Home Hukum Temuan Kasus Bansos DIY, dari Salah Sasaran ke Politisasi

Temuan Kasus Bansos DIY, dari Salah Sasaran ke Politisasi

Yogyakarta, Gatra.com - Sedikitnya ditemukan 53 kasus penyaahgunaan penyaluran bantuan sosial di masa pandemi Covid19 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mayoritas tak tepat sasaran, tapi ada juga indikasi politisasi bantuan.

Hal itu diungkapkan Ahmad Haedar, peneliti IDEA, lembaga pemantau tata kelola keuangan publik di Yogyakarta, dalam diskusi daring ’Sengkarut Penaluran Bansos Covid-19 di DIY’, Kamis (6/8).

Haedar menjelaskan, dari 53 temuan terebut, kasus paling banyak bantuan tidak tepat sasaran, 45 kasus. Selain itu soal transparansi data 3 kasus, selebihnya berupa pemotongan bantuan, penggelapan, dan penyaluran ganda.

“Bantuan langsun tunai di tiga desa di Sleman juga ada indikasi politisasi. Dua parpol terindikasi terlibat penyaluran. Prosesnya sedang kami dalami,” tuturnya.

Dari sebaran wilayah, kasus paling banyak terjadi di Bantul, dengan 33 kasus. “Ini seperti kasus pemotongan bansos separuhnya. Katanya untuk anak yatim supaya bantuan rata,” contoh Haedar.

Selain itu, tujuh kasus terjadi di Sleman, empat kasus di Kota Yogyakarta, lima kasus di Gunungkidul, dan satu kasus di Kulonprogo. Tiga kasus terjadi di tingkat DIY.

IDEA fokus menyoroti lima jenis bantuan, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST), bantuan pemda, serta Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD).

Haedar menjelaskan, beberapa modus dan titik rawan penyalahgunaan bantuan sosial berupa politisasi, tidak tepat sasaran, penyaluran ganda, pemotongan nilai bantuan, dan pungutan liar.

“Kasus tidak tepat sasaran dibagi dua yaitu, exclussion error dan inclussion error. Exclusion error adalah warga terdampak Covid-191, tidak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan tidak menerima bantuan,” tuturnya.

Adapun inclusion error adalah warga kriteria mampu yang tidak layak menerima namun justru menerima bantuan sosial.

Menurutnya, banyaknya kasus tidak tepat sasaran dalam penyaluran bansos Covid-19 dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, perbedaan metode pendataan. Bantuan PKH contohnya menggunakan metode berbasis rumah tangga, sedangkan BST berbasis kepada warga terdampak.

“Pemerintah juga belum memiliki peraturan mengenai urutan penyaluran bantuan. Sedangkan jenis bantuan banyak dan disalurkan pada periode waktu yang sama. Hal ini berdampak pada dua jenis bantuan disalurkan dalam waktu yang sama dengan penerima manfaat yang sama pula,” katanya.

Selain itu, DTKS tidak diperbarui karena menggunakan data tahun 2015. “Pemerintah harus melakukan sinkronisasi hasil update data DTKS antara pusat dan daerah dan membuat aturan tentang tata kala penyaluran berbagai jenis bantuan,” katanya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tibiko Zabar menyatakan ICW memantau penyaluran bansos Covid-19 di sepuluh daerah, termasuk DIY. Hasilnya ada 106 laporan warga dan 124 temuan pemantau. "Temuannya antara lain BST Kemensos rawan hangus karena warga terlambat menerima undangan," ujarnya.

Warga juga tidak diberitahu secara jelas jenis bansos yang diterima dan besarannya. "Hal ini membuat warga kesulitan untuk memastikan apakah bansos yang diterimanya sudah sesuai ketentuan atau tidak," kata dia.

Selain itu, volume bansos sembako di sejumlah daerah diduga dikurangi. "Ada pula politisasi bantuan, paling banyak ditemukan di Sulawesi Utara," ujarnya.

 

1066