Home Ekonomi Warna-warni PSR Hingga Target 500 Ribu Hektare Itu

Warna-warni PSR Hingga Target 500 Ribu Hektare Itu

Pekanbaru, Gatra.com - Ini kali pertama Direktorat Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Kementerian Pertanian, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Kantor Staf Presiden (KSP), ngariung virtual bersama lebih dari 200 petani kelapa sawit dari 98 Kabupaten Kota yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia.

Yang dibicarakan lewat zoom video communications yang berbasis di San Jose California Amerika Serikat dua hari lalu itu cuma satu; Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

PSR ini menjadi teramat penting lantaran pemerintah sudah membikin target bahwa hingga tiga tahun ke depan, 500 ribu hektar PSR harus tercapai.

Angka itu bersumber dari total 2,78 juta hektar potensi PSR (41 persen) dari hamparan kebun kelapa sawit milik rakyat yang sampai saat ini tercatat seluas 6,72 juta hektar.

Biar target ini tercapai, Dirjenbun dan BPDPKS pun mengutak-atik formula terbaik; PSR berjalan sesuai standar yang dibikin, tapi tidak membikin petani kelimpungan menyiapkan persyaratan.

Misalnya, dulu awal PSR diprogramkan, syarat yang musti dipenuhi oleh petani mencapai 14 item, tahun lalu syarat itu dikurang menjadi delapan. Namun sejak tahun ini, syarat itu cuma tinggal dua; kelembagaan petani dan bukti kepemilikan.

Volume verifikasi syarat juga dikurangi. Kalau awal-awal dulu, verifikasi berkas petani peserta PSR harus tiga kali. Tapi sejak tahun lalu hanya sekali, langsung clear.

Lantas apa sebenarnya yang membikin program PSR ini terkesan lamban? Selain persoalan administrasi tadi, ternyata banyak orang tidak mengerti apa dan seperti apa seluk beluk PSR ini, belum lagi masih banyaknya lahan petani swadaya yang masih terjebak dalam klaim kawasan hutan.

Ini menjadi unek-unek terbanyak yang dikirim petani ke panitia rapat virtual yang dipandu oleh Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino itu. Unek-unek ini sontak menjadi bahasan paling penting dari sederet poin yang dibahas.

"Banyak pejabat daerah yang tak paham dengan PSR ini, ada yang menganggap duit proyek ini bersumber dari APBN, padahal sesungguhnya ini adalah uang petani juga. Lantaran anggapan tadi, tak sedikit yang menyalahgunakan program ini untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Alhasil muncul berbagai intervensi, baik itu kepada kelompok tani/KUD maupun bank penyalur duit PSR itu," kata tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mayor Jenderal (Purn) Erro Kusnara, yang lebih dahulu didapuk berbicara.

Tak berlebihan jika mantan Komandan Korem 031 Wira Bima ini menyebut begitu. “Sebab baru-baru ini muncul persoalan PSR di Sei Pakning Kabupaten Bengkalis, Riau dan Kabupaten Darmaseraya, Sumatera Barat (Sumbar), yang kemudian menjadi perhatian serius kami,” katanya.

Di Kabupaten Bengkalis kata Erro, ada oknum rekanan PSR yang mengintervensi Bank Riau Kepri untuk mencairkan duit hingga 50 persen dari total anggaran PSR meski pekerjaan belum dimulai. “Saya yakin bank penyalur pasti punya SOP untuk proses pembayaran rekanan PSR,” ujarnya.

Lantas cerita dari Darmaseraya, bahwa segala bentuk pencairan duit PSR harus melalui dinas setempat atau pendamping yang sudah diintervensi oleh pihak tertentu. “Semua ini menjadi catatan kami untuk saya laporkan kepada Pak Moeldoko, Kepala KSP. Sekali lagi saya ingatkan, jangan coba main-main di program PSR, ini program strategis presiden,” Erro mengingatkan.

Selain dua cerita tadi, ada pula omongan yang muncul kalau ternyata selama ini, proyek PSR ini minim tenaga pendamping. Sudahlah begitu, tenaga pendamping yang ada pun tidak semua paham soal seluk beluk PSR.

Mendengar cerita ini, Dirjenbun, Kasdi Subagyono dan Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, nampak makin menyimak.

Bisa jadi keduanya merasa persoalan semakin bertambah. Sebab sebelumnya Kasdi sudah menyodorkan persoalan versi dia; ada sejumlah petani peserta PSR memulangkan duit lantaran tak paham alur PSR dan tidak tahan dengan intervensi pihak tertentu.

"Dari pada bermasalah, lebih baik duit dipulangkan saja. Toh juga pohon kelapa sawit kami masih bisa menghasilkan walau tinggal cukup makan," begitulah salah satu cara petani menghibur diri.

Mantan Dirjenbun, Prof Agus Pakpahan yang ikut dalam pertemuan virtual itu mengingatkan bahwa PSR saat ini adalah cikal bakal generasi kedua perkelapasawitan Indonesia.

Lantaran sudah punya pengalaman 25 tahun di generasi pertama kata Agus, PSR kali ini enggak boleh lagi hanya sekadar menanam ulang, "Tapi gimana sawit generasi kedua menjadi lebih baik lagi, inklusif dan cerdas, itu yang paling penting. Sawit sudah harus jadi modal bagi petani untuk masuk ke industrialisasi. Pada generasi pertama petani belum kaya karena hanya menjual TBS, di generasi kedua harus bisa menjadi bagian dari industri kelapa sawit itu," katanya.

Agar apa yang dikatakan Agus dan para narasumber rapat virtual itu bisa terwujud, Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung pun menyodorkan solusi seperti ini; Ada baiknya Dirjenbun dan BPDPKS segera menghadirkan tenaga pendamping di luar tenaga pendamping dinas perkebunan setempat.

"Jadi kalau ada masalah di PSR, bisa segera dilaporkan melalui Call Center yang juga harus dibikin. Ini sangat penting lantaran petani swadaya murni sangat awam dengan proses administrasi dan SPJ, beda dengan petani plasma yang melekat dengan perusahaan inti," katanya.

Alumni beasiswa BPDPKS D1 Taruna Kelapa Sawit yang hingga tahun lalu sudah mencapai 1.700 orang kata Gulat, bisa direkrut menjadi tenaga pendamping.

"Saya mengatakan begitu lantaran kami sudah melakukan. Kami rekrut sejumlah alumni menjadi tenaga pendamping independen. Mereka sangat produktif dan jujur," ujar Gulat.

Tenaga yang jujur dan paham akan sawit kata Gulat sangat dibutuhkan di PSR. Sebab mereka musti membikin laporan harian tentang kendala dan kemajuan pekerjaan. Laporan harian ini sangat penting menjadi kartu kontrol saat pengajuan termin oleh rekanan.

"Apa yang dikerjakan, itu yang dibayar. Asal tahu saja, tegakan pohon kelapa sawit yang akan di PSR itu tak utuh lagi seperti standar 142 batang perhektar. Enggak mungkin pohon yang sudah mati dihitung sebagai bagian dari pekerjaan untuk dibayar, yang semacam ini banyak kami temukan," tegas Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Lalu soal rekanan pelaksana PSR, khususnya di P0 (persiapan lahan sampai penanaman). Gulat minta supaya standar rekanan dibikin. "Jangan kalau sudah punya alat berat, langsung boleh jadi rekanan. Akan kacau jadinya, sebab enggak akan ketemu rohnya PSR itu oleh rekanan 'jadi-jadian'. Pancangan dan alur rumpukan akan tabrakan dengan titik tanam," Gulat mencontohkan.

Terus, musti ada keseragaman Rancangan Anggaran Biaya (RAB) PSR dari P0 sampai P3. "Selama ini kami amati tidak ada satuan harga yang standar di RAB PSR. Yang ada justru calon rekanan yang membikin RAB, tau sendirilah kalau sudah calon rekanan yang membikin RAB. Belum lagi si rekanan sebenarnya sudah membikin modus MoU dengan kelompok tani atau KUD yang sedang mengurus dana PSR untuk 'mengikat' mereka supaya jangan kemana-mana. Kalau ada keseragaman struktur RAB, misalnya harga bibit sawit yang sudah standar Rp40 ribu perbatang, tentu enggak akan ada yang berani suka-suka membuat RAB. Yang kami temukan justru, masih dalam satu provinsi, harga tumbang dan cincang batang kelapa sawit sudah jauh beda, padahal pekerjaan tumbang cincang ini jenis pekerjaan yang bersifat final artinya tidak ada perbedaan biaya meskipun lokasi berbeda. Tapi yang terjadi selisihnya bisa mencapai Rp12 ribu hingga Rp17 ribu per batang. Kalau 100 hektar kebun PSR yang dikerjakan, selisihnya bisa mencapai Rp170 juta, itu baru dari satu item pekerjaan, lho. Ini kan aneh" katanya.

RAB ini kata Gulat sangat vital. Sebab di sinilah nanti kelihatan berapa hutang petani yang akan muncul. "Makin sedikit duit yang akan diutangi petani ke bank sebagai tambahan dana hibah BPDPKS Rp25 juta per hektar, tentu petani akan sangat tertolong. Saya pikir inilah tujuan Presiden Jokowi," katanya.

Poin berikutnya kata Gulat, pertegas batas kewenangan dinas perkebunan setempat dan provinsi. Soalnya ada yang beranggapan kalau dana PSR ini adalah 'proyek'. Alhasil perlakuan dinas terkait dengan PSR ini sama seperti perlakukan kepada proyek APBD. Ini sangat merepotkan dan memperlambat proses percepatan PSR," katanya.

Bibit yang mau ditanam juga kata Gulat menjadi perhatian serius. Sesuai peraturan Menteri Pertanian, bibit harus langsung dari produsen resmi. Kalau membeli dari penangkar harus atas rekomendasi produsen.

"Ini sangat terkait dengan tanggungjawab produsen kecambah/bibit terhadap masa depan petani atas tanamannya. Jika kelak tanaman tidak berproduksi sesuai brosur, maka si produsen harus mengganti seluruh kerugian petani. Tapi jika bibit dibeli dari penangkar yang enggak jelas, maka lepaslah tanggungjawab produsen benih sawit itu. Kasihan petani jadi korban," Gulat mengingatkan.

Terakhir kata Gulat, untuk mempercepat target PSR yang 500 ribu hektar tadi, Dirjenbun dan BPDPKS sebaiknya memberdayakan dan melibatkan organisasi petani sawit yang punya kredibilitas dan berbadan hukum AHU oleh Menteri Hukum dan HAM.

"Kepada keluarga besar Apkasindo saya ingatkan, program PSR ini adalah kesempatan emas bagi petani Indonesia; now or never! Saya berharap, di sisa waktu 2,5 tahun pencapaian target 500 ribu hektar ini, yang menjadi prioritas adalah petani sawit swadaya alias petani kampung, meski kita tahu mengurus petani sawit swadaya lebih ribet dibanding petani plasma,” tegas Gulat.

Semakin gampangnya prosedur yang dibikin oleh Dirjenbun dan BPDPKS kata Gulat, tidak lagi menjadi alasan bagi petani untuk tidak move on, “Petani harus bisa hijrah menjadi petani CPO dengan modal dasar PSR itu. Roh PSR ini adalah intensifikasi --- luasan lahan sawit tertentu yang ditingkatkan produktivitasnya dengan menggunakan bibit unggul dan super hibrid melalui Program PSR --- jadi tidak menambah luas,” katanya.

"Sejak Pak Kasdi jadi Dirjenbun, syarat sudah tinggal dua, kalau kesempatan ini enggak diambil, itu kebangetan namanya, berarti enggak ada niat. Tak ada perjalanan yang tidak diwarnai rintangan. Mau menghadapi rintangan itu, itulah menjadi bukti kalau petani kelapa sawit Indonesia adalah petarung sejati," tegasnya.


Abdul Aziz

 

1300