Home Politik Pijakan ‘New Normal’ Belum Jelas, PKS: Pemerintah Jujurlah!

Pijakan ‘New Normal’ Belum Jelas, PKS: Pemerintah Jujurlah!

Jakarta, Gatra.com – Pemerintah berencana untuk memberlakukan kebijakan New Normal untuk mengantisipasi buruknya kondisi ekonomi saat pandemi. Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas pada 20 Mei lalu untuk mengkaji kemungkinan diterapkannya New Normal di wilayah yang sudah membaik dari corona.

Tiga indikator yang merujuk dari standar WHO menjadi pertimbangan yakni tingkat penularan corona di suatu wilayah atau reproductive number (RO), kesiapan sistem kesehatan tiap daerah, serta terakhir soal kemampuan pemerintah untuk mengetes corona. Meski demikian banyak yang mengeritik langkah pemerintah memberlakukan New Normal karena terkesan gegabah dan jauh dari perhitungan.

Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta mengatakan pemerintah seharusnya bersikap jujur dan transfaran menyampaikan situasi yang ada. Ia mengungkapkan dengan adanya idiom New Normal dan “hidup berdampingan dengan corona” membuat pemerintah seakan permisif dan direspon masyarakat dengan melonggarkan aktivitas.

“Belum lama ini Pak Wapres sampaikan permintaan maaf karena virus corona bukan sesuatu yang mudah dihadapi. Dalam suasana Idulfitri tentu kita semua memaafkan. Tetapi tidak cukup hanya minta maaf, yang terpenting pemerintah harus jujur kepada rakyat. Saat ini protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru sudah diterbitkan kemenkes, pak presiden juga sudah minta agar ada sosialisasi secara masif terhadap protokol ini, kan sudah jelas arahnya ke depan pelonggaran PSBB,” ujarnya dalam keterangan kepada Gatra.com, Kamis (28/5).

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan sampai saat ini pemerintah belum membuka landasan pijak yang jelas terkait pemberlakuan kebijakan New Normal. Ia mengatakan skema New Normal pun belum terlihat akan diberlakukan di wilayah mana saja dan bagaimana sosialisasi pemerintah terhadapnya.

“Mestinya pemerintah jelaskan secara jujur, benarkah situasi penanganan Covid-19 saat ini sudah semakin terkendali atau wacana New Normal ini hanya sebagai kedok untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah tangani Covid-19,” katanya.

Sukamta mencatat ada lima (5) persoalan mendasar sejak awal penanganan Covid-19. Pertama, tidak pernah ada kejelasan grand design penanganan virus corona. Bahkan setelah masa tanggap darurat berjalan hampir 3 bulan tidak jelas tahapan apa saja yang akan dilakukan selain berwacana soal pelonggaran PSBB dan New Normal.

“Padahal kejelasan tahapan itu penting tidak hanya dalam upaya penanganan pandemi tetapi juga menjadi rujukan bagi dunia pendidikan, dunia usaha, pariwisata dalam memulai kembali aktivitasnya,” tambahnya.

Kedua, persoalan mendasar terlihat pada sistem koordinasi. Sejauh ini, terang Sukamta, tidak terlihat jelas garis komando antara presiden, kementerian dan gugus tugas dan pemerintah daerah.

“Presiden berstatemen pada Rabu lalu (27/5) menagih lagi jajarannya target uji spesimen 10 ribu per hari yang sudah dia pesan beberapa bulan yang lalu. Pesan ini tidak jelas ditujukan kepada siapa, apakah menteri kesehatan atau gugus tugas atau menagih dirinya sendiri sebagai komando tertinggi. Ini semakin menunjukkan selama ini tidak ada koordinasi yang baik di pemerintah pusat”.

Ia mengatakan protokol komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19 tidak berjalan, antara lini koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah. “Sementara komunikasi dengan daerah juga seperti dalam soal pengaturan transportasi yang simpang siur. Sudah begitu presiden mengatakan daerah harus mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 sebelum menerapkan New Normal. Ini kan artinya lempar tanggung jawab,” ungkapnya.

Ketiga, target uji spesimen untuk tes Covid-19 masih jauh dari optimal karena tercatat 2 kali yang bisa lebih dari 10 ribu uji spesimen. Sementara angka-angka yang diumumkan oleh Jubir Gugus Tugas tidak memberikan gambaran nyata penyebaran virus. Artinya, kurva Covid-19 yang tersaji saat ini tidak bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan pelonggaran karena masih terbatasnya pengujian yang dilakukan.

Keempat, terdapat kesenjangan sarana prasarana kesehatan di setiap daerah dan SDM tenaga kesehatan. Rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di 2018 hanya 1 dibanding 1000 penduduk. Sementara di Korea Selatan rasio 11 dibanding 1000 penduduk. Sementara presiden meminta puskesmas untuk lebih dilibatkan dalam penanganan Covid-19 namun baru 33 persen yang kondisinya memadai.

“Ini artinya sarpras kesehatan yang ada saat ini tidak memadai untuk menghadapi lonjakan jumlah pasien positif, belum lagi soal ketersediaan APD yang banyak dikeluhkan oleh rumah sakit hingga hari ini.”

Kelima, pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak pelanggaran terjadi. Hal itu dibaca dengan tingkat kedisiplinan masyarakat yang rendah. Apakah dengan kondisi masyarakat seperti ini akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat.

"Dan kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pihak pemerintah sebagaimana Pak Menko Polhukam kemarin (26/5) yang menyebutkan kematian akibat kecelakaan dan diare lebih banyak dibandingkan virus corona. Komentar-komentar seperti ini bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan,” pungkasnya.

261