Home Kolom Lobster Panas: Sajian Virtual dari Media Sosial

Lobster Panas: Sajian Virtual dari Media Sosial

Dua orang tokoh diberhadapkan. Di satu sudut ada Susi Pudjiastuti, Mantan Menteri KKP (Kelautan dan Perikanan) dan di sudut yang lain ialah pelanjutnya Menteri Edhy Prabowo. Setidaknya, begitu realitas yang digambarkan media pers serta media sosial (medsos) awal Juli. Sumber sengketanya ialah lobster, rajanya hidangan sea food.

Dikisahkan, Menteri KKP Edhy Prabowo mengoreksi kebijakan yang ditelorkan Susi Pudyiastuti, dengan melegalkan ekspor bibit/benih lobster. Peraturan Menteri (Permen) KKP no. 56/2016 yang diterbitkan Susi diganti dengan kebijakan baru pada Kepmen no. 12/2020. Susi merespons dengan penolakan lewat akun twitternya yang ramai oleh 1,2 juta followernya itu. Ekspor benur? NO NO NO. Begitu cuitan Susi Pujiastuti beberapa waktu lalu.

Tidak cukup di situ. Dalam seminar virtual tentang kebijakan ekspor benur, yang dihelat Bahtsul Masail NU Kamis (23/07), Susi teguh dengan pendapatnya. Ia kembali mengungkapkan kekuatirannya, bahwa pengambilan benur akan mengurangi produk lobster Indonesia. ‘’Biarkan saja baby-nya tumbuh. Nanti, kalau sudah jadi emak-emak, sudah bertelor, baru dijual. Harganya jutaan,’’ katanya.

Namun, Edhy Prabowo juga kokoh dalam pendiriannya. Menurut Edhy, ekspor bibit lobster (benur) itu hanya satu bagian saja dari serangkaian kegiatan ekonomi menuju ke arah pengembangan budidaya di dalam negeri. Tujuannya, kesejahteraan nelayan (penangkap benur), memberi insentif pada pengusaha budidaya lobster dengan rangsangan kuota ekspor benih, sekaligus meningkatkan penerimaan negara.

Penangkapan benur itu ditetapkan kauh di bawah ambang lestari supaya populasi lobster tetap terjaga (sustainable). Faktanya, menurut Edhy Prabowo, larangan ekspor hanya menyuburkan penyelundupan saja. Dengan ekspor ilegal itu, sumberdaya alam dikeruk tapi tak ada pemasukan negara dalam bentuk pajak atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP),

Dalam kebijakan baru itu ada skema jelas : nelayan menangkap bibit lobster dan dijual ke pengusaha pengumpul (eksportir). Pengusaha membeli benur, sebagian dibudidayakannya sedniri di kolam jaring, sebagian lagi diekspor, dan dua persen dari benih yang dibeli harus dilepasliarkan ke habitat alamnya setelah lobster beranjak dewasa dengan bobot sekitar 50 gram. Insentif diberikan kepada pengusaha, karena budidaya lobster itu masih mahal dan beresiko tinggi dengan penguasan teknologi yang masih minim pada saat ini.

Tapi, isu sempat bergeser dari poros utamanya. Beredar kabar, bahwa lima dari 26 perusahaan yang mendapat lisensi ekspor (ijin usaha budidaya) ternyata kolega Menteri Edhy Prabowo. Disinyalir pula, dua atau tiga perusahaan diantaranya langsung tancap gas melakukan ekspor benih, tanpa lebih dulu membangun fasilitas budidayanya. Kabar itu viral dan mengundang ulasan panas di media sosial.

Tak pelak Menteri Edhy Prabowo panen cibiran. Kebijakannya dinilai hanya menguntungkan koleganya. Ada pula yang menyebut kebijakan itu justeru memperkuat saya saing Vietnam sebagai importir benur, yang ironisnyaVietnam adalah kompetitor dalam memasok lobster ke pasar dunia.

Belum lagi, terus bergulir anggapan bahwa menjual benur itu membuat populasi lobster di Indonesia bakal punah. Narasi itu dianggap benar, masuk akal, dan banyak menerima acungan jempol di media sosial. Namun, kenyataan ilmiahnya berbeda dari gambaran itu.

Menteri Edhy Parbowo tak menolak kabar miring itu. Ia mengakui ada nama-nama koleganya di antara sederet perusahaan yang mendapat ijin ekspor tersebut. Tapi, bukan berarti mereka abal-abal dan tidak kompeten. Mereka memenuhi syarat dan berhak secara hukum. Menteri Edhy pun menegaskan, bahwa lapangan usaha itu terbuka, inklusif, dan banyak pihak lain yang juga mendapatkan ijinnya.

Bahwa, ada beberapa perusahaan yang melakukan ekspor secara dini, itu diakui Edhy sebagai kebijakan diskresinya. Pandemi Covid-19 membuat sektor perikanan terpukul, lantas ada potensi benur alam yang melimpah ada ada permintaan pasar. Dengan begitu, ekspor benih setidaknya bisa membantu sebagian nelayan dan ikut menggerakkan ekonomi di sektor perikanan-kelautan. Sejauh ini, pasar ekspor untuk benur lobster hanya ada di VietNam, meski upaya budidaya lobster tropis itu mulai dikembangkan pula di Thailand, India, Filipina dan Indonesia.

Dinamika Populasi Lobster

Terlalu menyederhanakan soal untuk menyebut ada sengketa antara Menteri Edhy dan pendahulunya Susi Pudjiastuti sebagai sengketa pribadi atau politik. Permen baru itu hanya menunjukkan perbedaan cara pandang kaum konservatisme lingkungan yang diwakili Susi Pudjiastuti dengan developmentalisme ada Edhy. Dua pandangan yang terus menerus saling mengoreksi.

Bagi Susi, populasi akan lestari bila lobster dipanen di alam dengan berat minimum 2000 gram agar dia sempat bertelor sebelum ditangkap. Maka, penangkapan di bawah 200 gram dilarang, dan itu dikontrol di pasar lobster hingga ke pos karantina ekspor produk perikanan di bandar udara. Penangkapan benur untuk budidaya dalam negeri tidak diijinkan apalagi untuk ekspor. Alasannya, penangkapan benur akan mengancam populasi lobster di alam.

Benarkah demikian? Kelompok developmentalis menolak argumen itu. Pusat Riset Perikanan Balitbang KKP menyebutkan, bahwa dari inventarisasi potensi ekosistem pada teluk-teluk yang secara tradisional dikenal sebagai sarang benur (sink population) diketahui tersedia 24 milyar benur per tahunnya. Belum lagi, ada pula benur yang hidup di perairan terbuka (source population) yang jumlahnya milyaran ekor pula. Populasi lobster di laut ditopang dari dua sumber itu : sink dan source.

Perairan Indonesia dihuni enam jenis lobster. Ada jenis lobster batu, r batik, bambu, pakistan pasir, dan mutiara. Yang nilai ekonomi tertinggi lobster mutiara berkat penampilannya yang mewah dan menawan. Berikutnya lobster pasir. Empat yang lain, meski harganya tergolong tinggi, namun tak semahal mutiara dan pasir.

Menurut Bayu Priyambodo, Ph.D, ahli lobster dari Direktorat Jenderal Budidaya KKP, benur lobster itu bermula dari telur yang memijah jadi larva di dasar laut sedalam 50 meter atau lebih. Larva melayang-layang mengikuti arus laut hingga akhirnya dapat bermetamorfosis menjadi benih lobster bening, dan berenang menuju habitat mereka untuk tumbuh dan berkembang di area inshore pantai.

‘’Perlu waktu 140-150 hari untuk menjadi benur, bahkan bisa 180 hari untuk yang jenis lobster pasir,’’ kata Bayu Priyambodo yang kini bertugas di Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat larva telah menjadi benur, mereka telah terpisah dengan induknya sejauh kurang lebih 350 km.

Habitat yang cocok sebagai sink population adalah teluk-teluk dengan tingkat kekeruhan sedang dan berarus relatif kuat, seperti di Pantai Selatan Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan beberapa lainnya. Di habitat itu, kawasan benur hidup pada lingkungan rumput laut dan padang lamun, berlantai pasir berlumpur. Di habitat inshore ini, mereka tumbuh kembang menjadi lobster muda, yang pada usia dan ukuran tertentu mereka akan bermigrasi ke laut bebas.

Namun, di habitat itu benur lobster berkembang dengan kepadatang relatif tinggi. Di situ, dari 10.000 ekor benur (ada yang menyebutnya bening) secara rata-rata hanya satu yang bisa bertahan jadi lobster dewasa. ‘’Survival rate-nya hanya 0,01 persen,’’ kata Bayu menambahkan. Selebihnya mati karena gagal berkompetisi mencari pakan, dimangsa predator,atau cadangan energi tubuhnya (bawaan lahir) keburu habis. Mereka juga mereka menjadi korban kanibalisme sesamanya. Faktor pembatas lain adalah cuaca dan pencemaran laut.

Nelayan berburu benur di area sink population itu. Peralatannya sederhana, berupa karung beras bekas yang diikat di satu ujung dan diberi rumai-rumbai di ujung yang lain lalu dibenamkan di laut. Benur akan menempel di situ. Di habitat source population, benur sulit ditangkap.Di area itu, survival rate (harapan hidup) benur lebih tinggi dibanding di area sink, yakni 0.1% (1 hidup dari 1.000 ekor). Persaingan di situ relatif rendah.

Salah satu titik rawannya adalah masa-masa ganti kulit yang berlangsung beberapa kali, sebelum benur bening menjadi lobster muda yang mampu bermigrasi meninggalkan “kampungnya” menuju ke lautan lepas. Ketika ganti kulit (molting) bayi benur itu sangat rentan terhadap predator, bahkan bisa dimangsa oleh sesamanya (kanibalisme). Proses molting terus terjadi, meski pada usia dewasa.

Bayu Priyambodo, yang meraih gelar PhD dari School of Biological, Earth and Environmental Sciences di USNW (The University of New South Wales) Sydney 2017 itu meyakini, bahwa pengambilan benur tidak akan mengguncang populasi lobster. ‘’Kalau sebuah habibat punya kemampuan menghasilkan 100 ekor lobster, mau dikasih benur sejuta atau seratus juta ekor, ya outputnya tetap 100 ekor,’’ kata Bayu pula. Begitulah hukum daya dukung lingkungan bekerja.

Benur yang bertahan hidup, lolos dari resiko kematian alami, lepas dari predasi dan tumbuh mencapai ukuran konsumsi, tentu bisa dimanfaatkan secara ekonoi. Namun, pemanfaatannya perlu menerapkan prinsip MSY (maximum sustainable yield). Secara alamiah, tiap jenis biota laut itu akan dibatasi jumlah populasi dan volume biomassanya oleh daya dukung perairan.

Seperti banyak biota laut lainnya, populasi lobster tak bisa dikaitkan dengan satu wilayah saja. Lobster yang ditangkap di Mindandao Filipina bisa saja berasal dari benur asal Maluku atau Sulawesi. Benur di Lombok bisa saja tumbuh menjadi lobster yang berkelana sampai Maluku atau pesisir Australia Utara. Secara spesifik belum banyak laporan ilmiah yang meneliti pola migrasi lobster ini.

Ekspor

Benur bisa dipanen untuk budidaya, termasuk diekspor. Berapa batas yang aman? Dalam perhitungan yang paling pesimistis, ketersedia di area source yang telah dikenal nelayan, ada sekitar 24 milyar ekor per tahun. Tidak semuanya cocok dibudayakan. Yang teruji baru jenis mutiara dan pasir. Menurut Bayu Priyambodo, dua jenis lobster itu yang terbukti bisa tumbuh beradaptasi dengan baik dalam lingkungan budidaya yaitu di kolam/karamba jaring apung.

Benur mutiara dan pasir bisa tumbuh normal di keramba. Untuk sampai ukuran 250-300 gram, butuh waktu 10-12 bulan. Perlu 2 tahun untuk mendapatkan bobot hingga mencapai 1000 gram. Di lapangan jenis mutiara dan pasir itu hanya sekitar 10 persen dari populasi benur yang ada. Maka, dari 24 milyar benur yang ada, hanya tersedia 2,4 Milyar ekor benur jenis mutiara dan pasir. Jika ditetapkan ambang lestarinya 50 persen, maka bisa diperoleh 1,2 Milyar ekor benur.

Berapa kebutuhan di pasar? Menurut Bayu, secara resmi Vietnam menyebut produk lobsternya hanya 3.500 ton per tahun. Bila lobster itu rata-rata dipanen dengan berat 250 gram, 3.500 ton, kebutuhan benurya itu setara dengan 14 juta ekor. Dalam keramba budidaya di Vietnam, survival rate benur jadi lobster dewasa adalah 70%. Dengan demikian, setidaknya Vietnam perlu sedikitnya 20 juta ekor benur.

Namun, pada kenyataannya, permintaan benur budidaya di Vietnam bisa mencapai angka 80 juta ekor per tahun. ‘’Namun, sekali lagi tidak semua impor dari Indonesia,’’ katanya. Vietnam memiliki sumber benur alamnya sendiri dan menadatangkannya pula dari Filipina. Asumsikan, separuhnya diimpor dari Indonesia, maka angkanya mencapai 40 juta.

Budidaya di dalam negeri, menurut Bayu, juga tidak akan menghabisi populasi lobster yang ada. Kolam keramba yang ada saat ini hanya di Lombok hanya 6.750 unit, berupa jaring ukuran 3 x 3 meter, dengan kedalaman 3 meter. Jika pun dalam waktu dekat jumlah jaring meningkat, jumlahnya paling banyak akan menjadi 10.000 unit. Jika per keramba berisi 200 ekor hanya perlu 2.000.000 ekor benur. dengan asumsi survival ratenya masih sekitar 30-35 persen.

‘’Baik kebutuhan budidaya dalam negeri maupun ekspor baru 2 juta + 40 juta ekor,” ujarnya. Angka itu tentu masih dalam skala yang sangat aman untuk ukuran sumberdaya alam yang ada, yakni 1,2 milyar ekor. Menurut Bayu, angka potensi 1,2 milyar itu kemungkinan jumlahnya akan bertambah bila habitat-habitat benur lainnya yang potensial telah selesai disurvei. Namun, kalkulasi semacam itu ditolah oleh Susi Pudjiastuti, yang sayangnya tanpa menyertakan landasan yang saintifik terkait dinamika populasi lobster.

Namun, ke depan yang perlu dikembangkan tentulah teknologi hatchery (pembenihan), yakni mulai dari pembesaran induk, merangsangnya terjadi pembuahan secara buatan dan mengelolanya menjadi benur. Hatchery lobster, menurut Bayu, sangat menantang. Teknologi pembenihan lobster yang paling unggul saat ini ada di Australia, dan telah belangsung 20 tahun.

Menengok pengalaman di Australia, Bayu mengatakan bahwa perkembangan lobster dari larva menjadi benur sangat komplek, pelik dan panjang. Lebih sederhana mengembangkan pembibitan ikan baronang, kerapu, bandeng atau bahkan udang vanamei. ‘’Kita perlu waktu yang panjang menuju hachcery lobster yang sukses,’’ Bayu menambahkan.

Persaingan Bisnis

Tentang tuduhan memperkuat Vienam dan melemahkan Indonesia, itu memang jargon yang menarik. Namun, dalam praktek ekonomi hal semacam itu sering tidak berlaku. Thailand misalnya setiap tahun mengekspor ratusan ribu atau bahkan lebih dari sejuta ton gula ke Indonesia dan Malaysia, meski pun kedua negara akan menjadi kompetitor dalam industri minuman kemasan, biskuit dan makanan ringan. Dalam terminologi yang umum, daya saing ekonomi lebih mengacu pada kemampuan ekspor kumulatif sehingga menghasilkan surplus, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Lobster sendiri bukanlah andalan ekspor Indonesia. Dia bahkan tak masuk ke deretan primadona ekspor produk perikanan. Pada kuartal I tahun 2020 lalu misalnya, ekspor produk perikanan-kelautan Indonesia mencapau US$1,24 Milyar, naik 9,8 persen dibandingkan kuartal 1 tahun 2019. Ekspor udang memberi kontribusi terbesar yakni US$466,3 juta (37 persen), tuna-tongkol-cakalang menyumbang US$176,6 (14 persen), dan cumi, sotong dan gurita US$131,9 Juta (10,6 persen) Ekspor lobster masuk dalam katagori rajung-kepiting sebesar US$105,3 Juta (8,5%).

Pada tahun 2018 lalu, kontribusi ekspor lobster mencapai US$29 juta. Relatif belum besar dibanding total ekspor produksi perikanan yang mencapai USD 3,5 Milyar. Geliat kontribusinya masih suam-suam susu belaka. Namun, sebagai rajanya hidangan sea food, dengan penampilan mewah dan harga yang selangit, lobster memang menarik digoreng-goreng di media dan media sosial.

Putut Trihusodo (Wartawan)

 

1289