Home Kesehatan Akankah Fitofarmaka jadi Solusi

Akankah Fitofarmaka jadi Solusi

Jakarta, Gatra.com- Kasus Covid-19 semakin meningkat. Pada Jumat (19/6), sudah ada 43.803 orang dinyatakan positif. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 17.349 sembuh dan 2373 meninggal. Angka ini menjadikan Indonesia berada di urutan pertama se-Asia Tenggara.

Mengingat tingginya kasus, para ahli berupaya mencari solusi agar kurva landai. Melalui beberapa alternatif pengobatan, diharapkan kasus kematian menjadi menurun. Sampai saat ini, para peneliti pun masih mencari obat yang efektif menyembuhkan Covid-19.

“Aspek etika obat herbal, saat pandemi, ini menjadi pertimbangan untuk mengembangkan obat herbal atau fitofarmaka. Nomeklatur tersebut, aspek penelitian dengan herbal. Penyebaran penyakit baru ini meluas. Masyarakat membutuhkan penanganan sampai pengobatan yang cepat,” ucap Anggota Komite Etik Penelitian Kesehatan FK Universitas Padjajaran, Nur Atik, dalam Webinar Seri-3: Research Ethic in Covid-19 Pandemic, Jumat (19/6).

Menurutnya, jamu secara tradisional memang resepnya sudah turun temurun. Klaim ini berdasarkan data empiris karena untuk mendaftarkan produk jamu membutuhkan persyaratan. Sedangkan untuk menjadi obat herbal membutuhkan uji preklinik.

Uji preklinik pada obat herbal terstandar memerlukan standar kandungan bahan aktif, standar pembuatan efek dan dosis, farmakodinamik, dan uji toksisitas. Apabila telah melalui uji klinis, maka dapat dikatakan fitofarmaka.

“Pembuatan [obat herbal] harus terstandar. Harus memiliki data efek dan dosis dan diketahui farmakodinamika. Harus memiliki data safety saat uji coba pada hewan. Uji toksisitas sampai tujuh hari. Ingin dipakai dalam waktu lebih lama 2 mingguan, harus memiliki data uji toksisitas,” katanya.

Pengembangan obat herbal ada enam tahapan. Pertama, studi in vitro yaitu proses sintesis dan screening molekul. Kedua, uji preklinik yaitu studi pada hewan percobaan. Ketiga, fase pertama, studi pada manusia yang sehat. Keempat, fase kedua, studi pada manusia yang sakit. Kelima, fase ketiga, studi pada manusia sakit dengan populasi diperbesar. Keenam, fase keempat, studi lanjutan.

“Kalau seandainya data belum lengkap, dilakukan uji klinis. Harus mengetahui kandidat herbal, efeknya apa dan dosisnya bagaimana. Mekanismenya bagaimana. Efek sampingnya bagaimana. Safety-nya bagaimana. Scientific judgement, produk dijadikan satu dengan produk lain. Tidak bisa melihat hanya dari efektifitas bahan, harus melihat sediaan tersebut, reaksi zat,” ujarnya.

326