Home Kolom Belajar dari Tilik: Pikiran Terbuka, Perlu

Belajar dari Tilik: Pikiran Terbuka, Perlu

Khresna Bayu Sangka, Phd
Dosen FKIP, Universitas Sebelas Maret, 
Surakarta


Banyak hal menarik, paling tidak dari sudut pandang saya, atas viralnya film pendek “Tilik”. Sebuah film yang mengangkat fenomena kearifan lokal masyarakat Jawa (dari tepo seliro, ewuh pakewuh, pangerten, lembah manah, andhap asor, guyub rukun, grapyak semanak, dan gotong royong), biasanya terjadi di pedesaan, pada umumnya. Tilik adalah kebiasaan berbondong-bondong menengok tetangga sakit yang dirawat di rumah sakit, dengan bersama-sama urunan menyewa mobil untuk pergi bersama.

Sutradara film ini berhasil mengacak-acak perasaan dan emosi penontonnya. Wahyu Agung Prasetyo, sutradara film ini, sukses membuat karya dengan skenario plot twist yang menaikkan adrenalin dan kemudian mencabiknya dalam hitungan detik saja diakhir cerita. Film ini menceritakan dengan sangat nyata tentang realita sosial yang sering kali muncul di masyarakat bahwa dalam sebuah kelompok sosial ada orang-orang yang berbagi peran sesuai kapasitasnya.

Ada tukang kompor yang memulai pembicaraan, ada biang gosip-yang darinya muncul berbagai asumsi, persepsi dan narasi, tak lupa peran waton suloyo, sok alim, blak-blakan, sampai pahlawan kesiangan-yang kadang blunder juga. Dalam film ini, Bu Tejo (diperankan oleh Siti Fauziah) dimunculkan sebagai center of gravity untuk menunjukkan beberapa satir yang lekat dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ghibah –

Atau disebut rasan-rasan dalam bahasa Jawa. Banyak orang senang melakukan hal satu ini. Biasanya yang menjadi bahan ghibah adalah isu-isu up to date tentu saja disertai bumbu penyedap layaknya micin dengan takaran yang lebih banyak daripada faktanya. Perilaku julid, kepo, nyinyir berjamaah menjadikan gossip-digosok makin sip- ini menjadi semakin renyah dan menyenangkan jika dibawakan oleh sumber yang kredibel, baik secara intelektual ataupun sosial. Prinsip mana hadap juga diterapkan dalam penyampaiannya, tidak peduli waktu, tempat dan suasana. Asal ada umpan lezat, langsung saja disamber dengan cepat.

Internet –

Menurut kabar pesbuk, menurut sher-sheran wasap, menurut yutub. Ketiga hal ini seolah-olah telah menjadi rujukan utama sebuah kebenaran. Pesan moral yang ingin disampaikan film ini adalah sikap untuk selalu waspada dan melek terhadap informasi yang bersliweran dan tak jelas juntrungannya. Dengan kata lain, literasi informasinya harus baik supaya tidak menjadi hoaks.

Korupsi –

Penyuapan menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 dinyatakan sebagai tindakan "memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"; juga "menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum".

Salah satu adegan dalam film ini memberikan kritik sosial dengan menceritakan bagaimana korupsi level embyeh-embyeh yang jamak dan sering kali ditemui pada setiap perhelatan pemilihan umum kepala daerah dengan level terendah sampai tertinggi sekalipun.

Intimidasi –

Pungutan, pajak, retribusi, denda dan sejenisnya adalah hal yang sangat sulit untuk diikhlaskan bagi sebagian masyarakat. Diperlukan kebesaran hati untuk menerima kenyataan bahwa kita wajib membayar semua hal itu, atas tindakan dan atau kepemilikan kita. La sayangnya, beberapa orang melakukan tindakan dengan berbagai cara untuk menghindari kewajiban ini. Film Tilik bisa menggambarkan bagaimana ‘ganasnya’ Bu Tejo yang rela nyokot pak Polisi jika harus kena tilang. Dalam hal ini ancaman verbal dan non-verbal menjadi senjata ampuh.

Simplifikasi –

Menggampangkan. Penggunaan moda angkutan yang tidak pada peruntukannya. Yang menjadi hal unik dalam film ini adalah penggunaan truk sebagai moda transportasi. Kenapa pakai truk? Sesederhana ya karena tidak ada mobil lain yang bisa ngangkut orang sebanyak itu, dan juga diceritakan bahwa semua bis sewaan full karena dadakan. Sering kali kita lihat dijalan bagaimana moda transportasi yang secara keamanan dan ijinnya melenceng.

Misalnya mobil bak terbuka seperti truk atau pick-up bahkan sepur kelinci acap kali digunakan sebagai moda angkutan massa. Prinsipnya, sing penting guyub, dan tahu kabar dari sang sakit dengan mata kepala sendiri. Sekaligus piknik tipis-tipis.

Seksis –

Wanita di berbagai kalangan sering dilihat sebagai sosok yang mengutamakan 3B (Brain, Behavior and Beauty), akan tetapi B yang terakhir lah yang paling sering dijadikan referensi utama. Sampai Gotrek saja bilang kalau Dian yang maju nyalon lurah, pasti semua bapak-bapak milih dia. Pun demikian sesama perempuan, mengakui bahwa kecantikan Dian menjadi ancaman bagi pasangan mereka.

Gotong royong itu susah

Ringan sama dijinjing, Berat sama dipikul. Mobil mogok silakan didorong sendiri. Tentu saja untuk sesuatu yang dirasakan bukan menjadi tupoksinya. Sekali lagi pada adegan ini Bu Tejo berhasil melengkapi diri sebagai tokoh antagonis yang paripurna. Disaat orang-orang sibuk mendorong truk yang mogok, Bu Tejo bersedekap dengan santai melenggang kangkung, tentu saja ditemani Bu Tri yang berperan sebagai tukang nambah-nambahi panas.

Terlepas dari segala macam kontroversi yang muncul. Film pendek ini adalah cerminan dari kehidupan sehari-hari kita. Diperlukan pikiran terbuka dan lapang dada untuk mengomentarinya. Setiap orang dan netizen yang budiman dan maha benar pun memiliki sudut pandang berdasarkan pengalaman dan pengatahuan yang berbeda.

Jadi bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah berhastha laku?