Home Hukum Restorative Justice bagi Korban Peradilan Sesat

Restorative Justice bagi Korban Peradilan Sesat

Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) yang telah lama dinyatakan buron pascaditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait perkara di MA kurun waktu 2011-2016.

Penangkapan terhadap Nurhadi itu menyisakan masalah bagi pihak-pihak yang dikalahkan oleh peradilan sesat karena ada permainan oknum pejabat peradilan tersebut. Soal ini, mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, mengusulkan untuk memulihkan keadilan bagi korban dengan menerapkan restorative justice.

"Pemikiran saya adalah bagaimana memulihkan keadilan bagi pihak yang akibat penyimpangan pejabat peradilan menjadi sebuah kerugian bagi yang bersangkutan. Ini yang saya pikirkan," ujar Gayus Lumbuun dihubungi Gatra.com, Selasa (2/6).

Ia mengharapkan, restorative justice ini menjadi role model di bawah MA. Pasalnya, ketika suatu putusan itu inkracht, dan belakangan terbongkar ada kongkalikong atau penyelewengan pejabat peradilan, maka putusannya tetap berlaku.

"Bahwa kalau terbuti pejabat peradilan melakukan penyimpangan dan menimbulkan kerugian satu pihak, maka pihak tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan PK, peninjauan kembali, walaupun perkaranya sudah putus inkracht," ujarnya.

Menurutnya, gagasan ini mengaitkan dengan teori hukum restorative justice yang tentu semua ahli hukum mengetahuinya. "Me-restorative keadilan yang timbul karena pelanggaran, bagi saya, ini ingin sekali saya suarakan," ujarnya.

Menurutnya, ini bukan hanya berlaku untuk perkara saat ini saja, tetapi juga terhadap putusan peradilan yang telah terbongkar adanya permainan oknum pejabat peradilan yang merugikan salah satu pihak di masa lalau.

Sudah banyak pejabat peradilan, mulai dari hakim, panitera maupun panitera pembantu atau pihak pejabat peradilan lainnya yang ditangkap penegak hukum dan telah divonis bersalah karena memanikan perkara akibat menerima suap.

"Yang lalu bayak kan akhirnya dihukum, [oknum] hakim, panitera, dan pejabat peradilan dihukum, tetapi tetap saja merugikan pihak [yang dikalahkan]," katanya.

Gayus Lumbuun menyampaikan, penerapan restorative justice ini belum pernah dilakukan di dunia peradilan Tanah Air. "Belum ada, meskinya ini dimulai dengan PK, bukan gugatan baru atau yang baru, ini peninjauan kembali oleh MA terhadap kasus-kasus yang timbul karena penyimpangan dari pejabat peradilan, harus diulang pemeriksaan secara independen, scara adil dengan majelis baru. Ini konsep saya yang saya tawarkan ke depan sebagai role model," katanya.

Menurut Gayus Lumbuun, restorative justice ini bukan hanya dilakukan terhadap putusan perdata yang terjadi penyelewengan pejabat peradilan, tetapi juga untuk perkara pidana hingga soal sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam sidang perkara sengketa hasil Pilkada beberapa waktu lalu, banyak pihak yang dikalahkan karena adanya suap kepada salah satu hakim benteng terakhir konstitusi tersebut.

"Banyak calon kepala daerah, terus yang kalah ini gimana? Ke depan dengan cuapan saya ini, ketua MK pun akan berinisiatif kalau ada seperti ini. Ulang dengan sidang, di MK tidak ada apa. Tapi diupayakan untuk kembali disidangkan," katanya.

Untuk perkara pidana, lanjut Gayus, sama saja penerapannya. "Ya sama saja, kalau pidana dibebaskan misalnya, itu di PK. Ini berdampak pada eduksi supaya masyarakat enggak mudah untuk memengaruhi proses peradilan," katanya.

Menurutnya, ini masalah hak bagi pihak yang dihukum karena ada permainan oknum pejabat perdilan yang kemudian terbongkar dan terbukti. Meskipun pihak yang dihukum itu misalnya sudah meninggal dunia, maka ini harus dilakukan demi memulihkan harkat dan martabatnya.

"Kalau sudah tidak ada orangnya, kan ada ahli warisnya. Keadilan bagi orang, dalam hal ini ahli warisnya, kalau sudah lama 10-20 tahun orangnya sudah meninggal misalnya, kan ada ahli warisnya berhak bisa menikmati keadilan ini," ujarnya.

Menurut Gayus Lumbuun, walaupun orangnya sudah tidak ada atau meninggal dunia, ahli warisnya mempunyai hak untuk mendapat keadilan hukum. "Gara-gara permainan orang, orang dihukum, itu hak dari waris untuk dipulihkan, kan bisa orang karena pengaruh orang dihukum, padahal dia enggak salah," katanya.

Gayus mengungkapkan, usulannya ini merupakan perluasan dari restorative justice yang digaungkan almarhum Prof. Satjipto Rahardjo. Dia mengusulkannya dalam skala luas. Ia menceritakan, beberapa pekan sebelum meninggal, sempat menguji calon doktor di Undip bersama Prof. Satjipto.

"Dia menarik tangan saya, dia mengatakan, gagasan saya ini belum tuntas, mohon yang lebih muda-muda ini memikirkan bagaiaman ke depannya," kata Gayus, menyampaikan pesan almarhum.

Menurutnya, konsep retorative justice ini harus dilakukan agar pihak yang dikalahkan perdilan karena permainan oknum peradilan tidak terus kehilangan keadilan. Misalnya, perkara tanah karena ada permainan oknum peradilan, maka jatuh kepada pihak yang tidak sah. Pemiliknya akan terus mengalami kerugian karena setiap tahunnya harga tanah naik.

"Ini saatnya negara ini membangun sistem peradilan yang baik, memberikan kesempatan kepada yang kalah akibat peyimpangan dari pejabat peradilan," ujarnya.

Terlebih, lanjut Gayus Lumbuun, dari 570-an pasal KUHP saat ini, yang mengatur soal korban itu sekitar kurang dari 6 pasal. "Jadi artinya korban itu enggak pernah dipulihkan. Nah, ini kita mencoba menggunakan teori baru itu, yang dikembangkan Prof. Cip itu, bisa bermanfaat bagi publik, bagi pejabat-pejabat peradilan yang sekarang memimpin di pucak," katanya.

468