Home Kesehatan Kota Pekanbaru Tetap Ramai dan Sibuk Meskipun PSBB

Kota Pekanbaru Tetap Ramai dan Sibuk Meskipun PSBB

Pekanbaru, Gatra.com - Bila tak ada gema takbir dan letusan kembang api sesekali di langit Pekanbaru, maka Sabtu malam (23/4) itu nyaris tidak berbeda dengan malam-malam minggu lainya di kota itu. Malam dimana kendaraan bermotor berlalu lalang dengan volume  meningkat, dan kerumunan terbentuk di sejumlah tempat. Itulah yang terjadi jelang Idul Fitri di kota Pekanbaru, kota dengan penduduk lebih 1 juta jiwa sekaligus kawasan pertama di Riau yang menerapkan pembatasan sosial bersekala besar (PSBB).

Suasana malam itu pun menggambarkan realita keesokan paginya, dimana sejumlah masjid menggelar shalat Ied berjamaah. Padahal,seruan agar menggelar sholat Id dirumah telah diutarakan sebelumnya. Himbauan itu bahkan diperkuat dengan rujukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kota Pekanbaru sendiri hingga Senin (25/5), masih menjadi episentrum virus COVID-19 di Provinsi Riau. Tercatat sebanyak 57 pasien dalam pengawasan COVID-19 meninggal di kota ini, dimana 37 diantaranya masih dirawat. Ini belum termasuk 4 pasien positif COVID-19 yang meninggal.

Dalam suatu kesempatan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Riau, Dr. Zul Asdi, kepada Gatra.com menegaskan sistem kesehatan daerah tidak akan sanggup menetralisir COVID-19 jika masyarakat tidak punya kesadaran menghindari COVID-19. Menurutnya penggunaan masker hanya satu dari upaya yang bisa disuguhkan, sikap menunda kepergian dan menjauhi kerumunan tak kalah penting.

"Masih banyak orang-orang beraktivitas  seperti biasa, masih ada kemacetan. Meski ada di beberapa wilayah sudah dituruti. Penyakit ini tidak bisa diatasi hanya dengan cara ditunggu di rumah sakit, bila itu dilakukan sistem kesehatan kita tidak akan sanggup,"ungkapnya.

Perkataan sang dokter ada benarnya, jika semakin banyak orang terpapar COVID-19, maka itu akan membutuhkan kesiapan fasilitas layanan rumah sakit. Ini bukan sebatas berapa banyak tempat tidur atau ruangan isolasi yang dapat digunakan. Tapi juga menyangkut jumlah tenaga medis yang dikerahkan dan ketersediaan alat pelindung diri (APD).

Dr Zul mengatakan, ketersediaan APD sangat diperlukan dalam penanganan penyakit menular. Tanpa peralatan tersebut keselamatan jiwa tenaga kesehatan menjadi terancam. Sebut Zul jumlah APD yang dibutuhkan sangat bergantung pada jumlah pasien yang dikarantina. Persoalanya beberapa item APD bersifat sekali pakai.

"Misalkan ada satu pasien dikarantina 14 hari. Berarti jumlah APD yang dibutuhkan tergantung jumlah petugas medis dan non medis yang masuk ke ruangan karantina. Jika ada lima orang yang menangani 1 pasien, berarti ada lima orang yang menggunakan APD, yang harus dicopot setelah meninggalkan ruangan ,tinggal dikalikan 14 hari. Semakin banyak pasien semakin kewalahan kita. Jadi yang optimal menangani COVID-19 ini ya dihulu (di masyarakat) bukan di hilir (di rumah sakit)."

Adapun kebutuhan APD selain diupayakan pemerintah daerah juga terbantu oleh uluran bantuan pihak ketiga. Sebagai informasi mendekati penghujung April 2020, Pemprov Riau sudah mendistribusikan lebih kurang 16 ribu APD ke Dinas Kesehatan seantero Riau, termasuk kepada 48 rumah sakit rujukan COVID-19 di Riau. Asal tau saja, 22 rumah sakit (rumkit) rujukan berada di kota Pekanbaru.

Banyaknya rumkit di kota Pekanbaru tak lepas dari status kota tersebut sebagai kawasan dengan penduduk terbanyak di Riau, lebih dari 1 juta jiwa. Kota Pekanbaru sendiri merupakan kawasan yang banyak menjadi tujuan perantau, sehingga ketika pemerintah melarang mudik , jumlah penduduk Kota Pekanbaru tak bekurang signifikan.Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan, pasalnya dengan penduduk tak bekurang, jelang lebaran PSBB justru semakin longgar. Itu artinya, virus asal Wuhan itu tersebut memiliki peluang menyebar pada momen-momen jelang lebaran.

PSBB yang kian kendor ini pun mendapat sorotan dari parlemen Riau. Hardianto, Wakil Ketua DPRD Riau, kepada Gatra.com menyebut, disadari atau tidak penerapan PSBB di ibukota Provinsi Riau tersebut makin melempem. Jelasnya, ada pola yang berbeda pada penerapan PSBB di tahap I hingga tahap III. Menurut Hardianto pada tahap I mobilitas masyarakat dijalanan bekurang drastis. Adapun PSBB tahap I di mulai 17 hingga 30 April, tahap kedua 1 hingga 14 Mei dan tahap ketiga 15 sampai 28 Mei.

"Aktivitas masyarakat bisa dikatakan bekurang pada tahap I, pusat perbelanjaan pun banyak yang mengurangi aktivitas bahkan tutup, cafe-cafe pun demikian. Tapi,pada tahap III pusat perbelanjaan sudah mulai buka meski tidak beroperasi secara penuh. Sementara rumah ibadah sejak tahap I hingga III itu sudah sepi karena larangan bekerumun,"imbuhnya.

Hardianto meyakini, perbedaan pola tersebut turut memicu keramaian jelang hari raya Idul Fitri di Kota Bertuah. Indikatornya, adalah mulai ramainya kendaraan di jalanan, dan terisinya tempat parkir di pusat perbelanjaan.

"Padahal dalam PSBB itu perniagaan yang boleh beroperasi adalah pasar atau tempat niaga yang menjual kebutuhan pokok,itu pun dengan menerapkan protokol kesehatan. Tapi mendekati lebaran mall dibuka sehingga menciptakan kerumunan. Disisi lain masyarakat mendesak agar masjid kembali dibuka lantaran mall beroperasi. Kenapa masjid ditutup dan mall dibuka, itu memancing pertanyaan ditengah masyarakat,"ujar politisi Partai Gerindra itu.

Pantauan Gatra.com, selain kunjungan ke sejumlah pusat perbelanjaan, kerumunan juga terlihat di ruko-ruko yang berisikan pakaian. Dan umumnya berlokasi diluar jalan protokol.

500