Home Hukum Pakar Hukum: Perpres Kenaikan Iuran BPJS Inkonstitusional

Pakar Hukum: Perpres Kenaikan Iuran BPJS Inkonstitusional

Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., menilai beleid Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kembali menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan adalah inkonstitusional.

Menurut Fahri Bachmid, beleid teranyar kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, itu berpotensi melanggar kaidah hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) RI.

Perpres teranyar dari Presiden Jokowi tersebut, menurut Fahri Bachmid, merupakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan nominal yang sedikit berbeda dari kenaikan iuran sebelumnya, berdasarkan ketentuan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

"Perpres kenaikan Iuran BPJS Kesehatan itu sedikit bermasalah tentunya jika dilihat dan dikaji dari sudut ilmu hukum," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis, Kamis (14/5).

Menurut Fahri Bachmid, MA sudah mengeluarkan putusan dalam merespons kebijakan Jokowi dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan beberapa waktu yang lalu. Dalam perkara Hak Uji Materil Nomor: 7P/HUM/2020, itu diputuskan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.

Majelis Hakim MA menyatakan bahwa Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu pada prinsipnya dinilai bertentangan dengan ketentuan norma Pasal 23A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain norma konstitusional tersebut, Perpres a quo juga dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 Ayat (3) UU RI No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), serta ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 171 UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Dengan konsekuensi setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75 Tahun 2019 terkait aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur dalam ketentuan Pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018,2," katanya.

Fahri Bachmid menjelaskan bahawa di dalam ketentuan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 memang mensyaratkan bahwa iuran ditinjau paling lama 2 tahun, tetapi berdasarkan pertimbangan hukum hakim MA yang mengadili perkara a quo, telah menegaskan untuk melihat kondisi riil daya beli masyarakat. Dengan demikian, hal ini perlu dilakukan agar sejalan dan selaras dengan hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

"Pada hakikatnya, putusan MA telah membuat kaidah hukum terkait pelarangan kepada pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan adalah telah bersifat final dan mengikat," ujarnya.

Menurutnya, sifat putusan tersebut adalah ergo omnes yang pada dasarnya adalah mengikat lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, sehingga tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan oleh MA dalam putusan itu.

"Suka atau tidak, itu telah menjadi hukum, sehingga putusan MA itu wajib dijalankan sebagaimana mestinya, tidak boleh membuat tafsiran lain," tandasnya.

Fahri Bachmid menambahkan, konsekuensi dari putusan MA atas Perpres tersebut didasarkan atas UU Mahkamah Agung, dalam ketentuan Pasal 31 Ayat (1), mengatur bahwa MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.

Kemudian Ayat (2), MA berhak menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Ayat (3)-nya, putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA. Ayat (4)-nya bahwa Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) tidak mempunyai kekuatan mengikat.

"Sehingga setiap produk peraturan perundang-undangan yang telah dibatalkan oleh MA, dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan tidak dapat digunakan lagi, apalagi dihidupkan kembali norma yang sudah dibatalkan itu," ujarnya.

Fahri Bachmid mengingatkan, jangan sampai presiden sebagai adresat (subjek norma) dikualifisir telah melakukan perbuatan constitution disobediance atau law disobediance, sehingga sangat merugikan pemerintahan karena mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang sebelumnya MA sudah mengeluarkan putusan tidak ada kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.

Fahri Bachmid mengatakan, Presiden memang mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk memastikan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup layak dan meningkatkan martabatnya menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, sebagai mana dijamin dalam konstitusi.

Dengan begitu, Fahri menegaskan bahwa menjadi kewajiban konstitusional presiden untuk senantiasa memedomani kaidah-kaidah hukum yang berlaku, termasuk putusan MA.

"Secara yuridis, jika dilihat dari keberlakuan Perpres No. 64 Tahun 2020 ini sangat potensial untuk digugat kembali (diuji meteril) ke MA oleh pihak-pihak yang berkepantingan," katanya.

Menurutnya, Perpres tersebut berpotensi digugat karena materi yang ada di dalamnya dinilai masih bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam konteks ini adalah UU RI No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU RI No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial, serta UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

1033