Home Hukum Alasan UU Minerba Digugat Lagi ke MK

Alasan UU Minerba Digugat Lagi ke MK

Jakarta, Gatra.com - Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengajukan pengujian terhadap Undang Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang dimohonkan untuk diuji lagi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain Gubernur, pemohon lain diantaranya anggota DPD Alirman Sori dan Tamsil Linrung, Hamdan Zoelva, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, Budi Santoso, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Ilham Rifki Nurfajar dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Andrean Saefudin, 

Kuasa hukum para pemohon, Ahmad Redi, menyebut alasan pengajuan Permohonan yakni sejak awal pembahasan RUU Minerba ini menuai masalah dan kontroversial, karena sangat dipaksakan dan terburu-buru. Tampak jelas bahwa pembahasan RUU ini tidak untuk kepentingan rakyat, namun untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya sebagian pelaku usaha pertambangan batubara.

Ahmad juga menjelaskan bahwa RUU Minerba tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun drafnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga masa jabatan DPR periode lalu berakhir bulan September 2019, belum dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba. 

“Berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perunda- ndangan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM, padahal DPR periode lalu belum satupun membahas DIM RUU Minerba,” katanya, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (11/7).

Ahmad mengatakan seluruh pembahasan RUU Minerba dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR, pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat Panitia Kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Tata tertib DPR yang menyatakan semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, bisa tertutup hanya apabila terkait dengan rahasia negara atau kesusilaan. 

“Selain itu juga melanggar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan azas keterbukaan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka,” katanya.

Nah, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ahmad menambahkan bahwa upaya untuk melanjutkan pembentukan RUU Minerba berlanjut pada DPR periode 2019-2024 saat ini, yang sayangnya dilakukan dengan proses “kilat” dan tanpa keterlibatan publik dan masyarakat sebagai pemegang utama kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi. 

“Pembahasan RUU Minerba sangat dipaksakan, dengan materi yang sangat banyak, terdiri dari 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan lebih dari 80% materi perubahan, namun hanya hanya dibahas dalam waktu sekitar 2 minggu, dilakukan secara tertutup di hotel tanpa adanya partisipasi masyarakat maupun stakeholder,” ujarnya. 

Selain itu, lanjut Ahmad, RUU Minerba ditetapkan dan dilakukan pengambilan keputusan oleh DPR dan Pemerintah saat pandemi wabah Covid-19, saat dimana masyarakat tidak bisa keluar rumah karena menghindari penularan Covid-19 dan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh Pemerintah di bulan April-Mei 2020.

“Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder, pembahasan RUU Minerba yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder. 

Artinya, dalam pembahasan RUU Minerba sama sekali tidak terdapat audiensi dengan stakeholder, tidak ada penerimaan aspirasi dari kelompok masyarakat, tidak melibatkan pakar dan perguruan tinggi, tidak dilaksanakan rapat dengar pendapat umum, serta tidak ada pengambilan aspirasi ke daerah, bahkan beberapa kelompok masyarakat dan perguruan tinggi yang mengajukan permohonan audiensi untuk memberikan masukan diabaikan.

Alasannya lainnya lanjut Ahmad, Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), berdasarkan Pasal 22D UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bahwa DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. 

“Sehingga pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan melibatkan DPD. Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD jelas pelanggaran terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 dan inkonstitusional,” ujarnya.

Dikatakan, pengambilan keputusan tingkat I pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang mewakili Pemerintah pada tanggal 11 Mei 2020 dilakukan secara virtual dan pengambilan keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna pada tanggal 12 Mei 2020 juga dilakukan secara virtual, yaitu tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik anggota DPR dilakukan secara perwakilan fraksi. 

“Hal ini tampak pada siaran TV Parlemen bahwa ruang sidang paripurna sangat lengang dan hanya dihadiri oleh sedikit anggota DPR,” ujarnya.

Ahmad juga menyebut bahwa terkesan ada pemaksaan dalam rapat pengambilan keputusan atas RUU Minerba yang tidak sensitif terhadap wabah virus Corona Covid 19, dan mengabaikan seruan untuk tidak berkumpul. Bahwa benar RUU Minerba penting, namun saat ini ada yang jauh lebih penting dan gawat yaitu untuk penanganan virus Corona Covid 19. 

“Seharusnya Pemerintah dan DPR fokus untuk segera mengatasi wabah Covid 19. Dalam hal ini apabila pengambilan keputusan RUU Minerba tetap dilanjutkan jelas bahwa DPR dan Pemerintah tidak peka atas penderitaan rakyat,” katanya.

Dari keterangan Erzaldi, UU Minerba ini materi muatannya menagasikan kewenangan pemeritahan daerah dalam penyelenggaraan kewenangan pertambangan minerba karena seluruh kewenangan ditarik ke Pemerintah Pusat. Ini bentuk pendegradasian Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI 1945 dan semangat Reformasi 1998 yang mendudukan pemerintahan daerah sebagai daerah otonom yang menolak kekuasaan yang sentralistik.

“Maka kami mengajukan Permohonan Pengujian Formil atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” katanya.

Sebelumnya pada 12 Mei 2020, DPR bersama dengan Pemerintah telah menyetujui bersama RUU tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU. 

Presiden pun telah menandatangani RUU ini menjadi UU pada tanggal 10 Juni 2020 dan di tanggal yang sama, langsung pula diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan nomor undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Terbentuknya UU No. 3 Tahun 2020 ini mengandung potensi moralitas pembentukan hukum, baik formil maupun materiil yang dinilai ‘jahat’ bagi pembangunan nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara sesuai dengan Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Sila Kelima Pancasila dan sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. 

Untuk itu, beberapa warga negara mengajukan pengujian formil UU No. 3 Tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi agar UU ini dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

464

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR