebasan berekspresi bekerja.

Tak berhenti sampai di situ, penangkapan aktivis pro demokrasi yang menyuarakan pendapatnya melalui media sosial juga kerap kali digiring polisi. Sebut saja Ananda Badudu, Dandhy Laksono, Veronica Koman hingga yang terbaru, Ravio Patra pernah jadi incaran korps baju cokelat.

Dari catatan SAFEnet sendiri menunjukkan bahwa sedikitnya ada 22 kasus dari jalur komunikasi online yang dikenakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Angka tersebut sebenarnya turun dari tahun sebelumnya. "Ini sedikit lebih turun dari 2018 yang jumlahnya 25 kasus, tapi secara kualitas ada bentuk baru terhadap pembatasan berekspresi," terang Ika.

Ika menyebut, di tengah pandemi Covid-19 ini yang masyarakatnya diimbau keras tak beraktivitas di luar rumah dan banyak memanfaatkan jalur komunikasi online, pemerintah justru menggunakan pendekatan represif untuk merespons kondisi ini. Hal tersebut dilihat dari penerbitan Surat Telegram Kapolri Jenderal Pol Idham Azis pada 4 April 2020 lalu. "Isinya, Kapolri menginstruksikan jajarannya untuk melakukan patroli cyber, monitoring situasi opini, hoaks, yang paling penting penghinaan terhadap penguasa, presiden atau pemerintah," jelas dia.

Surat Telegram itu, lanjut dia, tak sedikit membawa warganet ke kantor polisi karena kontennya dianggap menghina presiden, pejabat pemerintah atau dicap hoaks. Dari rentetan peristiwa itu, SAFEnet mencatat, per Januari-April kasus pelaporan yang menggunakan UU ITE pun melonjak. "Dari 2019, ada 22 kasus. Sekarang baru 4 bulan pertama sudah ada 33 kasus. Angka sebenarnya mungkin lebih tinggi dari ini," jelasnya. Menurutnya, data yang ia dapatkan belum termasuk data yang diambil dari lembaga lain yang langsung memberi bantuan hukum kepada warganet yang diamankan polisi.

Ia menyayangkan bahwa pada kurun waktu lima tahun terakhir skor kebebasan berekspresi Indonesia terjun bebas ke angka terendah semenjak reformasi. Menurut Ika, hal itu bisa dilihat dari maraknya bentuk represifitas pemerintah dengan ancaman pidana atau UU ITE dan metode lainnya. Hal itu menjadi salah satu tantangan yang paling serius terhadap kebebasasan berekspresi.

416