Home Ekonomi Jalan Tol Disebut Bakal Bikin Yogyakarta Makin Panas

Jalan Tol Disebut Bakal Bikin Yogyakarta Makin Panas

Yogyakarta, Gatra.com - Pembangunan tol di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai tak akan menguntungkan DIY. Berkaca dari tol Trans Jawa, tol di DIY diperkirakan tak menguntungkan secara ekonomi dan justru berdampak buruk pada ekologi.

Hal ini disampaikan Kepala Divisi Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, Darmaningtyas, menyikapi rencanan pembangunan tol di DIY dalam diskusi daring ‘Telaah Kepentingan Pembangunan Tol di Indonesia’ gelaran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Rabu (29/7).

“Saya sudah sampaikan penolakan pembangunan jalan tol ke Ngarso Dalem karena jalan dan wilayah DIY sempit. Kanan kirinya pasti jadi permukiman,” ujar dia mengacu pada panggilan Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Sultan telah menetapkan lokasi pembangunan tol Yogyakarta- Solo pada 10 Juli 2020. Luas areanya mencapai sekitar 1,7 juta meter persegi meliptui wilayah di 14 desa di Kabupaten Sleman, DIY. Di samping jalur ini, tol juga akan dibangun di jalur Yogyakarta - Semarang dan Yogyakarta - Cilacap.

Menurut dia, pembangunan jalan tol tidak akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi DIY. Apalagi karakter Yogyakarta dalam bertransportasi cendrung pelan, tak terburu-buru. “Jika tol dibangun dari Cilacap hingga Solo, pertumbuhan ekonomi DIY justru akan mengalami perlambatan,” kata dia.

Padahal pemerintah juga tengah menyiapkan elektrifikasi kereta api untuk jalur Kutoarjo, Yogyakarta, hingga Solo. Alhasil kereta di jalur ini seperti Prameks akan menjadi KRL. Bandara di DIY juga terhubung dengan kereta api. “Kalau kereta api okupansinya tinggi, untuk apa ada jalan tol,” katanya.

Darmaningtyas juga pilih mengaktifkan rel lawas daripada bikin jalan tol di jalur Yogyakarta - Semarang. Meski jalan tol dibuat melayang, menurut dia dampak ekologi tetap muncul. “Pohon-pohon di median jalan ditebangi dan udara jadi makin panas,” katanya.

Menurutnya, pembangunan tol di DIY semestinya bertolak dari kondisi pembangunan tol Trans Jawa yang berpotensi menjadikan Jawa krisis cadangan air baku.

“Kalau tanah subur jadi jalan tol dan sekitarnya jadi permukiman, kita akan menghadapi dua bencana sekaligus, krisis pangan dan krisis air baku. Pembangunan tol ini akan berdampak luas. Ini tidak dipikirkan pemerintah,” tuturnya.

Apalagi, menurut Darmaningtyas, tol Trans Jawa hanya ramai saat liburan. Transportasi rutin seperti bus dan truk tak memilih lewat Trans Jawa karena biayanya tinggi.

“Trafiknya sehari-hari rendah sehingga kembalinya investasi lama. Akibatnya konsesi juga lama dan benefit masyarakat tidak ada kecuali polusi dan kecelakaan,” tuturnya.

Peneliti National University of Singapore Jamie S. Davidson telah meneliti pembangunan tol di Indonesia. Menurut dia, tol menjamur di era Orde Baru, berlanjut di era Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, serta makin kencang di masa Joko Widodo. “Izin tol-tol itu dikuasai tokoh-tokoh Orde Baru,” kata penulis buku soal tol di Indonesia, ‘Menaja Jalan’, ini.

Menurut dia, trafik di jalan tol di Jawa terbilang rendah dan tak punya kelayakan ekonomi. Karena itu, pengelolaan tol di masa Jokowi diambilalih oleh Jasa Marga. Apalagi, menurut Jamie, tol bermasalah sejak pembangunannya.

“Investor takut terhadap pengadaan tanah karena ada kesenjangan antara pemerintah pusat dan pemda. Pusat ingin membeli tanah cepat-cepat, sehingga banyak masalah di tingkat lokal dalam hal pembebasan tanah,” ujarnya.

 

1844