Home Politik LBH Jakarta Minta Anies Baswedan Cabut Peraturan PPDB 2020

LBH Jakarta Minta Anies Baswedan Cabut Peraturan PPDB 2020

Jakarta, Gatra.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta agar mencabut atau setidaknya merevisi Keputusan Kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020/2021.

Kepala Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, mengatakan, keputusan itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan dan peraturan yang lebih tinggi lainnya.

Nelson membeberkan sedikitnya lima alasan mengapa peraturan itu memicu kekacauan di masyarakat belakangan ini. Pertama, tentang usia. 

Ia menyebut PPDB DKI Jakarta yang dilakukan pada 25-30 Juni 2020, khususnya SMP dan SMA memang menggunakan jalur zonasi dan lainnya seperti yang tertuang dalam peraturan Permendikbud 44/2019, namun terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa sekolah mengutamakan seleksi berdasarkan usia tertua, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar jika kelebihan daya tampung.

"Ini yang memicu kekacauan. Karena pada akhirnya banyak yang tidak diterima di sekolah yang dekat dengan rumah dan kemungkinan besar akan diterima di sekolah yang jauh jaraknya dari rumah. Padahal prinsip dari Permendikbud 44/2019, Pasal 16, adalah mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah," kata Nelson melalui keterangan resminya kepada Gatra.com, Minggu (28/6).

Faktor usia peserta didik yang lebih tua, lanjutnya, baru menjadi faktor yang dipertimbangkan ketika terdapat kesamaan jarak tinggal calon peserta didik dengan sekolah. Sebab yang dikhawatirkan nantinya adalah waktu perjalanan yang panjang dan ongkos yang memberatkan siswa.

Kedua, tentang kuota. Nelson mengatakan, Pemprov DKI Jakarta mengatur kuota minimum jalur zonasi sebesar 40 persen. Angka itu lebih rendah dari Permendikbud 44/2019 yang mengatur hingga 50 persen.

"Penurunan kuota ini tidak sesuai dengan semangat penerapan sistem zonasi," ujarnya.

Ketiga, mengenai prioritas tahapan. Dalam Permendikbud 44/2019, diatur bahwa untuk jalur zonasi, afirmasi, dan perpindahan tugas orang tua terdapat kuota tertentu yang harus dipenuhi. Adapun untuk jalur prestasi, pemerintah daerah dapat membuka jika masih terdapat sisa kuota.

Mengacu pada ketentuan tersebut, ia menilai penentuan prioritas tahapan PPDB DKI 2020 menjadi aneh ketika pelaksanaan jalur prestasi non-akademik yang dilangsungkan pada 15 Juni 2020 lalu dilakukan mendahului jalur zonasi yang diselenggarakan 25-30 Juni 2020. Hal ini menurutnya tidak sesuai dengan semangat sistem zonasi yang seharusnya diutamakan.

"Jika dilihat rumusan normanya, ketentuan dalam Permendikbud bukan ketentuan yang dapat disimpangi oleh Pemerintah Daerah, sebab mengatur ketentuan dasar atau minimal. Dalam hal ini, Pemprov DKI selain melanggar ketentuan dasar, juga tidak konsisten dengan tujuan pelaksanan sistem zonasi," katanya.

Keempat, Nelson menyebut Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan ruang partisipasi dan informasi yang layak kepada orang tua murid dan peserta didik sebelum pelaksanaan kebijakan ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Nelson mengatakan, Pemprov DKI Jakarta tetap mempertahankan kebijakan serupa meskipun orang tua murid telah menyampaikan tuntutan perubahan sistem jauh sebelum pelaksanaan PPDB. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

"Ke depan, partisipasi dan penyampaian informasi yang layak wajib dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta demi kelancaran pelaksanaan dan kepentingan terbaik peserta didik," katanya.

Kelima, Nelson meminta Pemerintah wajib mengevaluasi pelaksanaan sistem zonasi agar tujuan pelaksanaannya tercapai dan tidak menjadi polemik tahunan.

"Pemerintah harus konsisten menerapkan aturan zonasi dan tidak mencampur adukan faktor-faktor lain seperti nilai maupun tingkat ekonomi yang tidak sejalan dengan tujuan zonasi. Sudah ada jalur lain untuk mengakomodir faktor-faktor tersebut," ujarnya.

Alumni Universitas Sumatera Utara itu membeberkan, problem yang selalu muncul dalam pelaksanaan zonasi sejak 2017 adalah persebaran sekolah yang tidak merata dan infrastruktur yang tidak memadai. Oleh karena itu, Pemerintah juga harus memastikan pemerataan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana sekolah dan tenaga pengajar.

"Tanpa disertai upaya ini, tujuan sistem zonasi menciptakan pemerataan pendidikan mustahil tercapai. Peserta didik dan orang tua murid juga akan merasa sistem tidak adil," katanya.

Ia berharap Dinas Pendidikan DKI Jakarta bisa menjadwal ulang proses proses penerimaan dengan aturan yang baru, sebagai akibat dari aturan yang berlaku saat ini. 

157

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR