Home Politik Busyro Muqoddas: SBY Tidak Represif dan Seganas Jokowi

Busyro Muqoddas: SBY Tidak Represif dan Seganas Jokowi

Yogyakarta, Gatra.com - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Busyro Muqoddas menyebut Presiden Joko Widodo lebih represif dan ganas ketimbang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hal itu disampaikan Busyro saat menjelaskan kelahiran Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja di seminar daring ‘RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Ditentang, Dilanjutkan, dan Dipaksakan’.

Acara ini digelar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (7/8), dan disaksikan Gatra.com di kanal Youtube kampus tersebut, Sabtu (8/8).

“RUU ini lahir di era Jokowi yang seorang sipil, bukan militer. Kalau saya bandingkan dengan SBY, dia jenderal cerdas, tapi masih punya tepa selira (tenggang rasa). Dia tidak represif, seganas, seperti yang sekarang ini,” kata Busyro.

Mantan Ketua KPK ini pun mempertanyakan perbedaan Jokowi dan SBY itu. “Mengapa Jokowi yang sipil seperti itu, bisa punya kekuatan powerfull. Siapa di belakang dan sekitarnya, garis besarnya elit oligarki dan elit bisnis, yang namanya sering beredar,” ujarnya.

Busyro semula menjelaskan, saat ini segitiga negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta timpang. “Kekuatan masyarakat sipil itu sekarang kecil dan jauh pengaruhnya terhadap negara. Justru yang dekat dengan negara adalah sektor swasta, taipan-taipan itu,” katanya.

Menurutnya, perselingkuhan terbuka antara negara dan swasta ini berpengaruh pada politik legislasi sehingga muncul sejumlah UU anti-demokrasi, seperti UU KPK, UU ITE, dan UU Mineral dan Batubara (Minerba).

“KPK dibikin stroke. UU Minerba pengesahannya tertutup dan cepat abaikan masyarakat sipil. UU ITE pasal 27-28 itu untuk menggebuk aktivis. RUU KUHP ada 5-6 pasal yang sangat represif, ngeri sekali,” lanjutnya.

Untuk itu, ia mempertanyakan politik legislasi anti-demokrasi yang lahir di masa kepemimpinan sipil Presiden Jokowi. Sejumlah undang-undang itu pun wujud pelanggaran prinsip hukum, termasuk UUD 1945. “Artinya pemerintah sekarang ini sedang asyik dengan pembangkangan konstitusi,” ujarnya.

Politik legislasi anti-demokrasi itu membuat segitiga timpang makin membusuk. “Negara dimasuki sektor swasta. Begitu besar pengaruh sektor swasta terhadap kebijakan pemerintah dan semakin kecil peran masyarakat sipil,” kata dia.

Busyro menyebut, produk-produk hukum itu menunjukkan negara makin tidak berdaya menghadapi gerakan sektor swasta. “Mereka mempengaruhi pejabat-pejabat sehingga menggunakan, menjualbelikan, menyalahgunakan pengaruh sebagai pejabat, termasuk dalam penyusunan RUU,” tuturnya.

Ia pun mengajak mahasiswa dan aktivis kampus bergerak setelah langkah PP Muhammadiyah menolak pembahasan RUU Cipta Kerja jika didesain untuk mengabaikan masyarakat sipil dan menggelar karpet merah untuk investor asing.

“Saya optimis kampus di Jawa bisa memelopori deklarasi bersama. Ini akan punya pengaruh psiko-politik ke pemerintah,” ujarnya.

Pengajar ilmu pemerintahan UMY David Efendi menyebut RUU Ciptaker punya kekurangan sangat parah secara moral ekonomi-politik. “Moral ekologinya juga tidak ada. Padahal pembangunan itu juga harus memperhitungkan kelestarian lingkungan hidup tempat manusia bergantung,” katanya.

Apalagi pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum. “Covid-19 seharusnya jadi pukulan telak bagi RUU ini karena kerusakan ekologi dari belahan bumi mana pun dampaknya ke semua,” kata dia.

David pun menyatakan RUU Cipta Kerja sebagai RUU paling oligarkis di muka bumi. “Ini RUU cipta oligarki. Pegiat UMKM dan buruh tidak banyak diuntungkan. Tidak ada politik harapan yang bisa ditumbuhkan dari RUU ini,” katanya.

57926