Home Ekonomi Upaya Memutus Jerat Pandemi terhadap Pekerja

Upaya Memutus Jerat Pandemi terhadap Pekerja

Pandemi Covid-19 telah “menggulung” sektor usaha dan bisnis. Dampaknya, terjadi PHK massal akibat ketidakmampuan pengusaha menanggung beban operasional. Kemnaker mencatat 380.221 pekerja formal di-PHK akibat dampak Covid-19 pada 27 Mei 2020. Bagaimana sinkronisasi pemulihan ekonomi oleh pemerintah dan respons dunia usaha?

Jakarta, Gatrareview.com- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk paling gesit menyongsong kebijakan normal baru. Kesiapan itu ditunjukkan dengan pemberlakuan protokol normal baru untuk perusahaan BUMN pada 25 Mei lalu. Menteri BUMN, Erick Thohir mengungkapkan BUMN harus mampu mengantisipasi new normal, mengingat sepertiga ekonomi nasional ditopang oleh perusahaan pelat merah. “Dan kita juga harus terdepan, dalam arti melayani,” ucap Erick dalam diskusi virtual di Jakarta akhir Mei lalu.

Erick bahkan meneken Surat Menteri BUMN Nomor S-336/MBU/05/2020 tentang skenario pemulihan kegiatan BUMN di masa wabah fase pertama yang pelaksanaannya dimulai pada 25 Mei 2020. Atas dasar itu, BUMN merilis protokol perlindungan karyawan, pelanggan, mitra bisnis, dan pemangku kepentingan lainnya. Selanjutnya, karyawan berusia di bawah 45 tahun mulai berkantor dan yang berusia di atas 45 tahun bekerja dari rumah sesuai dengan batasan operasi.

Erick mengatakan, semua BUMN kini memiliki task force penanganan Covid-19 yang diterapkan untuk pegawai dan pelanggan. BUMN juga memiliki pola kerja fleksibel, mengingat keberadaannya di setiap provinsi dengan kebijakan PSBB yang berbeda-beda. “Nah, ini dinamika, kami berkoordinasi juga dengan Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Covid-19,” katanya. Protokol Covid-19 untuk BUMN, menurutnya, akan terus dievaluasi melihat perkembangan kasus corona di Indonesia. “Tentu ada adjustment selama belum ditemukan vaksin dan lain-lain, pasti adjustment itu ada,” katanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, optimistis kebijakan normal baru dapat mengangkat perekonomian. Pemerintah, Airlangga menerangkan, telah menyusun program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020. Pemerintah mengambil opsi new normal untuk menghidupkan ekonomi serta menekan jumlah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat. "Dari segi normal baru ini tentu kita akan membuat berbagai skenario terkait pertumbuhan, bagaimana memperkuat [aspek] kesehatan dan memulai penyesuaian kegiatan ekonomi. Agar kita bisa menekan korban dari Covid. Juga bisa menekan korban PHK dan restart sosial ekonomi,” ucap Airlangga saat rapat terbatas pada 27 Mei 2020.

Skenario yang disiapkan menyesuaikan dengan situasi pandemi dan adaptif dengan pola kebijakan pemerintah. "Jadi kalau kita lihat dari skenario, tingkat infeksi atau mortality tinggi dan rendah. Kemudian pemulihan lambat dan resesi berat, diharapkan Indonesia keluar dengan V-shape atau yang kita kenal dengan tema produktif dan aman Covid-19,” ujarnya.

Untuk persiapan dibukanya kegiatan ekonomi, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyiapkan protokol kesehatan di setiap sektor industri. Pemerintah juga memastikan agar sektor industri dapat mematuhi "syarat perlu" yang ditetapkan.

Adapun "syarat perlu" itu mencakup perkembangan Covid-19, pengawasan terhadap virus/kesehatan publik, kapasitas pelayanan kesehatan, persiapan dunia usaha, dan respons publik. Protokol yang diterapkan, mulai cuci tangan, penggunaan sabun dan hand sanitizer, masker, physical distancing, isolasi mandiri, pengecekan suhu, dan sebagainya. "Di sektor industri juga sudah ada edarannya. Terkait protokol kesehatan kawasan industri bagi pekerja, dan panduan social distancing, dan industri menjadi salah satu sektor yang dibuka sejak awal di dalam permenkes,” kata Airlangga.

Sementara itu, sektor pertambangan, perkebunan dan pertanian masih tetap berjalan meski ada wabah melanda. "Pemerintah juga menyiapkan sektor-sektor seperti manufaktur, perkebunan, yang selama ini terus berjalan. Kemudian sektor pertambangan juga yang jauh dari masyarakat dan sektor pertanian yang sudah melakukan panen. Nah, inilah sektor-sektor yang masih bisa beraktivitas, dan nanti dengan BNPB akan dikoordinasikan," ujarnya.

Sektor yang berjalan, lanjut Airlangga, yakni sektor perhubungan dan sektor perdagangan terkhusus pasar. Untuk sektor perdagangan, pemerintah terus berkoordinasi dengan pemimpin daerah, dari gubernur hingga wali kota dan kepala desa. Hal itu dilakukan untuk memastikan pedagang dan konsumen terbebas dari penyebaran Covid-19.

Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Kemenko Perekonomian, Raden Edi Prio Pambudi, menambahkan pembukaan sektor usaha harus diikuti protokol kesehatan yang ketat. “Pada dasarnya, semua sektor dibuka kembali secara normal jika vaksin atau obat sudah ditemukan. Selama belum ada, pembukaan kegiatan usaha tentu tidak senormal seperti kondisi tidak ada Covid-19. Artinya, kapasitas usaha tidak seperti kondisi normal,” ujar Raden ketika diwawancara Gatra review pada 3 Juni lalu.

Raden mengatakan, dalam pemberlakuan new normal, pemerintah tidak menerima desakan dari manapun termasuk dari kalangan industri dan usaha. "Tidak ada desakan dari mana pun. Semua didasarkan pada perhitungan dari data situasi yang memadai baik dari aspek kesehatan maupun aspek kesiapan dunia usaha dan masyarakat,” katanya. Skenario pemulihan ekonomi segera disiapkan agar masyarakat tidak terlalu lama terpuruk dalam kemerosotan ekonomi. “Kegiatan usaha harus segera dipulihkan. Kita tahu Covid-19 ini juga berdampak besar pada kondisi ekonomi seperti PHK, kemiskinan, dan lesunya usaha,” ia menambahkan.

Normal Baru & Gelombang PHK

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Ajib Hamdani (GATRA/Eva Agriana Ali/nhi)

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Ajib Hamdani, mengatakan pihaknya mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait new normal. HIPMI menilai. kebijakan itu dapat menjadi jalan tengah antara aspek kesehatan dan ekonomi. Dengan pemberlakuan new normal, aspek ekonomi diharapkan kembali bergeliat. Pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama hanya berkisar di 2,7%. HIPMI memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua akan menurun tajam jika pemerintah tidak memberikan insentif kepada dunia usaha. “Kemungkinan terburuk bahkan bisa minus,” ujar Ajib kepada wartawan Gatra review Almer Sidqi pada Kamis, 4 Juni lalu0.

Dalam fase normal baru, Ajib berharap ekonomi Indonesia akan mengalami rebound memasuki kuartal ketiga atau Juli mendatang. Untuk menguatkan ekonomi, pelaku usaha menurutnya memerlukan berbagai insentif. Baik itu insentif pajak, relaksasi kredit maupun penambahan modal baru.

Pandemi Covid-19 membawa dampak terhadap terganggunya rantai pasok industri yang berakibat menurunnya produktivitas. Akibatnya pendapatan perusahaan tergerus yang akhirnya menimbulkan gelombang PHK yang besar. “Hal yang paling mungkin jika ini [pandemi] terus terjadi adalah melakukan downsizing dengan melakukan PHK,” katanya.

Ajib juga berharap kebijakan normal baru yang sudah diberlakukan di tingkat pusat dapat diikuti oleh masing-masing daerah. Sehingga pelaku usaha di daerah juga dapat memeroleh stabilitas ekonomi. “Kalau mereka [daerah] masih mau PSBB terus, mereka harus mengganti biaya yang hilang. Ekonomi tidak berputar, karena kebijakan pemerintah bukan karena corona,” ujarnya.

Gelombang PHK yang masif, Ajib menerangkan, terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap pelaku usaha. Ia mencontohkan beberapa negara seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang, yang saat kebijakan lockdown langsung melakukan pendataan terhadap beberapa hotel yang akan difungsikan untuk mengisolasi pasien Covid-19.

Selain itu, pemerintah menurutnya juga kurang sigap memberikan stimulus ekonomi terhadap masyarakat karena berbagai keterbatasan dan sebagainya. “Sementara itu di Indonesia, begitu dilarang [beraktivitas], tidak dikasih apa-apa. Jadi pemerintah dalam hal ini jangan melarang, cukup bikin aturan. Karena pemerintah tidak punya backup untuk mengganti pendapatan masyarakat. Seperti Malaysia, dua bulan lockdown gelontorin seratus ribu triliun yang dikirim langsung ke masyarakat,” ujarnya.

Mengenai berbagai stimulus yang diberikan, HIPMI mengakui pemerintah kurang presisi dalam membuat aturan, koordinasi antar-kementerian/lembaga cenderung lemah, sehingga kebijakan terlihat tumpang tindih. “Inilah yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan uang,” tuturnya.

Namun, HIPMI mengapresiasi bagaimana pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan PP Nomor 23 Tahun 2020 tentang program pemulihan ekonomi nasional. Ia berharap, program itu dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi di semester dua mendatang. “Bagaimanapun para pelaku usaha hanya bisa bergantung pada kebijakan pemerintah. Jadi pemerintah harus menetapkan regulasi yang mampu memberi daya ungkit positif terhadap ekonomi,” tutupnya.

Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Apindo, Shinta Kamdani, mengatakan pelaku usaha selama ini terpukul akibat pandemi Covid-19. Apalagi, sejak diterapkannya PSBB, sektor logistik mengalami kelesuan sehingga mengakibatkan naiknya lead time pengiriman barang.

“PSBB kan aturannya cukup panjang dan ketat. Walaupun sektor pengiriman barang diperbolehkan, tapi enggak semudah itu, pasti ada pengaruhnya. Selain itu, kita lihat kalau mal, retail semua ditutup, restoran ditutup, ya pasti kan enggak ada aktivitas ekonomi sama sekali. Jadi ini memengaruhi operasional,” kata Shinta saat dihubungi wartawan Gatra review Ucha Julistian Mone pada 29 Mei lalu.

Shinta menyebut pandemi Covid-19 dianalogikan sebagai demand shock dan surprise shock. Meskipun aktivitas ekonomi kembali dibuka saat new normal maka tidak langsung memulihkan situasi layaknya sebelum pandemi. “Itu butuh waktu bertahap, nanti pelan-pelan recover gitu. Jadi kalau kita bandingkan saat PSBB dan setelah PSBB nanti apakah ada kenaikan, tentu saja ada. Tapi tidak mungkin langsung balik normal,” ujarnya.

Terlebih, kondisi setiap bisnis berbeda-beda. Shinta mengakui dari data yang dihimpun Apindo tercatat lebih dari 6 juta pegawai dirumahkan. Artinya, dampak pandemi menggulung dunia usaha, sehingga butuh waktu untuk memulihkannya. “Jadi setiap pelaku usaha harus melakukan transformasi, tidak hanya dari segi new normal kesehatan. Tapi kita juga new normal dari segi ekonomi dan bisnis,” ucapnya.

Langkah Pemerintah Atasi Jurang PHK

(Gatrareview/Anas Priyo/nhi)

Menanggapi badai PHK yang sudah di depan mata, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan pemerintah melakukan enam langkah mitigasi Covid-19 di bidang ketenagakerjaan. Langkah itu menjadi upaya antisipasi atas terdampaknya tenaga kerja selama pandemi. Upaya mitigasi pertama yakni pemberian stimulus bagi pelaku usaha yang tidak melakukan PHK.

Kedua, pemerintah memiliki program yang meringankan sektor formal seperti: insentif pajak, relaksasi pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan, serta pembayaran pinjaman. Ketiga, jaring pengaman sosial pekerja sektor informal berupa bantuan sosial. Keempat, memprioritaskan Kartu Prakerja bagi korban PHK. “Selanjutnya memperbanyak program Padat Karya atau program-program lain dari berbagai kementerian dan lembaga yang menyerap tenaga kerja yang terdampak pandemi. Terakhir, perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia yang sudah kembali ke tanah air, maupun yang masih di negara penempatan,” ujar Ida dalam keterangan tertulisnya kepada Gatra review.

Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama berbulan-bulan telah memukul mundur sejumlah dunia usaha. Pengusaha kelimpungan untuk menanggung beban operasional karyawan, sehingga badai PHK tidak terelakkan. Sesuai data yang dihimpun Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan per 27 Mei 2020 tercatat sebanyak 380.221 pekerja formal mengalami PHK atau sekitar 12,40% dari total pekerja terdampak Covid-19. Sedangkan pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 318.959 pekerja. Angka itu belum termasuk mereka yang dirumahkan akibat pandemi corona.

“Sejak awal pandemi Covid-19 di Indonesia yang memukul perekonomian nasional, kami telah menekankan kepada para gubernur dan juga para pimpinan perusahaan untuk menjadikan PHK sebagai jalan terakhir dalam rangka penyelamatan usaha. Andaikan PHK terpaksa harus dilakukan, maka hak-hak pekerja wajib dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang semestinya,” katanya.


Andhika Dinata, Ryan Puspa Bangsa, Qonita Azzahra

447