Home Hukum Dua ABK WNI di Kapal Cina yang Meloncat ke Laut Tak Digaji

Dua ABK WNI di Kapal Cina yang Meloncat ke Laut Tak Digaji

Jakarta, Gatra.com - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan, mengatakan, dua orang anak buah kapal (ABK) ikan berbendera Cina, Lu Qian Yuan Yu 901 yang melompat ke laut karena diduga tidak tahan mengalami siksaan, gajinya tidak dibayarkan alias tidak digaji.

Abdi, Senin (8/6), menyampaikan, kedua ABK Lu Qian Yuan Yu 901 tersebut yakani Andri Juniansyah dan Reynalfi. Kedua warga negara Indonesia (WNI) ini, tidak pernah menerima gajih setelah 5 bulan bekerja di kapal tersebut.

Keduanya tidak pernah menerima gaji, lanjut Abdi, sesuai hasil screening yang dilakukan oleh Fisher Centre Bitung terhadap aduan yang disampaikan keluarga korban bahwa sejak bekerja 5 bulan lalu, mereka tidak pernah menerima upah.

"Sejak berangkat tanggal 24 Januari 2020, mereka tidak pernah menerima upah dari perusahaan perekrut dan bahkan megalami tindak kekerasan fisik dan intimidasi di atas kapal," ungkap Abdi.

Dalam dokumen yang diperoleh oleh Fisher Centre Bitung, Andry seharusnya mendapatkan gaji sebesar US$430 per bulan. Andri dan Reynalfi melompat dari kapal Lu Qian Yuan Yu 901 pada Jumat (5/6) saat kapal melintasi Selat Malaka.

Mereka melompat karena tidak tahan dengan perlakuan dan kondisi kerja di atas kapal yang sering mendapatkan intimidasi serta kekerasan fisik dari kapten dan sesama ABK asal Cina. Setelah mengapung selama 7 jam, mereka akhirnya ditemukan dan mendapat pertolongan nelayan Tanjung Baai, Karimun.

Dugaan kerja paksa mengemuka setelah ditemukan adanya praktik tipu daya, gaji yang tidak dibayar, kondisi kerja yang tidak layak, ancaman dan intimidasi yang dirasakan Andri Juniansyah dan Reynalfi.

Abdi menyampaikan, kejadian ini merupakan insiden ke-6 dalam kurun waktu 8 bulan ini. "Dalam periode November-Juni 2020, kami mencatat 30 orang awak kapal Indonesia yang menjadi korban kekerasan dalam bekerja di kapal Cina dengan rincian 7 orang meninggal, 3 orang hilang, dan 20 orang selamat," katanya.

DFW-Indonesia meminta pemerintah Indonesia untuk secepatnya melakukan moratorium pengiriman ABK ke luar negeri, terutama yang bekerja di kapal ikan Cina, baik legal maupun ilegal.

Sementara itu, Field Manager SAFE Seas Project DFW-Indonesia yang juga staf pengelola Fisher Centre Bitung, Laode Hardiani, mengatakan, korban Andri sebelumnya direkrut oleh PT Duta Putra Group lewat agen atau sponsor penyalur bernama SYF.

Menurutnya, Andry dijanjikan akan dipekerjakan pada salah satu perusahaan di Korea dengan gaji Rp25 juta per bulan. Sebelum bekerja Andry dan Reynalfi harus membayar sejumlah atau "ngecash" ke seseorang bernama SFY. "Mereka membayar masing-masing sebesar Rp40 juta dan Rp45 juta," kata Hardiani.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Pergerakan Pelaut Indonesia, Sulawesi Utara (Sulut), Anwar Dalewa, mengatakan bahwa Andry dan Reynalfi merupakan korban sindikasi perdagangan orang yang melibatkan manning agent ilegal di dalam negeri dan jejaring internasional.

"Mereka telah ditipu sejak awal perekrutan, diangkut dan dipindahkan dari kapal Lu Qiang Yu 213 ke kapal Lu Qian Yuan Yu 901 yang melakukan operasi penangkapan ikan di Samudera Hindia," ujar Anwar.

Atas kejadian dan kasus yang menimpa Andry dan Reynalfi, DFW-Indonesia meminta aparat penegak hukum Indonesia untuk melakukan upaya dan tindakan penegakan hukum kepada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang dan pelanggaran ketenagakerjaan lainnya.

"Tindakan hukum yang tegas perlu dilakukan kepada mereka yang terlibat dalam praktik yang tidak berperikemanusiaan ini," kata Abdi.

Pihaknya menyarankan Polri segera melakukan penyelidikan terkait dugaan perdagangan orang sesuai UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Abdi juga mengingatkan bahwa di atas kapal Lu Qian Yuan Yu 901, saat ini sedang berada di perairan Singapura masih ada 10 orang ABK Indonesia yang terindikasi juga menjadi korban kerja paksa dan perdagangan orang.

Pada Pasal 59 UU 21 Tahun 2007 memberikan kewenangan dan kewajiban kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan kerja sama internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral guna melakukan pendegaran dan pemberantasan tidak pidana pedagangan orang (TPPO).

"Jika kapasitas penegak hukum Indonesia masih lemah, maka instrumen dan perangkat UU ini perlu digunakan secara optimal untuk menyelamatkan warga negara Indonesia yang kini sedang terancam diatas kapal Lu Qian Yuan Yu 901," kataya.

363