Home Ekonomi Kalau Mau PSR Selamat, Lakukan Ini

Kalau Mau PSR Selamat, Lakukan Ini

Pekanbaru, Gatra.com - Masih jelas terbayang dalam benak lelaki ini tentang program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao pada empat tahun silam. Kebetulan DR Purwadi didapuk jadi ketua tim evaluasi se Indonesia.

"Tahun pertama pekebun dibantu, dikasi bibit hingga pupuk. Bantuan ini diberikan jelang disambungkan dengan bank. Tapi ternyata dengan bank enggak nyambung-nyambung, alhasil, muncul masalah. Perawatan tidak dilakukan dengan cukup. Bibit unggul Kakao kemudian dipersalahkan," cerita mantan Rektor Instiper Yogyakarta ini kepada Gatra.com, Kamis (18/6).

Kisah Gernas Kakao ini spontan melintas di benak Purwadi setelah dia disodori cerita tentang program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). "Kalau enggak segera dibenahi, kejadiannya akan sama seperti Gernas Kakao itu," katanya.

Baca juga: Mengurai Pemicu Gagal Program PSR 

Purwadi menyebut seperti itu lantaran sinyal-sinyal kacaunya PSR sudah kelihatan. "Ada tiga tipologi pekebun sawit kita. Pertama, pekebun plasma dengan manajemen standar. Lalu ada pekebun Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Yang terakhir adalah pekebun swadaya. Mereka ini adalah pekebun yang atas inisiatif sendiri ikut mengais rezeki dari sawit. Kapasitas dan permodalannya sangat terbatas. Jadi, tak aneh kalau bibit yang ditanam kurang bagus lantaran modal yang terbatas tadi," urai Purwadi.

Belakangan, untuk meremajakan kebunnya, para pekebun tadi dikasi bantuan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Besarannya Rp25 juta perhektar. Sejak 1 Juni 2020 lalu, bantuan itu naik menjadi Rp30 juta.

Hanya saja duit itu cuma cukup untuk P-0 (persiapan lahan dan menanam tanaman baru). Selanjutnya --- P-1 hingga P-3 --- pekebun musti meminjam duit dari bank pemberi Kredit Usaha Rakyat (KUR) lantaran modal untuk mengelola satu hektar kebun kelapa sawit hingga menghasilkan, mencapai Rp55 juta.

"Saya khawatir petani enggak punya uang untuk melanjutkan program PSR lantaran dana pinjaman tidak ada. Kalau ini terjadi, bibit unggul yang ditanam akan menjadi sia-sia. Pakai apa petani merawat tanaman itu, sementara bibit unggul selalu respon dengan sarana produksi. Artinya, bibit unggul tadi butuh perlakuan yang benar," katanya.

Sebenarnya kata Purwadi, PSR adalah pintu masuk bagi pekebun untuk memperbaiki database berikutnya. Sebab PSR targetnya adalah Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), "Gimana mau ISPO kalau P-1 hingga P-3 enggak bener," Purwadi bertanya.

Bagi Purwadi, ISPO bukan dokumennya, tapi aktifitasnya. Sebab lantaran ada aktifitaslah makanya data ada. Untuk memacu aktivitas inilah sebenarnya peran pemerintah daerah dibutuhkan, pekebun PSR dikawal.

Kelembagaan pekebun yang sudah ada, dibangun dengan database yang baik, "Data kan sudah ada walau masih sederhana. Kelembagaan akan bisa teratur baik kalau dibangun dengan data base yang baik," ujar Purwadi.

Balik ke persoalan pinjaman bank tadi kata Purwadi, sebenarnya naiknya jumlah duit bantuan PSR tadi bisa menjadi momentum baru bagi pekebun. "Duit yang Rp25 juta, cukuplah untuk biaya P0. Nah, tambahan yang Rp5 juta tadi, bisa dialokasikan untuk biaya sertifikasi lahan dan menambah upah pendamping. Kalau lahan sudah bersertifikat, otomatis, bank akan lebih percaya untuk meminjamkan duit. Dengan sertifikat itu, nilai aset pekebun pun bertambah," katanya.

Proses sertifikasi itu kata Purwadi bisa dilakukan saat P-0 dimulai. Pemerintah daerah langsung berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. "Lagi-lagi saya bilang, data pekebunnya kan sudah ada, tinggal menyodorkan ke BPN," ujarnya.

Soal pendamping, saat ini ada 800-1.200 orang lulusan diploma-1 Sawit yang berkompeten. Sebentar lagi akan ada pula yang lulus 300 orang. PSR bisa memakai mereka dengan bayaran yang kompetitif.

Untuk bisa menjalankan pola semacam itu kata Purwadi, "Pemerintah daerah musti mengesampingkan cara-cara lama. Bahwa PSR bukan proyek APBN, itu sudah jelas. Lantaran bukan proyek APBN, pejabat daerah musti bisa memposisikan diri sebagai fasilitator. Mestinya daerah bangga masyarakatnya dapat bantuan dari pemerintah pusat. Sebab dengan bantuan itu, pemerintah daerah terbantu. Coba kalau duit PSR itu dibebankan ke daerah, kan berat juga. Lantaran sudah terbantu, di sinilah pemerintah daerah langsung mengambil peran, memfasilitasi, mendampingi dan membimbing, jangan semua dibebankan ke pusat," tegasnya.

Kalau tidak ada yang membimbing kata Purwadi, program PSR enggak akan lebih baik dari tanaman sebelumnya. Sebab tidak akan ada perlakuan yang direcord. "Padahal semua perlakukan musti direcord untuk modal ISPO. Idealnya, tahun keempat, pekebun sudah bisa mengurus sertifikat ISPO nya melalui kelembagaan mereka yang sudah ada," katanya.


Abdul Aziz

 

780