Home Ekonomi Belajar Konsep Lumbung dari Masyarakat Rawang

Belajar Konsep Lumbung dari Masyarakat Rawang

Palembang, Gatra.com – Ketinggian airnya semakin menurun, tidak seperti puluhan tahun yang lalu. Dahulu, ketinggian air di kawasan lebak rawang masih tinggi sehingga semakin banyak manfaat yang diperoleh darinya, mulai dari bertanam padi, mengambil kayu hingga ikan tangkap dan hasil perikanan lainnya. Kawasan rawang lebak menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Desa Jerambah Rengas, Kecamatan Tulung Selapan, kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel.

Warga menjadikan lebak rawang sebagai lahan kehidupan yang dikelola secara kolektif yang hasilnya pun dipergunakan secara bersama-sama sebagai lumbung pangan desa. Sebanyak 50 Kepala Keluarga (KK) bersama-sama menanam lebak rawang seusai musim kemarau. Sejak puluhan tahun yang lalu, kawasan lebak rawang dibudidayakan padi rawang, setelah lahan terbakar akibat musim kering. Titik-titik tanam ialah bekas lahan yang terbakar dan benih padi yang ditanam ialah padi hasil bertanam tahun sebelumnya.

“Lebak rawang sangat bermanfaat bagi warga. Kami secara bersama-sama bertanam, serta memanfaatkannya bagi kehidupan sehari-hari. Bapak saya dan warga juga sudah menanam padi di lahan tersebut sejak tahun 1960an. Padi ditanam, ikan dipancing, dan kayu-kayu diambil seperlunya saja untuk bahan bakar hingga bahan membangun rumah,” ujar Ketua Kelompok Tani Makmur Sejahtera, Muhammad Syukrie kepada Gatra belum lama ini.

Kata Syukrie, lebak rawang menjadi lahan kehidupan yang sangat berarti bagi warga. Masyarakat bertanam secara bersama-sama usai musim kemarau. Setiap tahun, lahan lebak rawang dikelola secara bersama-sama guna menjadi sumber ketahanan pangan bagi desa. Tahun lalu saja, puluhan warga yang mengelola rawang mampu menghasilkan hingga 3.000 ton padi yang kemudian disimpan sebagai lumbung bersama. “Hasil panen padinya diletakkan di rumah masing-masing namun pemanfaatannya bersama-sama,” ujarnya.

baca juga : https://www.gatra.com/detail/news/446509/politik/karhutla-sulit-padam-sebab-89-persen-adalah-lahan-gambut-

Bagi warga desa sangat pantang menjual padi hasil sawah rawang tersebut. Adat mengajarkan jika beras rawang ialah ruh kehidupan bagi desa guna bertahan hidup. Setiap keluarga memiliki ketahanan dari keberadaan rawang.

“Menjual beras itu sangat dilarang, padi disimpan agar dapat hidup lebih lama. Jikapun berlebih, maka beras diberikan kepada warga yang membutuhkan lainnya. Tidak ada dibenarkan menjual beras,” terang bapak tiga anak ini.

Meski tidak memiliki uang, sambung ia, padi hasil rawang tetap tidak dibolehkan dijual. Padi disimpan di rumah sebagai penyambung hidup dan berkembangnya generasi selanjutnya. Selain bertanam padi dan ketan di rawang, warga juga menanam sayur mayur di lahan yang lebih dekat dengan rumahnya.

“Di Desa, warga sudah bisa makan. Warga hanya akan membeli bawang dan terasi untuk masak pindang. Dari Rawang, warga mendapatkan beras dan ikan. Beras ditanak, ikan dipindang, ikan digoreng dan tinggal ditambahkan sambal" katanya.

Seperti pada kondisi pandemi ini, saat warga di perkotaan masih khawatir akan ketahanan pangannya namun warga di Desa sudah mampu memenuhi pangannya sendiri. Dari padi yang dihasilkan pada panen tahun lalu, ternyata sudah bisa memenuhi kebutuhan pangan selama dua tahun. “Meski terjadi wabah virus seperti saat ini, warga desa tidak perlu khawatir untuk makan. Cadangan beras cukup bagi keluarga di rumah,” ungkap ia.

Manfaat rawang yang telah banyak diperoleh dari warga ini terancam akan keberadaan perkebunan sawit. Lebak rawang yang berjarak hingga 7 km dari Desa mulai terancam sejak perusahaan membangun kanal-kanal yang mengakibatkan ketinggian air rawang terus menurun.

“Lahan rawang luasnya sekitar 1.962,14 hektar (ha) namun yang bermasalah dengan konsesi perusahaan PT. Bintang Harapan Palma (BHP) sekitar 800 ha. Kami masih berjuang mempertahankan rawang desa sebagai sumber kehidupan desa. Kami bersama dengan Walhi Sumsel telah memperjuangkan lahan rawang yang juga menjadi batas adminitrasi desa, mulai dari melaporkannya ke Kementrian KLHK, Kementrian ATR/PBN, serta Badan Restorasi Gambut (BRG) guna menyoal izin perusahaan sawit yang masuk dalam kawasan hutan lindung," pungkasnya.

Direktur Walhi Sumsel, Hairul Sobri menambahkan penolakan atas izin konsensi disampaikan oleh empat desa. Tiga di antaranya berupa dampingan Walhi, yakni Desa Jeramba Rengas, Desa Penangguan Duren, Desa Lebung Hitam dan Tulung Seluang. Keberadaan perusahaan telah merusak wilayah kelola rakyat yang selama ini telah diusahakan oleh masyarakat. Sesuai dengan Intruksi Presiden RI nomor 8, tahun 2018 diterangkan penundaan dan evaluasi perinzinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. "Kami meminta negara untuk melakukan pencabutan izin perkebunan kelapa sawit PT. BHP," katanya.

Di tempat terpisah, Penggiat Pertanian Agro Ekologi Berbasis Rawang, Syahroni mengutarakan konsep lumbung pangan yang menjadi adat di desa tersebut telah menempatkan rawang sebagai lahan kehidupan bukan komoditas yang diperjualbelikan. Konsep lumbung pangan yang diatur secara turun temurun di desa merupakan contoh pemahaman lumbung pangan yang tepat. Lumbung pangan bukan saja diartikan sebagai produksi beras berlimpah, namun juga menghitung dan memenuhi kebutuhan makan bagi masyarakatnya.

"Konsep lumbung pangan pada dasarnya ialah model pemenuhan pangan lokal secara berdaulat. Perhitungannya produksi pangan harus memenuhi kebutuhan konsumsi yang diatur secara baik. Lumbung pangan bukan diartikan hanya tempat menyimpan lalu menjual namun harus memenuhi kebutuhan makan masyarakatnya terlebih dahulu. Adat Desa Jerambah Rengas telah mencontohkan jika lumbung ialah di mana seluruh masyarakat bisa makan pada kondisi hari ini, perkiraan beberapa tahun lagi dan persiapan jika terjadi kondisi pandemi seperti saat ini," terang Roni. 

537