Home Gaya Hidup Melawan Kerusakan Lingkungan dengan Puisi

Melawan Kerusakan Lingkungan dengan Puisi

Palembang, Gatra.com - Eksploitasi tambang batubara dan pembangunan pembangkit listrik berbahan fosil terus berlangsung di Indonesia. Sebagai produsen batubara terbesar kelima pada tiga tahun lalu dan pengekspor kedua terbesar di dunia, Indonesia menjadi surga bagi masuknya investasi di sektor penambangan batubara dan pengembangan PLTU. Salah satu provinsi di mana laju pembangunan PLTU dan penambangan batubara berjalan secara masif adalah Sumsel.

Atas kondisi ini, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bekerjasama dengan Teater Potlot Palembang berencana menggelar Lomba Puisi, Cerpen dan Esai, bertajuk Daya Rusak Pertambangan Batubara dan PLTU Bagi Kehidupan.

Salah satu Juri, Okky Madasari mengapresiasi lomba bertema ekologi ini. Menurutnya, selain meningkatkan minat masyarakat terhadap sastra dan dunia literasi, ajang ini dapat menjaring karya-karya kritis menyoroti berbagai persoalan masyarakat lokal, mulai dari pertarungan nilai lokal dan pengaruh dunia luar, pesimisme-optimisme tentang masa depan hingga isu-isu lingkungan."Semoga akan lahir sastrawan besar dari Sumsel serta kegiatan semacam ini lebih sering diadakan dan bisa menyebar ke daerah lain di Indonesia," ujar Okky dalam keterangan persnya yang diterima Gatra.com, Senin (14/7).

Lomba yang digelar untuk mengkritisi sekaligus merekam jeritan dan suara warga yang selama ini terdampak oleh aktivitas pertambangan batubara dan beroperasinya PLTU MT di wilayah Sumsel. Selain peraih Sastra Khatulistiwa 2012 tersebut, Penyair dan seniman Teater Potlot Palembang, Taufik Wijaya menilai, aktivitas penambangan batubara dan beroperasinya PLTU di Sumsel terbukti menimbulkan dampak luar biasa. Dampak tersebut di antaranya hilangnya lahan perkebunan dan hutan, tercemarnya udara serta lahan pertanian, juga rusaknya ekologi sungai dan bahkan sejumlah flora dan fauna menghilang karena habitatnya terganggu.

“Di hilir, banyak jalan rusak akibat lalulalangnya transportasi pengangkut batubara. Banyak petani kehilangan lahan akhirnya menjadi buruh. Prilaku sosial juga berubah. Banyak generasi muda di desa atau sekitar penambangan tidak jelas masa depannya karena keluarganya kehilangan lahan pertanian dan perkebunan,” ungkap Taufik, yang juga khawatir aktivitas penambangan batubara dan PLTU berdampak hilangnya kebudayaan masyarakat setempat.

baca juga :https://www.gatra.com/detail/news/470550/ekonomi/tak-jelas-asasnya-ruu-cipta-kerja-ancam-lingkungan

Sumsel yang sejak dulu berjuluk lumbung energi nasional berlimpah cadangan batubara bahkan terbesar di Indonesia. Total cadangan batubara di perut buminya mencapai 50,2 Milyar ton. Pemerintah gencar menggenjot pembangunan PLTU Mulut Tambang demi mengejar realisasi target pengadaan listrik dalam program 35.000 MW. Skema pembangunan PLTU Mulut Tambang dipilih, guna memangkas biaya produksi serta mempermudah pasokan batubara dari hulu ke hilir. Tetapi di saat bersamaan, daya rusak akibat PLTU MT luar biasa besar, baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi.

Pada 2019, AEER meneliti perihal investasi Cina pada pembangkit listrik batubara di Indonesia yang mempertautkan antara kajian keuangan dan bagaimana praktek-praktek investasi dalam pembangunan dan pengelolaan pembangkit listrik batubara yang berlokasi di Sumsel ditinjau dari perspektif lingkungan, peraturan, perburuhan dan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU.

Hasil penelitian itu merekam beragam persoalan lingkungan dan sosial akibat pembangunan dan beroperasinya PLTU di tiga lokasi, yakni PLTU Sumsel 1, PLTU Gunung Raja dan PLTU Sumsel 8. Dampak itu antara lain rusaknya kondisi sungai yang mengakibatkan hancurnya ekosistem alami dan munculnya banjir tahunan, serta pencemaran udara akibat parahnya paparan debu batubara. Persoalan lain adalah penurunan produktivitas kebun karet, terganggunya kualitas kesehatan warga serta sengketa lahan antara perusahaan dan warga sekitarnya.

Dari sisi sistem perburuhan, juga ditemukan banyaknya buruh-buruh yang diupah jauh di bawah standar UMK, sesuai pasal 90 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan tak sedikit upah lembur buruh tidak dibayarkan pihak perusahaan, seperti dialami sejumlah buruh di PLTU MT Sumsel 1.

910