Home Ekonomi Keberagaman Pangan Masyarakat Adat Perlu Data Akurat

Keberagaman Pangan Masyarakat Adat Perlu Data Akurat

Jakarta, Gara.com - Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, mengatakan, perlu data akurat keberagaman pangan masyarakat adat sehingga pemerintah bisa medukung pengembangan dan pengelolaannya.

Adanya dukungan dan pengelolaan berbagai pangan tersebut, lanjut Syahrul dalam webinar bertajuk "Peranan Masyarakat Adat Dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19", maka potensi pangan tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat luas.

Agar pemerintah bisa memberikan pendampingan kepada masyarakat adat, maka masyarakat adat bisa mengusulkannya kepada dinas pertanian kabupaten atau kota setempat.

"Tentu saja mengusulkan secara berjenjang ke dinas yang ada di bawah kabupaten atau kota, sepanjang ada cek TPL-nya, calon pendampingnya di sana dan calon lokasinya yang benar, terus terlegitimasi dinas pertanian setempat, maka tentu saja kita bisa memberika dukungan," ujarnya.

Syarul juga menyampaikan tentang peringatan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa ketika negara-negara memerangi pandemi coronavirus disease 2019 (Covid)-19, mereka juga harus melakukan segala upaya untuk menjaga kelancaran rantai pasok makanannya.

Menurut Syahrul, Kementan mempunyai strategi untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19 yang terbagi dalam tiga bagian, yakni agenda darurat (saat ini) teporary (jangka menengah), dan agenda permanen (jangka panjang).

Untuk agenda darurat terdiri beberapa poin, di antaranya ayam peternak dibeli mitra dan difasilitasi penyimpanannya oleh pemerintah, menaikkan harga jual gabah, dan membangun buffer stock 11 pangan utama di setiap provisi.

Kemudian, padat karya di 34 provisi dan kabupaten atau kota, jaring pengaman sosial (social safety net) serta mengembangkan pasar dan toko tani serta usaha kemitraan pada 34 provinsi.

Sedangkan untuk agenda jangka menengah, meliputi mengupayakan agar ekspor tetap maksimal, padat karya tahap 2 untuk intensifikasi padi, jagung, dan sagu. Kemudian, semua pemudik dan mantan narapidana yang berprofesi sebagai petani diberi bantuan benih atau bibit.

"Antisipasi kekeringan dan supporting daerah-daerah minus dan menjaga semangat kerja pertanian melalui bantuan saprodi ?dan alsintan [alat mesin pertanian]," ujarnya.

Adapun agenda untuk jangka panjangnya adalah peningkatan produksi 7% per tahun, ekspor 3 kali lipat, losses turun menjadi 5%, petani milenial menjadi 2,5 juta orang, menaikkan nilai tukar pertani (NTP) menjadi103.

"Ekstensifikasi tanaman pangan pada lahan gambut dan rawa serta optimalisasi lahan ekstensifikasi yang sudah ada seluas 600 ribu hektare untuk penyiapan stok beras 1,5 juta ton, serta pengembangan B30 dan kelapa sawit," ujarnya.

Sedangkan untuk menghentikan ketergantungan pada impor pangan, Syahrul sependapat dengan Guru Besar Fatepakes Universitas Sahid (Usahid), Jakarta, Prof. Dr. Ir. Giatmi Irianto, bahwa harus ada strategi dan tahapan yang harus dipersiapkan.

"Ada hal-hal yang memang harus dipersiapkan pemenuhan, minimal agar tidak tergantung pada impor, bisa membangun, katakanlah dinamikanya untuk balance," ujarya.

Sementara itu, Dr. Kunthi Tridewiyanti, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta, menyampaikan, ada beberapa undang-undang soal pengan, termasuk soal kedaulatan dan ketahanan pangan.

"Yang membedakan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa untuk menentukan kebijakan pangan dan menjamin rakyat atas pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal," ujarnya.

Sesuai undang-undang, hak rakyat atas pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Kemudian, rakyat bisa menentukan pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Bangsa Indonesia mempunyai berbagai pangan pokok lokal.

"Jadi sulit jika meyatakan [pangan pokok] hanya beras. Ini tidak mencerminkan potensi sumber daya lokal," ujarnya.

Sedangkan terkait kedaulatan dan masyarkat adat atas pangan, menurut Kunthi, masyarkat adat erat dengan kearifan lokal, kosmologi, dan ritual.

Adapun bagaimana persoalan ketahanan pangan dalam pandemi Covid-19, ini merupakan persoalan besar bangsa Indonesia, khususnya pemerintah baik pusat maupun daerah.

"Bahwa bagaimana akses, terutama bagi masyarkat adat, apakah ada akses untuk itu, apakah ada partisipasi, kontrol, dan manfaat sehingga kita bisa lihat misalnya bahwa ada pembagian beras, apakah masyarakat adat juga menyikapi itu," katanya.

Masyarakat adat mempunyai berbagai strategi untuk mewujudkan ketahan pangan. Misalnya, masyarakat Baduy mempuyai leuit atau lumbung padi untuk memastikan ketersediaan pangannya.

"Budaya yang berkembang pada masyakat Baduy ini memperlihatkan masyarakat adat dalam mengelola kedaulatan pangan ini. Masyakat Bali terkait subaknya yang luar biasa di Bali. Ini tidak terleps dari kosmologi skala dan niskala," ujarnya.

Kemudian, masyarkat adat Cirendeu yang menjadikan singkong sebagai makanan pokoknya. "Jadi kita lihat bahwa peranan masyarkat adat dalam kedaulatan pangan ini sangat penting bagaimana peranan masyarkat adat terhdap situasi gonjang ganjing ini," ujarnya.

"Yang berkembang di masyarakat adat perlu menjadi perhatian pemerintah untuk mengatasi ketergantungan kita pada salah satau jenis pangan perlu dilihat lagi alternatif yang ada dimasyarakat adat," katanya.

406