Home Milenial Pandemi Covid-19, Sektor Pariwisata Terpukul, PR Pemerintah

Pandemi Covid-19, Sektor Pariwisata Terpukul, PR Pemerintah

Jakarta, Gatra.com – Pariwisata Indonesia telah menjadi idola wisatawan dari banyak negara. Namun wabah pandemi corona (Covid-19) telah “memukul” pariwisata ke titik yang rendah. Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Prof. Azril Azahari mengatakan pariwisata Indonesia meninggalkan sejumlah persoalan jauh sebelum krisis Covid-19.

Ia mengatakan pasca Covid, pemerintah harus berbenah memperbaiki sektor pariwisata. Pariwisata Indonesia di era sebelum pandemi telah bergeser menjadi shifting the tourism paradigm. Paradigma lama berorientasi pada quality tourism yakni kuantitas atau jumlah wisatawan, selain disokong oleh siasat pariwisata yang naturalis. Azril menyingkat hal itu dengan istilah 3S: Sun, Sand, dan Sea.

Sementara paradigma pariwisata saat ini mengedepankan nilai (value). Nilai tersebut juga dijabarkan dalam konsep 3 S yakni: Serenity (ketenangan diri), Spirituality (ketenangan batin) dan Sustainability (menjaga keberlanjutan alam). “Pariwisata yang merusak alam pasti akan langsung diboikot oleh wisatawan. Paradigma dunia telah bergeser soal pariwisata,” ujar Azril kepada Gatra.com.

Menurutnya pandemi jadi momentum untuk mengangkat kembali pariwisata Indonesia dengan menyesuaikan pada paradigma global yang menyasar kualitas. “Tanpa adanya Covid-19 saja kita sudah ketinggalan,” katanya.

Selama ini, pemerintah kerap menjadikan jumlah wisatawan sebagai tolak ukur keberhasilan. Namun bagi Azril yang terpenting bukan seberapa banyak devisa yang bisa diperoleh, melainkan berapa lama seorang turis bisa tinggal di Indonesia, dan berapa banyak spend of money yang ia keluarkan.

“Secara ekonomi, pariwisata itu bukan devisa yang diukur melainkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB,” terang Azril. Menurut catatannya, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional baru mencapai 5,7%. Pencapaian itu dalam kondisi normal sebelum wabah corona ada. Padahal menurut Azril, pemerintah selalu menggadang pariwisata sebagai sektor unggulan.

Dirinya mengatakan kondisi pandemi Covid-19 seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai peluang. Kelemahan pariwisata Indonesia, menurut Azril, adalah tidak berhasilnya melahirkan daya tarik, keunikan, dan keautentikan. “Di masa lalu, wisatawan cenderung mencari nilai-nilai yang enjoyable, sementara paradigma saat ini bagaimana turis mendapatkan best experience, mengalami pengalaman yang berbeda dari suatu negara,” katanya.

Selain itu sektor pariwisata Indonesia masih mempunyai persoalan pada rendahnya daya saing seperti diungkap dalam studi Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI). Menurut Azril terdapat empat (4) pilar yang harus diperbaiki yakni aspek health & hygiene, safety & security, tourist service infrastructure dan environmental sustainability.

Aspek keberlanjutan lingkungan menurutnya akan menjadi nilai plus dari pariwisata di Indonesia. “Di Mandalika terkenal pasirnya yang besar-besar, tapi diubah menjadi perlombaan formula F1. Bisa dibayangkan berapa banyak kerusakan,” ujarnya.

Dengan wacana pemberlakuan new normal, kemungkinan besar pemerintah akan mencoba menggaet pasar domestik yakni wisatawan lokal. Namun Azril mengatakan kebijakan layanan harus berjalan paralel. Artinya harus ada sikap yang sama dalam melayani turis lokal. “Itu kesalahan fatal bahwa wisatawan lokal dianggap kelas dua. Standarisasi itu bersifat internasional,” pungkasnya.

Sisi lain masih abainya promosi dan layanan kepada turis. Indonesia menurutnya memiliki keelokan pariwisata yang dikenal dunia namun tidak semua wisatawan mengetahui secara jelas tentang pariwisata di Indonesia.

“Kalau kita datang ke Singapura, ketika kita turun di airport, semua brosur [wisata] itu ada. Kita tidak perlu tanya sudah ada semua,” ujarnya. Azril malah mengkhawatirkan price sensitivity yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.

“Bagaimanapun para turis menginginkan harga yang rendah, tetapi dengan pandemi ini, harga bakal menjulang. Misalnya Garuda Indonesia terbebani dengan sanitasi pesawat, sementara pesawat hanya boleh diisi oleh setengah dari jumlah total penumpang sehingga menyebabkan price sensitivity dari transportasi menjadi naik,” pungkasnya.

Reporter: Almer Sidqi

Editor: Andhika Dinata