Home Ekonomi Mencari Pengganti Bahan Baku Cina

Mencari Pengganti Bahan Baku Cina

Pandemi Covid-19 terus memukul dunia usaha. Kalangan industri mengeluh sulit menemukan bahan baku industri yang selama ini didatangkan dari Cina. Menurut catatan BPS, kinerja impor bahan baku selama Januari-Maret 2020 terus mengalami kelesuan. Langkah apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan sektor manufaktur dan menggeliatkan investasi?

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$743 juta pada Maret 2020. Surplus tersebut turun dibandingkan bulan lalu yang mencapai US$2,34 miliar. Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengatakan penyebab surplus terjadi karena kinerja impor menurun tajam dan ekspor mengalami kenaikan. Menurut catatan BPS, ekspor Maret 2020 sebesar US$14,09 miliar sementara impor Maret 2020 sebesar US$13,35 miliar.

“Jadi selama Maret 2020 ini masih surplus. Tentunya ini berita yang menggembirakan,” ucap Suhariyanto dalam konferensi video pada 15 April 2020. Dirinya mengatakan posisi surplus neraca perdagangan pada Januari-Maret 2020 lebih bagus dari posisi periode yang sama tahun sebelumnya. Pada rentang Januari-Maret 2019, neraca perdagangan malah tekor sebesar US$62,8 juta.

Meski demikian ia mewanti agar pemerintah mewaspadai komposisi impor, dimana sepanjang kuartal I/2020 terjadi kenaikan impor konsumsi dan penurunan impor bahan baku dan barang modal.

“Harus mewaspadai komposisi impor, dimana selama Januari-Maret 2020 impor bahan baku turun 2,82% dan barang modal menurun 13,07%. Sedangkan barang konsumsi meningkat 7,11%. Ini kemungkinan akan berpengaruh pada sektor industri,” ungkap Suhariyanto.

Suhariyanto menyebutkan dalam kinerja impor, Cina menjadi negara yang mendominasi impor non migas ke Indonesia. Dengan rincian impor non migas Cina senilai US$8,91 miliar (26,34%), Jepang dengan US$3,60 miliar (10,63%), dan Thailand dengan nilai US$2,26 miliar (6,67%).

Nilai impor yang besar dari Cina disebabkan kondisi ekonominya yang telah berangsur pulih dari pandemi dan membuka potensi pengiriman barang impor lebih besar ke Indonesia. “Kemungkinan recovery Cina memang lumayan, tapi sekarang mereka sedang mewaspadai gelombang corona yang kedua,” ujarnya.

Dari data yang dirilis BPS, golongan mesin dan peralatan mekanis mengalami penurunan impor terbesar yakni sebesar US$97,5 juta atau 5,09%. Golongan barang dengan penurunan terbesar berikutnya adalah besi dan baja sebesar US$65,4 juta (22,57%), pupuk sebesar US$23,5 juta (23,62%), bijih, terak dan abu logam US$18,6 juta (29,11%), dan golongan kendaraan udara dan bagiannya sebesar US$14,1 juta (38,52%).

**

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan situasi wabah corona atau Covid-19 membawa dampak besar bagi dunia industri. Meski sektor manufaktur mengalami tekanan, kinerja ekspor Indonesia mampu bertahan pada triwulan I tahun 2020. Kontribusi ekspor dari sektor manufaktur pada Januari-Maret 2020 mencapai 78,96% dari total ekspor nasional.

“Kalau dibandingkan periode Januari-Maret 2019 dengan Januari-Maret 2020, kita bisa lihat ada kenaikan dari ekspor kita,” ujar Agus. Namun persoalan industri tidak berhenti pada laju ekspor, tetapi juga aktivitas impor. Industri menurutnya masih membutuhkan pasokan bahan baku dari negara luar seperti Cina.

“Kita lihat selama ini yang mendapatkan suplai bahan baku dari Cina bukan hanya industri yang berasal dari Indonesia karena Cina sebelum Covid-19 ini sudah menjadi partner dagang industri banyak negara,” kata Agus dalam konferensi pers via daring yang diikuti GATRA review pada 21 April 2020.

Adanya wabah Covid-19 yang awalnya memukul ekonomi dan sektor kesehatan di Cina, telah berimbas pada pengiriman bahan baku ke banyak negara. Indonesia, menurut Menperin harus mencari alternatif pengiriman bahan baku dari negara lain. Dalam masa pandemi, semua negara di dunia bersaing memeroleh bahan baku dengan kualitas dan harga yang setara dengan fabrikan Tiongkok.

“Kalau kita bicara satu sektor misalnya billet baja, selama ini bahan baku industri baja didapat dari Cina. Sekarang industri harus mencari alternatif lain misalnya dari Azerbaijan, Turki, dan India,” katanya. Namun untuk memeroleh bahan baku juga tidak gampang karena industri harus bersaing dengan negara lain. Dari sana, hukum supply dan demand berlaku, sehingga harga bahan baku industri juga turut terkerek.

Sektor industri, terang Agus dapat memeroleh bahan baku pengganti namun dari sisi harga kalah dari Tiongkok. “Ini produk-produk dari Cina somehow kompetitif dalam kaitannya dengan harga. Jadi ketika level playing field-nya sama, bahan baku yang didapat dari negara lain, tidak akan bersaing secara harga dengan bahan baku Cina,” katanya.

Meski demikian pemerintah menurutnya selalu berupaya mencari langkah yang dapat menekan ketergantungan sektor industri pada Cina. “Perusahaan mendatangkan bahan baku itu sebetulnya corporate action, pemerintah tugasnya memberikan satu iklim untuk menetralisir kelangkaan dari bahan baku industri. Maka harus diambil kebijakan melalui regulasi-regulasi yang mempermudah, mempercepat, agar bahan baku yang dibeli tetap kompetitif,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pihaknya turut berperan mencari relasi untuk negara yang bisa memberikan pasokan bahan baku kepada industri dalam negeri.“Jadi ini memang sebelum adanya pandemi ini kita sangat-sangat bergantung dengan Cina, dan sekarang kita tahu, kita tidak bisa bergantung dengan Cina,” ujarnya saat dihubungi wartawan GATRA review Drean Muhyil Ihsan.

Dirinya menilai belum ada satupun negara yang mampu menyediakan bahan baku dengan kuantitas dan harga sebaik Cina. Hal ini yang menjadi keunggulan Cina yang sulit ditandingi, bahkan oleh negara sekelas Amerika Serikat. Shinta menyebutkan dengan adanya pandemi yang dinyatakan sebagai bencana nasional non-alam menjadi pembelajaran agar seharusnya Indonesia memiliki industri hulu sendiri.

Ia tidak memungkiri membangun industri hulu untuk bahan baku memakan waktu dan investasi yang tidak sedikit. Oleh karenanya, KADIN akan mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang mampu menarik iklim investasi serta punya prioritas terhadap industri hulu di tanah air. “Sekarang ini baru kelihatan, coba kita punya industri bahan baku, enggak akan masalah untuk kita. Sekarang kelihatan bahwa kita ini tidak memadai,” tandas Shinta.

Upaya Maksimasi Impor Bahan Baku

Salah satu upaya yang dilakukan kemenperin adalah memangkas struktur biaya impor bahan baku industri dalam kesepakatan Letter of Credit (LC). Hal itu menurut Agus sudah dikoordinasikan dengan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian BUMN. “Kalau LC sebagai bagian dari struktur cost itu ditekan, dia akan membuat rendah harga bahan baku yang harus dibayar industri dari negara yang mereka beli selain Cina,” ucap mantan Menteri Sosial itu.

Hal kedua yang dilakukan pemerintah yakni menurunkan bea masuk impor untuk bahan baku industri. Bila kondisi pandemi bertambah sulit dan berakibat kelangkaan bahan baku, bukan tidak mungkin pemerintah meniadakan bea masuk impor untuk bahan baku industri. “Semua industri akan diturunkan bea masuk dalam kondisi tidak normal ini. Memang kita tidak bisa melakukan prioritas, tidak bisa melakukan fokus beberapa jenis industri saja. Kita harus perhatikan industri-industri lain di luar,” katanya.

Politikus Golkar itu mengatakan bahwa dirinya bersama pejabat kemenperin selalu memonitor situasi serta menerima masukan dari kalangan industri. Banyak analis dan pengamat memperkirakan pandemi Covid-19 akan memukul telak sektor industri sehingga diperkirakan akan banyak pabrik yang berhenti beroperasi dan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja karyawan.

Menteri Agus mengatakan sejauh ini kondisi industri manufaktur masih cukup kondusif meski terjadi kelesuan atau penurunan dari sektor pendapatan. Pukulan ekonomi justru dirasakan oleh industri kecil yang tidak memiliki cukup kas untuk bertahan selama masa pandemi berlangsung.

“Mengenai perusahaan-perusahaan yang gulung tikar ini sedang kita data. Tapi yang pasti bisa kami laporkan yaitu Industri Kecil dan Menengah (IKM) menjadi sektor yang paling suffer, prediksi kita IKM menjadi sektor yang mungkin terbanyak tutup termasuk PHK dari karyawannya,” ujarnya.

Pemerintah menurutnya akan memberikan stimulus kebijakan yang akan mendorong pertumbuhan industri, mengingat sektor manufaktur berperan sekitar 19 persen terhadap ekonomi negara. “Ini kontribusi terbesar dibandingkan dengan industri-industri lain. Selain itu juga industri manufaktur penyerapan tenaga kerjanya juga cukup substansial sekitar 14%, angka ini sangat besar,” tandasnya.

Geliat Investasi di Tengah Pandemi

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadia mengatakan semua pihak harus menanamkan optimisme yang kuat bahwa masa pandemi Covid-19 dapat diakhiri dengan upaya yang sungguh-sungguh. Salah satu tugas pemerintah menurutnya membangun kepercayaan yang tinggi terhadap investor dan pelaku usaha.

Dirinya menerangkan dari catatan yang dipunyai BKPM, realisasi investasi pada triwulan pertama 2020 mencapai Rp210,7 triliun. Dari Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) disebutkan terdapat 25.192 proyek investasi yang masuk baik berupa Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

“Pada posisi 2019 triwulan pertama year on year pertumbuhannya kurang lebih sekitar 8% dengan nilai kurang lebih sekitar Rp195,3 triliun. Kemudian realisasi pada triwulan IV-2019 itu menjadi Rp208,6 triliun. Nah sekarang pertumbuhannya menjadi 1,2%. Saya pikir itu dari sisi realisasi investasi secara global baik itu PMA maupun PMDN,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta pada 20 April 2020.

Sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi menjadi sektor penyumbang investasi terbesar mencapai angka Rp49,3 triliun. Industri logam dasar dengan nilai investasi Rp24,5 triliun, listrik dan gas juga naik menjadi Rp18,3 triliun, perumahan kawasan industri perkantoran sebesar Rp17,8 triliun, dan tanaman pangan/perkebunan dan peternakan Rp17,2 triliun.

“Di masa kepemimpinan Pak Jokowi-Ma’ruf Amin salah satu programnya adalah transformasi ekonomi yang berbasis pada bagaimana meningkatkan nilai tambah. Ini kita bisa lihat bahwa proses menuju ke sana hilirisasi sudah mulai bagus angka investasinya,” terang Bahlil. Ia membeberkan tiga syarat utama yang harus dipenuhi untuk menarik investor yakni infrastruktur yang bagus, tenaga kerja yang tersedia dan murah, serta ketersediaan bahan baku.

Pandemi Covid-19 telah membawa kekhawatiran pada memburuknya iklim investasi dan terpuruknya sektor industri. Bahlil mengatakan sejauh ini pemerintah selalu membangun komunikasi dengan pihak investor dan mereka memiliki pemahaman yang sama terhadap kondisi Indonesia yang juga terdampak Covid-19.

“Kita berkomunikasi terus lewat video call, terus kita telepon satu-satu [investor]. Kami belum menemukan satu investor yang mengatakan membatalkan investasinya di Indonesia. Yang ada itu hanyalah diulur waktu sedikit atau menjadwal ulang,” katanya.

Ia mengaku tidak mudah untuk menjaga Foreign Direct Investment (FDI) dan iklim investasi yang kondusif bagi pelaku usaha di dalam negeri pasca meluasnya wabah corona. Dalam situasi saat ini diperlukan kepekaan sekaligus intuisi pelaku usaha guna bertahan dari gempuran.

“Saya harus mengatakan ini pekerjaan berat. Tetapi yang namanya pengusaha itu selalu berpikir pakai otak kiri; di setiap masalah di situ ada peluang. Katakanlah dulu kita tidak fokus untuk membuat APD dan masker sekarang kita bisa berpeluang menjadi negara produsen (APD) terbesar karena bisa kita melakukan ekspor di beberapa pabrik,” ujarnya.

Andhika Dinata, Ryan Puspa Bangsa, Wahyu Wachid Anshory

(Laporan ini dimuat di Majalah GATRA review Edisi I No. 10, Mei 2020)

361