Home Internasional Langkah Politik Erdogan di Hagia Sophia

Langkah Politik Erdogan di Hagia Sophia

Alih fungsi Hagia Sophia menjadi masjid dinilai sebagai langkah populis Presiden Erdogan untuk meraih suara pada Pemilu 2023. Strategi partai berkuasa untuk meredam kebangkitan sekulerisme di Turki. Oposisi mendorong pemilu awal.


Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, melakukan kunjungan mendadak ke Hagia Sophia pada Minggu, 19 Juli lalu. Sidak itu dilakukan sebelum mewujudkan rencana pelaksanaan salat Jumat perdana di bangunan bersejarah yang baru saja dialihfungsikan menjadi masjid tersebut. "Mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah masalah kedaulatan negara," ucapnya, seperti dikutip dari Kantor Berita Anadolu.

Salat pertama akan dilangsungkan Jumat, 24 Juli, untuk 1.000-1.500 orang di waktu yang bersamaan. Momen tersebut bertepatan dengan peringatan perjanjian 1923 yang menetapkan perbatasan Turki saat ini.

AFP melaporkan, dalam inspeksi kilat tersebut, Erdogan tampak mengecek material yang bertumpuk dalam proses renovasi. Kantor Presiden menyertakan pula foto yang memperlihatkan perancah (scaffolding) atau steger konstruksi di dalam gedung. Diyanet, otoritas agama di Turki, mengatakan bahwa gedung ikon wisata yang terletak di Istanbul itu akan terus dibuka untuk semua pengunjung di luar jadwal salat. Ikon-ikon Kristen akan ditutup dengan teknologi khusus selama salat berlangsung.

Seperti diketahui, pada Jumat 10 Juli 2020, pengadilan tertinggi Turki membatalkan dekret pemerintah 1934 mengenai status Hagia Sophia menjadi museum. Putusan yang dibawakan lembaga tertinggi negara itu, memberi jalan Hagia Sophia kembali jadi masjid, setelah selama 85 tahun rumpang. Kemudian, Erdogan menandatangani dekret presiden penyerahan Situs Warisan Dunia UNESCO itu kepada Bidang Agama Kepresidenan Turki.

Bangunan abad keenam tersebut memang bukan sekadar karya megah arsitektur, melainkan simbol politik. Mulai dari perebutan kekuasaan di masa lampau hingga pertarungan partai hari ini.

Pada 1935, pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk, mengubahnya menjadi museum, yang menyampaikan pesan bahwa Turki modern merupakan negara sekuler. Tahun lalu, Erdogan mengatakan bahwa mengubah gedung di Distrik Fatih tersebut menjadi museum merupakan, "Kesalahan yang sangat besar."

Sebagai pemimpin partai terbesar di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Erdogan berusaha sekuat tenaga membalikkan keputusan Ataturk dan membuka kembali Hagia Sophia sebagai tempat ibadah Islam. Sudah lama ada pembicaraan di Turki tentang kemungkinan mengubahnya kembali menjadi masjid, tetapi baru kali ini rencana itu mengambil bentuk pasti. 

AKP didirikan oleh beberapa partai konservatif pada 2001 dan berideologi islamisme. Bagi banyak pemilih Erdogan, yang cenderung memiliki simpati nasionalis-islamis, Hagia Sophia melambangkan penaklukan Konstantinopel Kristen oleh Utsmani, dan menjadi bukti superioritas dunia Islam.

Partai yang memerintah sangat yakin bahwa rencananya akan berjalan terus. Seminggu sebelum terbitnya keputusan pengadilan, AKP mengizinkan seorang imam untuk membacakan salah satu surat Al-Qur"an di aula Hagia Sophia. Bahkan sejak akhir 2019, sejumlah perancah sudah tampak berdiri di dalam gedung yang dikenal dengan nama Aya Sofya di Turki.

Inisiatif Erdogan dipandang sebagai upaya mendorong pemilih Turki kembali mendukung AKP. Mayoritas jajak pendapat menunjukkan, partai itu telah kehilangan dukungan signifikan akhir-akhir ini. Akibatnya, dalam beberapa bulan terakhir, Erdogan menerapkan strategi membangkitkan sentimen nasionalis dan Islam konservatif. 

Partai-partai politik Turki saat ini disibukkan dengan rencana penerbitan aturan terkait platform media sosial, RUU parlemen tentang berbagai asosiasi pengacara, Konvensi Istanbul, debat LGBT (lesbian, gay, biseksual, transeksual), dan generasi Z, serta menurunnya kinerja Kota Metropolitan Istanbul. Selain topik-topik hangat itu, ada juga dua fitur permanen: pemilihan awal dan potensi pergeseran antar-aliansi pemilihan, demikian laporan Daily Sabah.

Aliansi Rakyat, yang merupakan kemitraan pemilihan antara AKP dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP), tetap berkomitmen menyelenggarakan pemilihan umum pada 2023, sesuai jadwal. Namun, Ketua Partai Baik (IP), Meral Akşener, terus berbicara tentang pemilihan umum awal. Baru-baru ini, ia mengeklaim bahwa Presiden Erdogan sedang berkutat memikirkan pemilihan awal yang akan diadakan pada, "Oktober atau November."

 

***

 

Partai-partai oposisi Turki siap berspekulasi pada pemilihan awal karena mereka ingin memanfaatkan momen ini, daripada benar-benar mengharapkan dukungan di pemungutan suara terjadwal. Mereka percaya dapat menggunakan isu tantangan ekonomi dan pandemi Covid-19 untuk meraup suara melawan petahana. Selain itu, mereka melihat debat "pemilihan awal" sebagai sarana memperluas kelompok anti-Erdogan.

Perlu dicatat, Akşener mendukung pemilihan Oktober atau November karena beberapa orang berharap Amerika Serikat akan menambah tekanan pada Turki jika Presiden Donald Trump kalah dalam Pemilu. Oposisi tampaknya berpikir bahwa Washington, D.C. akan menekan Turki sebagai bagian dari agenda "promosi demokrasi" baru, bertentangan dengan apa yang dilakukan Erdogan.

Tujuan utama oposisi, yaitu menjaga Aliansi Bangsa, koalisi empat partai lawan, bersama-sama hingga pemilihan 2023. Jika memungkinkan, menerima anggota baru pula. Untuk tujuan ini, Ketua Partai Rakyat Republik (CHP), Kemal Kılıçdaroğlu, telah menaklukkan lawan kampanye presiden gabungan untuk 2023. Kini ia punya mimpi membentuk koalisi besar yang melibatkan IP, Partai Felicity (SP), Partai Demokrat Rakyat (HDP), Partai Masa Depan (GP), serta Partai Demokrasi dan Kemajuan (DEVA).

Sebagai partai terbesar kedua dan tertua di Turki, CHP sejalan dengan Ataturk, berideologi sosial demokrasi. CHP juga dikenal sebagai sayap kiri dan sekuler.

Panasnya Pilpres Turki bisa dilacak ke Maret 2019 ketika Istanbul melaksanakan pemilihan wali kota. Ada dua kandidat utama kala itu, yakni Ekrem Imamoglu (CHP), wali kota salah satu distrik di Istanbul, Beylikduzu. Lawannya, Binali Yildrim (AKP), merupakan mantan Perdana Menteri dan Menteri Perhubungan Turki.

Hasil pemilihan yang terbit pada 1 April, selisihnya sangat tipis dan kedua pihak mengeklaim kemenangan. Partai AKP meminta penghitungan ulang suara. Pemilu ulang dilaksanakan pada Juni 2019. Belakangan Imamoglu dinyatakan sebagai pemenang. Setelah sekian lama AKP menguasai Istanbul, CHP lantas naik memimpin kota terpadat di Turki yang menjadi pusat perekonomian, budaya, dan sejarah tersebut.

CHP juga menang di pemilu Ibu Kota Turki, Ankara. Mereka bahkan mendapat dukungan dari kelompok minoritas Kurdi yang selama ini didiskriminasi oleh AKP.

Melihat kemenangan itu sebagai ancaman "kebangkitan sekularisme" ala Ataturk, Erdogan tidak tinggal diam. "Kehilangan Istanbul, kehilangan Turki," ujar AKP sekali waktu.

Padahal, internal AKP juga sedang terguncang. Mantan PM Ahmet Davutoglu (60 tahun) keluar dari AKP pada September 2019. Ia lantas meluncurkan partai politik baru pada Desember 2019. Tindakan itu merupakan tantangan terhadap kepemimpinan 17 tahun AKP di bawah Erdogan. Davutoglu yang pernah menjabat Ketua Partai AK dari 2014 hingga 2016, mendirikan GP di Ankara. Dua bulan sebelumnya, anggota AKP lainnya, Ali Babacan, juga mundur. Ia lalu membentuk DEVA pada Maret 2020.

Para analis mengatakan, meski kehilangan hanya beberapa poin persentase, dapat menimbulkan risiko bagi presiden Turki, yang harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk tetap berkuasa. Sekadar catatan, Erdogan memenangkan 52,6% suara dalam pemilihan presiden pada Juni 2018.

 

Flora Libra Yanti

 

***

 

KUTIPAN

"Mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah masalah kedaulatan negara."

- Presiden Recep Tayyip Erdogan

 

POINTERS

Inisiatif Erdogan dipandang sebagai upaya mendorong pemilih Turki kembali mendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Mayoritas jajak pendapat menunjukkan, AKP kehilangan dukungan signifikan akhir-akhir ini.

 

***

 

BOKS

 

Erdogan Menatap Al-Aqsa 

 

Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, kembali mengkritik Turki pada Kamis, 16 Juli lalu, atas keputusan mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi masjid. Ia menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan Turki yang memicu ketegangan di wilayah lebih luas. Ia pun meminta Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, agar membuat daftar kemungkinan sanksi terhadap Ankara.

Berbicara dalam pertemuan Partai Rakyat Eropa (EPP) yang diadakan melalui konferensi video, Mitsotakis mengatakan bahwa keputusan mengubah status Hagia Sophia menjadi museum di masa lampau, merupakan indikasi pemahaman Turki tentang perjanjian internasional, saling menguntungkan, serta kerukunan antaragama, dilansir media Yunani, Kathimerini.

Di sisi lain, keputusan Presiden Erdogan menegakkan Islam, tak akan berhenti di Hagia Sophia saja. Ia mengatakan, perubahan status Hagia Sophia menjadi masjid merupakan upaya awal membebaskan Masjid Al-Aqsa yang berlokasi di Kota Tua Yerusalem.

"Retorika tentang Masjid Al-Aqsa ini dapat memicu kekerasan terhadap Israel dan warganya, juga akan menambah ketegangan di wilayah tersebut. Kami mengutuknya dengan keras dan mendesak Presiden Erdogan menarik kembali kata-kata dan tindakannya," ujar pernyataan kelompok Organisasi Yahudi, dilaporkan Times of Israel.