Home Hukum Vonis untuk Jaksa Korup di Yogya Dinilai Tak Beri Efek Jera

Vonis untuk Jaksa Korup di Yogya Dinilai Tak Beri Efek Jera

Yogyakarta, Gatra.com - Dua jaksa hasil operasi tangkap tangan perdana Komisi Pemberantasan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta dihukum lebih rendah dari tuntutan KPK. Vonis ini dinilai jauh dari upaya pemberian efek jera bagi koruptor di DIY.

Hal ini disampaikan peneliti Jogja Corruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba, Kamis (21/5), merespons vonis untuk dua jaksa selaku terdakwa di sidang tindak pidana korupsi proyek saluran air hujan Jalan Supomo, Kota Yogyakarta, yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, Rabu (20/5).

Dua jaksa itu dihukum penjara empat dan 1,4 tahun dari tuntutan enam dan empat tahun. “Putusan minimalis dalam kasus korupsi di DIY pasti terjadi. Dalam catatan JCW, vonis maksimal yakni empat tahun, sehingga efek jera bagi pelaku korupsi bagai panggang jauh dari api,” ujar Kamba kepada Gatra.com.

Namun ia mengapresiasi pengungkapan kasus korupsi lewat OTT di DIY hingga berujung vonis tersebut. “Itu baru awal karena selama ini DIY diangap bersih sehingga tak mungkin terjadi OTT oleh KPK. Bukti pecah telur di DIY bisa dilakukan,” kata dia.

Dua jaksa, Eka Sapitra dan Satriawan Sulaksono, telah diputus bersalah karena melakukan korupsi menerima suap Rp221 juta dari kontraktor untuk memenangi proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman, Kota Yogyakarta, senilai Rp10,8 miliar.

“Melanggar pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menyatakan terdakwa Eka Sapitra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana korupsi secara bersama-sama,” ujar Ketua Majelis Hakim Asep Permana saat membacakan putusan.

Eka dan Satriawan ditangkap KPK saat menggelar OTT, 19 Agustus 2019. Kala itu, Eka anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta yang bertugas memberi pendampingan hukum atas proyek tersebut.

Namun, bersama Satriawan, Eka justru menerima duit dari Gabriella Yuan Anna Kusuma, kontraktor yang membawa perusahaan mendapat proyek gorong-gorong itu. Anna telah divonis 1,5 tahun penjara pada awal 2020.

Dalam sidang putusan Eka dan Satriawan, majelis hakim membacakan putusan di depan layar televisi yang diletakkan di kursi terdakwa. Dua terdakwa bersama kuasa hukum dan jaksa penuntut umum KPK mengikuti sidang secara jarak jauh lewat tampilan langsung di televisi tersebut.

Sidang jarak jauh ini diterapkan sebagai bagian protokol pencegahan Covid-19. Hakim dan hadirin di ruang sidang pun mengenakan masker dan duduk dengan menjaga jarak.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Eka dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti kurungan tiga bulan,” ujar Hakim Asep.

Adapun dalam sidang terpisah pada hari yang sama, hakim memvonis Satriawan dengan hukuman penjara 1,5 tahun dan denda Rp50 juta atau kurungan satu bulan.

Saat ditanya hakim soal putusan tersebut, jaksa KPK langsung menyatakan banding. Terdakwa pun menanggapi putusan itu. “Kami pikir-pikir,” kata Eka. Tanggapan yang sama disampaikan Satriawan di sidang berikutnya.

Usai sidang, jaksa KPK Wawan Yunarwanto menyatakan KPK banding atas putusan hakim. Untuk terdakwa Eka, hakim memilih menggunakan pasal 11 UU Tipikor, sementara KPK mengajukan dua dakwaan yakni pasal 11 dan 12 (a) UU Tipikor.

Adapun banding untuk terdakwa Satriawan, selain soal pasal itu, putusan pidananya kurang dari dua pertiga dari tuntutan. Dengan dakwaan pasal 12 (a), tuntutan pidana untuk Eka enam tahun dan denda Rp300 juta, sedangkan Satriawan empat tahun dan Rp200 juta.

Kedua tuntutan KPK itu lebih tinggi daripada vonis hakim. “Di tuntutan kami, dakwaan pasal 12 (a) karena berkaitan dengan jabatan Eka sebagai anggota TP4D. Namun hakim berpendapat lain,” ujar Wawan saat dihubungi.

Menurut Wawan, majelis hakim melihat tindakan terdakwa Eka tidak berkaitan dengan jabatan mereka di TP4D. “Tapi dilihat dari sisi Anna sebagai pemberi uang yang bisa mengupayakan apa yang diinginkan pemberi. Ada perbedaan pendapat kami dengan hakim. Ada yang enggak pas,” tuturnya.

Di sidang kasus proyek saluran air ini, dua jaksa ini juga ketahuan menerima uang Rp10 juta dari pengusaha lain untuk proyek gedung SD di Kota Yogyakarta.

“Kami masih tunggu putusan resmi (kasus saluran air). Ini belum inkracht (berkekuatan hukum tetap), masih banding. Sampai itu selesai, kami nilai lagi apakah akan kami tindak lanjuti,” kata Wawan.

Kamba dari JCW pun menyatakan upaya KPK untuk banding kasus saluran air dan rencana menelusuri kasus korupsi lain di DIY sebagai langkah tepat dan patut diapresiasi. “Itu keberaniaan jaksa KPK,” ujarnya.

469