Home Milenial Cobaan Terberat Risma Terungkap

Cobaan Terberat Risma Terungkap

Jakarta, Gatra.com - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bercerita tentang pengalaman pengalamannya dalam memimpin warga Surabaya untuk berperang menghadapi pandemikk COVID-19. Sejak Maret lalu setiap hari Risma, demikian sapaan akrab Tri Rismaharini, mesti berjibaku dengan seabrek urusan yang berkaitan dengan kesehatan sampai dampak sosial ekonomi warganya. Risma merasa inilah ujian terberatnya selama 10 tahun menjabat wali kota

“Sudah banyak cobaan yang saya hadapi, mulai banjir, jatuhnya Airasia sampai aksi terorisme. Setiap cobaan beda penanganan dan saat inilah yang paling berat,” ujar Risma dalam Webinar (Seminar Online) yang diselenggarakan Bidang Peranan Perempuan dan Millenial PP IKA ITS, akhir pekan lalu.

Risma mengungkapkan, banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam menangani masalah wabah corona. Saking banyaknya persoalan-persoalan tersebut menjadi kompleks. ”Saya biasanya tidak pernah kehabisan ide, sekarang saya tidak bisa berpikir masalah yang lain,” ujar alumni Teknik Arsitektur ITS ini.

Pandemik COVID-19 yang berlangsung sejak Maret 2020 memang telah berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam situasi inilah setiap kepemimpinan mendapatkan ujiannnya, tak terkecuali kepemimpinan seorang perempuan.

Kepemimpinan perempuan terasa lebih unik karena di waktu yang bersamaan tetap ada tuntutan untuk memenuhi tugas yang disebut sebagai kodrat. Dalam diskusi bertajuk ”Female Leadership: Managing Crisis in Covid-19, Between Roles in Life” tersebut Risma pun mengakui tidak mudah membagi peran sebagai pemimpin Surabaya dengan peran sebagai istri, ibu, dan nenek.

”Ini yang berat. Karena kasus corona ini menyangkut keselamatan warga, di rumah pun saya terpengaruh. Yang terjadi malah saya sekarang mengajak keluarga masuk ke dalam masalah yang saya hadapi. Ini sebelumnya tidak pernah saya lakukan karena saya selalu memisahkan dengan tegas antara urusan kerja dengan keluarga,” tutur Risma.

Pembicara lain dalam diskusi, yaitu Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan bahwa menyeimbangkan peran berkaitan erat dengan pembagian waktu antara pekerjaan, lingkungan sosial di luar pekerjaan, dan keluarga. Akan tetapi pembagian waktu semacam itu tidak bisa dilakukan secara kaku.

”Kalau misalnya saya sudah di rumah dan ternyata ada sesuatu yang urgent berkaitan dengan pekerjaan, mau tidak mau urusan keluarga mengalah dulu,” katanya.

Aristiwidya Bramantika, Senior VP People and Culture Gojek menyatakan, perempuan terkadang terlalu asyik untuk menyenangkan orang lain sehingga lupa untuk menyenangkan diri sendiri. Baginya, tidak soal seorang perempuan membagi 90% waktunya untuk pekerjaan dan orang lain. ”Yang penting 10% itu harus benar-benar berkualitas dan menyenangkan diri kita,” kara perempuan yang akrab disapa Ika ini.

Sementara psikolog UGM Galang Lufityanto menunjukkan hasil survei yang menyatakan keyakinan masyarakat secara umum bahwa perempuan memang lebih multitasking ketimbang lelaki. Namun, dia melihat dalam praktik data semacam itu bisa ditunggangi. ”Karena dianggap lebih multitasking, maka perempuan diberikan lebih banyak tugas ketimbang laki-laki,” katanya.

Diskusi selama hampir dua jam dengan moderator presenter televisi Brigita Manohara tersebut diikuti 409 peserta, di mana 78% di antaranya adalah perempuan. Selain Indonesia, peserta juga dari Malaysia, Autralia dan Amerika Serikat dengan latar belakang profesi yang bervariasi mulai akademisi, aktivis dan pemerhati perempuan, hingga tokoh agama. 

2030