Home Ekonomi Klasterisasi Industri Terhadang Pandemi

Klasterisasi Industri Terhadang Pandemi

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Industri (KI) dibangun untuk menjadi tumpuan dalam menarik investasi. Target Rp 900 triliun lebih per tahun dipastikan tidak tercapai karena terhadang Pandemi Covid-19. Untuk kedua kalinya, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 persen di tahun 2020. Mampukah kebijakan klasterisasi industri melecut investasi.

 

 

Proyeksi 2020 Ekonomi Tumbuh 0 Persen

 

 

Jika kinerja ekonomi nasional pada semester II tidak optimal dan cenderung stagnan, maka diprediksi pertumbuhan ekonomi bakal terperosok hingga minus 3,5 persen. Dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (2/6) ekonom senior Bank Dunia, Ralph van Doorn mengatakan ekonomi Indonesia diproyeksi tumbuh 0 persen, lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya 2,1 persen.

 

 

Faktor-faktor seperti lemahnya harga komoditas dan minyak mentah dunia, serta pelambatan ekonomi global menjadi faktor yang memperparah performa ekonomi Indonesia. Ekonomi domestik Indonesia akan sangat tertolong apabila ekonomi global yang ditopang oleh ekonomi negara-negara maju cepat pulih. Perdagangan internasional akan ikut mengerek harga komoditas dan minyak mentah dunia.

 

 

Sedangkan hasil dari setiap langkah penghentikan pelambatan ekonomi, menurut van Doorn, akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam menangani krisis kesehatan akibat pandemi. Kembalinya kegiatan bisnis lepas dari kekang pembatasan sosial diyakini akan mempercepat pemulihan ekonomi.

 

 

Akan tetapi, sampai awal Juni ini, penyebaran virus Corona masih belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Klaster-klaster penularan baru di beberapa kota di Jawa Timur , NTT, NTB dan Jawa Tengah justru bermunculan. Kondisi ini menjadi ancaman konkrit pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional.

 

 

Selama laju penyebaran dan penularan belum turun, melandai dan mendekati nol, maka upaya pemulihan ekonomi akan tertatih-tatih. Fase pemulihan ekonomi yang ditandai dengan rapor biru investasi akan muncul, apabila krisis kesehatan sudah teratasi. Saat ini, investasi menjadi salah satu parameter penentu bagi pertumbuhan ekonomi.

 

 

Investasi di Klasterisasi Kawasan Tersendat Pandemi

 

 

Peran investasi pada perekonomian Indonesia yang berkualitas sangat signifikan. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang erat kaitannya dengan investasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 kontribusinya di atas 32% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, yang menempati urutan pertama adalah Konsumsi Rumah Tangga (KRT) dengan kontribusi pada PDB lebih dari 56%.

 

 

Selain itu, investasi fisik di sektor industri dan pariwisata akan mampu mendorong pada peningkatan produksi barang dan jasa, serta menaikkan pendapatan masyarakat. Namun sayang di tahun 2019 lalu, kontribusi PMTB pada pertumbuhan ekonomi makin minim atau menyusut, dan hanya sebesar 1,47%. Padahal, di tahun 2018 angkanya masih di kisaran 2,16%.

 

 

“Pertumbuhan PMTB kurang menggembirakan, menunjukkan perlambatan,” jelas Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu, (5/2/) lalu. PMTB 2019 tercatat cukup rendah lantaran capaian di triwulan IV 2019 hanya 4,06%. Secara berturut-turut PMTB 2019 terus menurun secara triwulanan, yakni tercatat 5,03% (triwulan I), 4,55% (triwulan II) dan 4,21% (triwulan III).

 

 

Meskipun menyusut, tetapi karena konstribusi investasi lumayan besar bagi kualitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, maka pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengenjot investasi. Salah satu yang dijadikan senjata andalan pemerintah dalam mengejar target investasi di sektor manufaktur dengan cara klasterisasi melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Industri (KI).

 

 

Akan tetapi, pandemi Covid-19 membuyarkan target-target pemerintah. Realisasi investasi tahun 2020 ini ditargetkan mencapai Rp875,1 triliun hingga Rp890,3 triliun. Dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, angka tersebut ditargetkan terus naik, yakni menjadi Rp1.353,3 triliun hingga Rp1.500 triliun pada penghujung tahun 2024.

 

 

Dengan demikian total kebutuhan investasi sepanjang 2020-2024 kurang lebih mencapai Rp5.300 triliun. Target tersebut menjadi tantangan besar, karena realisasi investasi per tahun masih di kisaran Rp800 triliun sampai Rp900 triliun. Untuk itu pemerintah berusaha mengoptimalkan KEK dan KI dalam rangka mendorong pertumbuhan industri manufaktur nasional.

 

 

Bagaimana Nasib Pengembangan KEK dan KI

 

 

Sesuai RPJMN 2020-2024, pemerintah bakal mengembangkan 27 KI yang sebagian besar ada di luar pulau Jawa. Target terbesar Kawasan Industri baru tersebut ada di Sumatera sebanyak 14, Kalimantan 6, Sulawesi & Maluku 3, lalu Jawa, Madura, Papua dan Nusa Tenggara Barat masing-masing 1.

 

 

Arah pengembangan industri manufaktur secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni Jawa dan luar Jawa. Untuk Jawa fokus pada KI berbasis teknologi tinggi, berbasis industri padat karya dan berbasis industri hemat air.

 

Sedangkan untuk luar Jawa berbasis industri pengolahan sumberdaya alam (hilirisasi), mendongkrak efisiensi sistem logistik, dan untuk mendorong pengembangan pusat ekonomi baru.

 

 

Mengacu pada RPJM 2020-2024, akan ada target penambahan 27 KI dan 9 di antaranya akan ditetapkan sebagai KEK yang fokus utama pada sektor agro, pertambangan, migas dan kelautan. Niat menggebu tersebut patut didukung. Namun ambisi menambah KI dan KEK harus juga mempertimbangan keberadaan dan evaluasi terhadap KEK yang sudah ditetapkan.

 

 

Pebisnis Kunci Pengembangan Kawasan Industri

 

 

Wakil Ketua KADIN Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi dan juga Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia (HKI) Sanny Iskandar mengungkapkan bahwa KEK industri yang benar-benar sudah berjalan baru segelintir.

 

 

‘’Untuk sektor industri yang sudah berkembang KEK Galang Batang, KEK Palu dan KEK Sei Mankei,’’ katanya.

 

 

Tiga KEK berbasis industri itu, imbuh Sanny, sudah beroperasi dan ada tenant di dalamnya. Data dari Kementerian Perindustrian menyebutkan jumlah tenant industri di KEK Galang Batang sudah mendekati 5, lalu untuk Sei Mangkei dan Palu sudah di atas 5. Sedangkan untuk KEK Arun Lhokseumawe, Tanjung Api-api, MBTK, Bitung dan Sorong belum ada.

 

 

Menurut Sanny sejak ditetapkan suatu KEK berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) ada dua sektor KEK, yaitu industri pengolahan sebanyak 9 KEK dan pariwisata sebanyak 6 KEK. Total dari 15 KEK tersebut baru 12 KEK yang sudah mulai berjalan. Namun tidak semuanya berkembang pesat.

 

 

‘’Pada KEK Pariwisata yang sudah berkembang baru KEK Tanjung Lesung dan Mandalika, yang lainnya masih dalam tahap persiapan,’’ ujar Sanny.

 

 

KADIN mulai aktif dalam Pengembangan Kawasan Ekonomi (PKE) sejak penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Menko Perekonomian atas nama Ketua Dewan Nasional KEK dengan KADIN pada 10 Oktober 2019.

 

 

MoU itu ditindaklanjuti dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Sekretariat Dewan Nasional KEK dengan KADIN Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi pada 18 Desember 2019.

 

 

‘’Ruang lingkup kerjasama adalah meningkatkan investasi di KEK,’’ kata Sanny.

 

 

Untuk meningkatkan investasi di KEK Sanny membeberkan sejumlah peran yang dilakukan KADIN antara lain membantu menyusun regulasi terkait dengan KEK, mengevaluasi rencana usulan maupun pelaksanaan KEK, menyusun program peningkatan kapasitas para pengelola KEK, baik kapasitas manajemen, pengelolaan kawasan maupun marketing, dan terakhir mendorong dunia usaha untuk mengembangkan KEK di daerah-daerah.

 

 

‘’Pengalaman pelaku usaha dalam pengembangan Kawasan Industri berharga juga untuk KEK,’’ ujarnya

 

 

G.A. Guritno dan Qonita Azzahra

 

304