Home Kesehatan Iuran BPJS Dinaikkan, Jokowi Ogah Pakai Rekomendasi KPK

Iuran BPJS Dinaikkan, Jokowi Ogah Pakai Rekomendasi KPK

Jakarta, Gatra.com – Presiden Joko Widodo keukeuh menaikkan iuran BPJS Kesehatan tahun ini. Melalui Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan II Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, iuran peserta BPJS Kesehatan kelas III naik hingga 37,2%. Bahkan, iuran untuk peserta kelas II dan kelas I, naik hampir dua kali lipat (lihat tabel).

Ini kali kedua Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Akhir tahun lalu, Jokowi pernah meneken Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, yang isinya kurang lebih mirip dengan Perpres No.64/ 2020 tadi, yaitu menaikkan iuran. Meskipun di Februari 2020, Mahkamah Agung telah membatalkan Perpres No.75/2019.

Aksi Jokowi ini merupakan buntut dari besarnya defisit BPJS Kesehatan. Diperkirakan, BPJS Kesehatan mengalami defisit senilai Rp6,9 triliun tahun ini.

Persoalanya, berdasarkan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi, tekornya BPJS Kesehatan lebih disebabkan pada pelaksanaan tata kelola pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Maka itu, KPK merekomendasikan pemerintah agar memperbaiki kebijakan dan tata kelola pelaksanaan jaminan kesehatan nasional, bukan menaikan iuran.

Berdasarkan surat KPK per tanggal 30 Maret 2020, ada 6 rekomendasi yang diajukan ke Jokowi untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Pertama, KPK meminta pemerintah menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran. Selama ini, ketiadaan PNPK telah menyuburkan unecessary treatments yang berujung pada pengeluaran yang tidak perlu.

Rekomendasi kedua, segera menertibkan kelas rumah sakit. KPK pernah menemukan over-payment dari klaim 4 rumah sakit bernilai 33 milyar per tahun atau 8,25 milyar tiap rumah sakit per tahun. Sementara, Kemenkes telah melakukan reviu terkait kelas RS se-lndonesia dan klaim ke BPJS. Dan didapati 898 rumah sakit tidak sesuai kelasnya.

Ketiga, kebijakan mengenai urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri yang mampu. Keempat, kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik, penyakit yang biasanya membutuhkan biaya pengobatan tinggi. Kelima, mempercepat pelaksanaan kebijakan Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta.

Rekomendasi terakhir, mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik. Misalnya untuk pelayanan perpanjangan SIM, STNK, urusan keimigrasian atau pelayanan public lain. Sehingga peserta mandiri mendapatkan pelayanan publik secara penuh ketika kewajiban pembayaran iuran sudah dipenuhi. “Kita sudah rekomendasikan beberapa hal,” ujar Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan kepada GATRA.

GATRA sudah coba mengkonfirmasi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono terkait rekomendasi KPK tadi. Sayang, pertanyaan yang diajukan GATRA melalui aplikasi WhatsApp, hanya dibaca tanpa memberi tanggapan.

460