Home Milenial Elaborasi Kreasi, Tari, dan Pandemi

Elaborasi Kreasi, Tari, dan Pandemi

Semarang, Gatra.com – Di namai Three Power Dance atau tari tiga daya. Merupakan laku karya dari maestro seniman penari asal Semarang, Yoyok Bambang Priambodo, dalam berdoa untuk melawan wabah pandemi virus corona di Indonesia.

Tarian itu seolah mengingatkan manusia bahwa sejak dahulu berdoa yang diejawantahkan dalam karya seni menjadi sarana semangat optimisme dalam melawan wabah atau pagebluk.

Seperti pada tarian di keraton-keraton, elaborasi dari tembang, macapat, dan gendhing menyatu dalam gerak tarian yang menjelma menjadi doa. Gendhing Sanghyang, Bedhayan atau Anglir Mendhung, telah mashur menjadi perantara kepada Yang Maha Kuasa untuk berserah diri.

“Manusia seakan lupa, bahwa leluhurnya sudah pernah mengawali cara-cara berdoa pada jamannya. Three Power Dance merupakan simbol jiwa manusia yang tercermin dalam trimurti, tripama, dan tridaya,” kata Yoyok, saat ditemui Gatra.com, di Sanggar Greget Semarang, Minggu (10/5).

Yoyok menceritakan, tarian tersebut diciptakan secara spontanitas kala masa Work From Home (WFH). Darah seninya mengalir untuk berkreasi dan berkarya meski terhalang oleh larangan pemerintah untuk membatasi diri beraktivitas.

Three Power Dance dipentaskan untuk pertama kalinya pada 3 April 2020 lalu melalui daring di media sosial dan Youtube, memanfaatkan sanggar tarinya yang ada di Jalan Pamularsih I No.2 Bongsari Semarang Barat. Dua anaknya yakni Sangghita Anjali dan Canadian Mahendra melengkapi karya fenomenal ditengah upaya menekan Covid-19.

“Tari ini dilakukan spontan karena waktu yang pendek. Gendhingnya sudah ada, Sunan Kalijaga sudah menciptakan tembang Dandhang Gulo, kidung Sesingkir saya ambil, itu doanya orang Jawa di mana-mana pakai itu,” jelasnya, yang menambahkan kidung-kidung sesingkir dan beberapa tahapan tembang ciptaanya.

Tiga penari itu memiliki peran masing-masing dengan filosfi benda atau asesoris dalam pementasan, dimana Yoyok membawa api obor yang diartikan sebagai pencerahan jalan kehidupan, Sangghita membawa kendil bermakna kehidupan mengalir, dan Mahendra membawa sapu lidi yang diartikan pembersihan diri.

“Kostum juga khas Jawa poleng, sesuai dengan tari sesingkir jadi warna hanya dua hitam dan putih, seperti di Bali itu jarik poleng hitam putih, dan di Jawa juga sama dipercayai untuk menetralisir. Sarana ada obor, kendi air, sapu, itu memang idiom Jawa,” kata pengasuh Sanggar Greget ini.

Ada lima tahapan dalam tarian yang berdurasi 12 menit itu, masing-masing diiringi tembang dengan makna doa yang berbeda pula. Tembang Dandhang Gulo Sunan Kalijaga mengawali doa dalam tahapan pertama, disusul tembang Dandhang Gulo laras pegog karya Yoyok.

Lalu dua tembang Kinanthi laras pegog yang bermakna ikhtiar dalam mengusir virus corona sekaligus sebagai tolak bala dari semua penyakit dan wabah yang menular hingga kematian.

Terakhir ditutup dengan tarian yang diiringi tembang Asmaradhana karya Yoyok juga, kidung ini dimaknai sebagai pembelajaran dan menyadarkan manusia untuk instropeksi diri. Termasuk untuk berbenah menata diri serta menjaga dan merawat kelestarian alam.

Yoyok menyebut, sebenarnya Three Power Dance sudah dipentaskan menjadi dua sesi. Sesi kedua dia lakukan berkolaborasi dengan dua maestro seniman ada Djarot B Darsono dan Eko Supendi.

Sesi keduanya dipentaskan pada 17 April 2020, lebih menekankan empati bagi korban keganasan Covid-19, temasuk para tenaga kesehatan, TNI/Polri dan keluarga yang berduka akibat meninggal dunia karena virus corona.

Karena masih dalam imbauan untuk tetap di rumah. Ketiganya mementaskan karya di rumah masing-masing melalui rekaman video, lalu diunggah secara bersamaan oleh Yoyok.

“Sesi kedua kolaborasi dengan dua seniman tari yang memiliki karakter berbeda unsur gerak tari,” kata Yoyok.

Djarot B Darsono dengan karakter dasar seorang seniman multi talenta seperti ketoprak, ahli puisi maka gerakan lebih unsur teatrikal. Sementara Eko Supendi yang merupakan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta lebih pada unsur perpaduan koreografi.

“Kalau saya pada gerak perkembangan tradisi pesisir. Saya gabungkan tiga unsur tersebut, jadi disatukan dalam Yotube, biar orang bisa tahu, memilih dan melihat jika perkembangan seni tari seperti itu,” katanya.

Sesi kedua ini memiliki delapan tembang (pupuh), koreografi dan kompoisi musik secara mandiri. Penyaijiannya terdapat simbol jeritan tangis, pedihan mendalam, keluarga yang berduka, doa kepada Tuhan, dan syukur menerima hingga semangat dalam berkarya.

“Pada garapan terakhir kami bertiga main bareng gerak mengusir corona, saya pakai keris simbol orang Jawa, mas Eko pakai daun, dan mas Djarot pakai tombak kecil, dengan interprestasi sendiri masing-masing seniman,” bebernya.

Secara keseluruhan pada sesi kedua Three Power Dance, selain mendoakan para pejuang dan korban pandemi Covid-19, menyiratkan juga langkah berperang melawan sesuatu yang tidak kelihatan yang harus disikapi dengan percaya diri untuk menang dan pagebluk segera sirna.

“Refleksinya saat ini kita harus berbuat lima butir Pancasila itu, rela, narima, sabar, jujur, dan budi luhur. Jadi harus merelakan apa yang kita punya dan sabar menghadapi situasi ini, serta berbuat jujur dan luhur untuk membersihkan pikiran dan angan, maka dilakukan dengan hasta brata, kalau di Jawa sebagai refleksi diri. Latar belakangnya itu, kita membatasi, tidak semaunya sendiri, harus menerima ikhlas keadaanya,” paparnya.

3452