Home Ekonomi Harga Gula Pasir Tinggi, KPPU Sebut Ada Pelanggaran Hukum

Harga Gula Pasir Tinggi, KPPU Sebut Ada Pelanggaran Hukum

Jakarta, Gatra.com- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah meneliti, kenaikan harga gula pasir sudah masuk ke ranah penegakan hukum, bukan lagi ranah kajian ekonomi. Hal ini karena harga di pasaran sudah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang seharusnya tidak lebih dari Rp12.500/kg.

Komisioner KPPU, Guntur Saragih menyebut, setelah melalui analisis di Direktorat Ekonomi, maka akan dialihkan ke Bidang Penegakan Hukum sebagai tindak lanjut. Menurutnya, ini merupakan langkah awal untuk membongkar penyebab kenaikan harga tersebut. Ia menduga match fixing. Apabila terbukti, maka ada sanksi bagi pelaku usaha.

“ Wilayah dan harga maksimum itu ada hitungannya. HET dilematis, dasar pelaku usaha menentukan basis harga, tidak boleh lebih dari Rp12.500. Pelaku usaha kita, harga kita jauh dibandingkan harga internasional. Harga produsen baik tingkat BUMN dan importir kelewat dari harga yang ditanggung masyarakat,” katanya, melalui Konferensi Pers Virtual, Rabu (20/5).

Direktur Ekonomi KPPU, Firmansyah mengatakan, harga gula di luar negeri malah mengalami penurunan. Berdasarkan data International Sugar Agreement (ISA), harga gula global berada di angka US$0,26/ kg pada Maret 2020. Sedangkan pada April 2020 menjadi US$0,23/ kg. Bahkan April 2020, harga beras lebih tinggi dibandingkan harga beras.

“ Harga gula di luar negeri semakin turun, kita malah semakin naik. Ini kan anomaly dan sudah diolah. Selisih harga luar negeri dan dalam negeri bisa sampai 250%. Harga internasional, 2016-2017, harga tidak berubah. Relatif stabil antara Rp4000 sampai Rp5.000. di pasar tradisional, harga acuan Rp17.650. harus segera dipakai pemerintah terhadap harga tinggi,” ujarnya.

Dalam kondisi saat ini, Firmansyah membeberkan beberapa kelompok produsen diuntungkan akibat harga tinggi Gula Kristal Putih. Kelompok tersebut yaitu produsen berbasis tebu yang efisien seperti Pabrik Gula BUMN, Pabrik Gula Swasta, Bulog, Pabrik Gula Rafinasi, dan distributor yang sangat oligolopis.

“Kita juga identifikasi pola yang baik agar ini bisa menjadi solusi. Lihat inefisiensi pabrik gula itu apa. Pertama, disintegrasi petani dan pabrikan yang harus bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pasokan gula dan tebu bisa stabil. Harga bisa ditentukan dengan baik. Siapa yang berpotensi, tentunya yang memiliki perusahaan berbasis tebu,”katanya.

Selain itu, ia juga mengimbau agar penetapan HET perlu kewaspadaan. Tidak hanya adanya oknum, penyebab harga tinggi itu bisa karena persoalan inefisiensi produksi gula. Pasalnya, muncul persepsi kalau harga gula impor lebih murah dibandingkan gula dalam negeri. Anggapan ini dapat memengaruhi jumlah produksi di dalam negeri.

204