Home Politik Keamanan Laut, Pelanggaran Hukum dan Kewenangan Penanganan

Keamanan Laut, Pelanggaran Hukum dan Kewenangan Penanganan

Menyukseskan Transportasi Laut Lewat Pemahaman UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Bagian II)

Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto*

 

Bagaimana mungkin Bakamla yang bukan penyidik dapat melakukan penindakan pelanggaran hukum?. Selanjutnya perlu menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait. Apa yang dimaksud dengan patroli perairan?. Lalu instansi terkait yang mana yang akan disinergikan dan dimonitor oleh Bakamla? Tidak Jelas.

Selanjutnya klausul memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait. Dukungan teknis seperti apa yang akan diberikan oleh Bakamla? Atau apa bentuk dukungan teknis yang akan diberikan itu?. Lalu instansi terkait mana yang akan diberi dukungan teknis? Bagaimana detil? memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; dan bagaimana caranya Bakamla memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia sedangkan Bakamla sendiri tidak dilengkapi kapal?. Tidak ada satupun pasal dalam UU 32/2014 tentang Kelautan yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Bakamla dilengkapi dengan kapal.

Sementara penyebutan pelaksanaan tugas lain dalam Sistem Pertahanan Nasional tidak jelas. Mari kita lihat ayat 1 Pasal 63 Undang-Undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi:

1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, Badan Keamanan Laut berwenang:

a. Melakukan pengejaran seketika; 

1. Menurut angka 5 pasal 111 UNCLOS, Hak Pengejaran Seketika (Right of Hot Pursuit), hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.

2. Tidak ada satupun pasal dalam UU 32/2014 tentang Kelautan yang mengatur tentang Tanda Kapal untuk Bakamla.

3. Tanda “Kapal Negara (KN)” menurut pasal 1 angka 38 UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas pemerintah lainnya.

4. Menurut ayat 1 pasal 279 UU Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran bahwa Penjaga Laut dan Pantai (PLP) dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai Kapal Negara atau pesawat udara negara. Jadi tanda “KN” adalah tanda kapal untuk Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) bukan untuk kapal Bakamla.

5. Dengan demikian maka tanda kapal “KN” yang saat ini digunakan oleh kapal-kapal Bakamla adalah palsu.

Kapal-kapal Bakamla tidak berstatus Kapal Negara, dan para personel Bakamla juga tidak berstatus sebagai penyidik. Akibatnya kapal-kapal Bakamla tidak berhak melakukan hot pursuit karena Kapalnya tidak berstatus sebagai Kapal Negara dan para personel Bakamla tidak berstatus sebagai aparat penegak hukum atau tidak berstatus sebagai penyidik. Atau dengan perkataan lain, pelaksanaan hot pursuit yang akan dilakukan oleh Bakamla justru melanggar hukum. Dengan demikian huruf a ayat 1 UU 32/2014 tentang Kelautan ini bertentangan dengan UNCLOS.

b. Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan Ayat (1) Pasal 7 KUHAP menyatakan bahwa hanya penyidik wewenang untuk menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diritersangka; melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; melakukan pemeriksaan serta dan penyitaan surat.

Baca juga: Membedah Masalah Laut, Dari Transportasi Hingga Keamanan

Oleh karena Bakamla bukan penyidik maka Bakamla tidak berwenang untuk memberhentikan, memeriksa, menangkap kapal. Penangkapan kapal oleh Bakamla adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan dapat dikatagorikan sebagai perompak di laut. Jadi huruf b ayat 1 UU 32/2014 tentang Kelautan ini bertentangan dengan KUHAP.

c. Mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Selanjutnya perlu dijawab poin berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan sistem informasi keamanan dan keselamatan?

2. Yang akan diintegrasikan itu sistem informasi dari instansi mana saja?

3. Mengapa harus diintegrasikan? Hasil integrasi itu untuk siapa? Apa urgensinya sistem informasi dan keselamatan itu diintegrasikan?

Ketiga pertanyaan tersebut tidak jelas terjawab dalam Undang-Undang ini.

Selanjutnya Ayat 2 Pasal 63? UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi: Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali

Dari bunyi pasal ini terlihat jelas bahwa prinsip dari UU 32/2014 tentang Kelautan ini adalah ingin menyatukan semua instansi di bawah satu komando. Bakamla inginnya dibuat sebagai satu-satunya penguasa di laut. Instansi mana saja yang akan disatukan di bawah kendali dan komando Bakamla? Kembali tidak jelas dalam Undang-Undang ini.

Menyatukan semua instansi dibawa satu komando ini seperti mengulangi lagi apa yang pernah dibuat pada Bakorkamla periode 1, yang telah terbukti gagal total. Untuk diketahui pada saat Bakorkamla periode 1, pelaksanaan tugas Bakorkamla melekat pada pelaksanaan tugas TNI AL. Karena pelaksanaan tugas TNI AL bersifat satu komando, maka pelaksanaan tugas Bakorkamla pun menjadi satu komando. Padahal instansi yang ada dibawa Koordinasi Bakorkamla saat itu memiliki kewenangan masing-masing sesuai dengan undang-undangnya. Akibatnya Bakorkamla periode 1 ini gagal total, dan dibentuk lagi Bakorkamla periode 2.

Penegakan hukum tidak mungkin dilakukan dengan prinsip satu komando, atau single agent multi task. Dalam penegakan hukum prinsip yang bisa digunakan adalah single agent single task. Hal itu disebabkan karena setiap “agency” atau setiap instansi diatur oleh Undang-Undang, yang kekuatan hukumnya sama kuatnya. Contohnya TNI diatur oleh UU No. 34/2004 tentang TNI, Polri diatur oleh UU No. 2/2002 tentang Polri yang masing masing punya tugas sendiri-sendiri dan punya kekuatan hukum yang sama tingginya.

Pasal 64 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi: “Kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a ditetapkan oleh presiden”.

Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Sehingga “Kebijakan” seperti apa yang dibutuhkan untuk ditetapkan oleh presiden menjadi tidak jelas.

Kondisi Eksisting Bakamla

Bakamla saat ini melakukan penangkapan kapal-kapal padahal Bakamla bukan penyidik. Sebagai pembanding, Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah sebagai penyidik diatur pada pasal 278 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 278

1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:

a. Melaksanakan patroli laut;

b. Melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);

c. Memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan

d. Melakukan penyidikan.

2. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bakamla sekarang ini memiliki banyak kapal, dan kapal-kapalnya di beri tanda “Kapal negara (KN)” padahal tidak ada satupun pasal dalam UU 32/2014 tentang Kelautan yang menyatakan bahwa Bakamla dalam meleksanakan tugasnya dapat dilengkapi kapal dan kapal-kapalnya dapat menggunakan.

Sebagai pembanding, Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi kapal dan kapal-kapalnya dapat menggunakan tanda “Kapal Negara (KN) diatur pada pasal 279 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 279

(1) Dalam rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh prasarana berupa pangkalan armada Penjaga Laut dan Pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara.

Kapal Bakamla saat ini menggunakan nama “Coast Guard”, padahal tidak ada satupun pasal dalam UU 34/2014 tentang Kelautan yang menyatakan bahwa Bakamla adalah “Coast Guard”. Sebagai pembanding UU 17/2008 tentang Pelayaran dengan tegas mengatur pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard). Hal itu tertulis pada penjelasan yang sebagian bunyinya: “Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Cost Guard)”.

Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Cost Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh menteri. Kapal Bakamla saat ini direncanakan untuk dipersenjatai. Senjata itu akan digunakan untuk apa? Untuk melaksanakan penegakan hukum, Bakamla bukan penegak hukum untuk melaksanakan penegakan kedaulatan itu urusan TNI AL. Lalu senjata itu untuk apa ? Mubasir dan hanya perupakan pemborosan keuangan negara.

Bakamla adalah organisasi sipil tapi kenyataannya personelnya sebagian besar dari TNI. Penempatan personel TNI di Bakamla ini jelas-jelas melanggar UU 34/2004 tentang TNI yang hanya mengizinkan penempatan personel TNI pada 10 lembaga/kementrian, tidak termasuk BAKAMLA

Kesimpulan

UU 32/2014 tentang kelautan khususnya Bab IX Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut. Mulai dari pasal 58 – 64 yang mengatur tentang Bakamla, amanat dari setiap pasalnya tidak jelas maksudnya sehingga tidak bisa dioperasionalkan. Bahkan ada amanat dari pasalnya bertentangan dengan beberapa Undang-Undang yaitu:

1. UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara

2. UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara

3. UU 34/2004 tentang TNI

4. UU 8/1981 tentang KUHAP

5. UNCLOS 1982

Itulah sebabnya UU 32/2014 tentang Kelautan ini tidak bisa dioperasionalkan. Dengan demikian Bakamla pun tidak bisa dioperasionalkan. Dengan demikian ternyata penerbitan UU 32/2014 tentang Kelautan khususnya.

Pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut yang mengatur pembentukan Bakamla semakin membuat penegakan hukum di laut menjadi semakin semrawut. Itulah sebabnya diperlukan adanya transformasi Bakamla untuk menjadi Coast Guard Indonesia dengan menggunakan landasan hukum UU 17/2008 tentang Pelayaran dalam upaya menyelesaikan carut-marut penegakan hukum di laut untuk menjamin suksesnya transportasi laut Indonesia.

 

*Penulis pengamat maritim dan pertahanan. Menghabiskan karier militernya di TNI Angkatan Laut dan bidang intelijen. Pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) 2011-2013.

3747